Dua Tahun Kemudian
Malam ini aku diundang makan malam dikediaman orangtua. Sudah dua tahun ini mereka mencoba menjodohkanku dengan pilihannya. Aku sudah menolak Sembilan calon pilihan mereka. Apakah mereka tidak lelah mencarikan jodoh untukku, sedangkan aku belum mau menikah dan masih senang dengan kehidupan melajang. Masih banyak mimpi dan tanggungjawab untukku wujudkan.
Aku ingin lebih sukses ketimbang Papa. Aku tidak ingin dicap anak konglomerat yang hanya bisa sukses karena nama besar Papa. Makanya aku mendirikan perusahaan sendiri dari nol hingga yang sekarang sudah menjadi besar.
Aku sudah bosan melakukan perjodohan yang ujung-ujungnya semua akan kutolak. Mereka bukan tipeku, meskipun semua pilihan Mama anak
baik-baik dan dari latar belakang keluarga berpendidikan. Tetapi, tidak ada yang membuat hatiku tergerak untuk mendekatinya lebih jauh. Pasti, kali ini hasilnya akan sama. Berkenalan selama kurang lebih tiga bulan, makan siang,
makan malam, mengantar pulang setelah itu selesai.
Sesampainya didepan rumah, seperti biasa jika ada tamu penting seluruh lampu taman dan air mancur akan menyala. Sebuah pemandangan
yang menyilaukan dan boros listrik. Pekarangan rumah bertembok putih dengan lampu-lampu yang menghiasinya, membuatnya seakan ada pesta pernikahan. Padahal ini hanya makan malam untuk menyambut seorang gadis kenalan Mama dilingkungan para istri pengusaha, artis dan pejabat.
“Raka, kamu sudah sampai? Mama yang memelukku erat.
“Kita baru bertemu minggu lalu dengan gadis sebelumnya, ingat Mah?” sahutku yang berbisik ditelinganya.
“Itu karena kau selalu mencampakkan pilihan Mama. Sebelum ada yang membuatmu ingin menikah, Mama akan selalu mencarikan jodoh untukmu, ingat!” Mama yang membalasnya berbisik.
“Shesa maaf yah sudah menunggu lama, kenalkan ini anak tante satu-satunya Raka,” sembari mempertemukan kami berdua.
“Hai, aku Raka,”
‘Gadis ini sangat tinggi, tubuhnya langsing, rambutnya panjang dan wajahnya terlihat menawan, ada perasaanku yang tertarik melihatnya, entah apa ... mungkin ini prasangka baik terhadap dirinya’.
“Aku Shesa Kak, maaf Papa dan Mama tidak hadir karena aku tidak memberitahu undangan ini,”
“Oh, kenapa Shesa apa tante sudah membuatmu tidak nyaman, padahal Mamamu yang.…”
“Iya tante, karena aku tidak mau terburu-buru. Biar aku yang memutuskan apakah perkenalan ini berlanjut atau tidak.”
Gadis ini punya prinsip, aku suka
“Pilihan Mama tidak salah kan?” sahut Mama sambil mengedip padaku menagih pujian.
“Ayo kita mulai makan malamnya,” sahut Mama lagi.
Setelah makan malam aku mengajaknya bercengkrama diteras. Pelayan menyediakan minuman hangat untuknya. Aku melihat Papa dan Mama yang mengintip dari balik jendela. Tingkah mereka seperti anak kecil.
“Kenapa tidak diminum?”
“Maaf aku tidak suka minuman hangat atau panas,”
“Kenapa tidak bilang, biar aku ganti dengan yang dingin.”
“Tidak usah lagipula aku tidak ingin terkesan merepotkan. Biarkan orangtuamu senang melihat kita seperti sekarang ini.”
“Hahaha, jadi kamu nyaman diintip oleh mereka?”
“Tidak apa-apa, mungkin karena orangtuamu sangat senang akhirnya ada yang cocok denganmu,”
Sontak aku menyemburkan kopiku yang belum terteguk.
“Hahaha. Kamu lucu dan sangat percaya diri, aku suka,”
“Aku tidak mau membiarkan hatiku kosong, jika sudah ada yang cocok untuk mengisinya.” sahut Shesa.
“Hahaha. Kau gadis yang unik yang pernah kutemui.” aku memandang matanya yang indah dan wajahnya yang syahdu.
“Belum pernah ada yang mengatakan aku unik, baru kamu saja,” sembari menebar senyuman.
“Benarkah?”
Mata kami saling bertemu dan wajahnya seperti memancarkan sinar. Wajahku memerah sepertinya yang merona dengan indah.
Setelah malam itu aku memutuskan untuk melanjutkan perkenalan kita. Aku sangat tertarik padanya, baru kali ini ada yang membuat
getaran dihatiku. Gadis yang terlihat cantik, percaya diri dan berprinsip. Begitu juga dengannya yang semakin melabuhkan hatinya kepadaku.
Meskipun usia kami terpaut tujuh tahun, namun tidak ada halangan dalam hubungan ini. Aku sering menjemputnya dikampus untuk sekedar makan siang, menonton film di bioskop atau hanya membantunya mencari buku untuk bahan bacaan kuliahnya.
Baru kali ini aku bersedia melakukan itu semua dengan senang hati tanpa paksaan. Bahkan aku semakin mencintainya karena Shesa gadis yang pandai dikampusnya. Dan juga karena hatinya sangat baik yang suka melakukan kegiatan sosial untuk orang-orang yang kurang mampu.
Aku suka membantunya menyiapkan segala keperluan logistik dan mendukung kegiatannya itu hingga kepelosok-pelosok desa disela-sela kesibukanku. Bahkan, perusahaanku menjadi penyumbang terbesar karena pengajuan proposalnya yang menggugah pemikiranku.
***
Tiga Bulan Kemudian
Aku mengajaknya makan malam disebuah warung makan yang sederhana setelah menjemputnya sehabis melakukan kegiatan sosial membagi-bagikan sembako disebuah desa yang tertinggal.
Aku menatapnya dan melihat wajah sayunya yang kelelahan menyiapkan kegiatan ini sejak beberapa minggu sebelumnya.
Menyibakkan rambutnya yang menutupi keindahan wajahnya, ketika Shesa sedang meminum es teh itu ditengah-tengah udara malam yang semakin dingin. Aku tersenyum melihat kegemarannya yang aneh itu, selama bersamanya
tiga bulan ini belum pernah melihatnya meminum minuman yang hangat apalagi panas. ‘Apakah Shesa tidak pernah terkena flu’, pikirku
Oh Tuhan aku sangat mencintai gadis ini, biarkan aku memilikinya.
“Shesa, bisakah aku mengatakan sesuatu?”
“Katakanlah, aku tidak pernah melarangmu,”
“Hahaha. Benar juga.”
Jantungku berdebar dengan cepat dan hampir kehabisan napas menahan keinginanku untuk menyatakan perasaan.
“Shesa, aku tidak bisa menahan rasa yang bergejolak dihatiku lagi. Rasanya aku mencintaimu dan baru kali ini aku merasa kesenangan setiap saat, meski hanya memikirkanmu, mengingat matamu, wajahmu, membayangkan suaramu dan takjub dengan pemikiran-pemikiranmu yang penuh ide brilian itu,”
“Jika boleh aku ingin segera menikahimu?”
Shesa hanya menatapku diatas sedotan yang masih menempel diujung bibirnya. Meneguk
es teh yang masih tersisa dalam mulutnya. Aku menanti jawaban yang tulus darinya dengan ketakutan terbesarku.
Namun, aku berusaha untuk tetap tenang apapun keinginannya aku akan penuhi, karena aku sangat mencintainya dan menginginkan Shesa tetap tumbuh dan berkembang seperti apapun. Sesuai kehendaknya untuk bahagia.
“Aku mau, meskipun ini terlalu cepat, aku mau Raka. Aku mau menjadi istrimu....”
“Benarkah itu keputusanmu? Bagaimana dengan kuliah dan orangtuamu? Dan….”
“Ssstttt…” jemarinya menghentikanku bicara.
“Jangan merusak momen ini, biarkan kita menikmati keindahan ini sejenak saja.”
Tiba-tiba lilin yang ada dihadapanku yang hanya menerangi warung makan kecil ini,
ditiupnya agar mati. Kami saling memandang dan untuk pertama kalinya aku menciumnya dengan penuh kehangatan dinginnya malam.
Aku takut jika Shesa tidak begitu menyukai kehangatan yang kuberikan.
“Aku menyukainya, sungguh,” sahut Shesa yang menangkap apa yang ada dipikiranku,
seakan tahu apa yang sedang kupikirkan dan memikirkan kehangatan itu sekali
lagi memeluk erat dan menyatukan hati kami.
***
Seminggu setelah malam itu, aku berencana untuk kerumah orangtuaku ingin memberikan kabar bahwa kami akan menikah. Aku sengaja ingin membuat kejutan untuk mereka.
Aku menghubungi Mama nanti sepulang kerja akan kesana dengan Shesa. Mampir
disebuah toko bunga, aku ingin membeli rangkaian bunga untuk Mama dan Shesa,
karena keduanya adalah wanita yang sudah membuatku bahagia.
Setelah menaruh rangkaian bunga itu dibelakang mobil, aku melihat seperti seseorang yang kukenal tetapi aku tidak yakin karena seharusnya dia tidak berada disini saat ini.
Disebuah restoran dipinggir jalan, duduk dipojok berhadapan dengan teman wanitanya, asyik membahas sesuatu sambil memakan sesuatu yang manis dan secangkir minuman. ‘Kupikir itu adalah minuman panas yang tidak disukai Shesa’.
Sebelumnya Shesa mengatakan masih berada dikampus membicarakan proyek sosialnya. Namun, sekarang aku melihatnya disebuah restoran bersama dengan teman wanitanya.
Itu ... seperti Shesa? Barusan ditelepon masih dikampus, kenapa dia harus berbohong?.
Aku mendekatinya agar pandanganku lebih jelas. Kupastikan benar itu Shesa bersama temannya. Aku ragu untuk masuk kedalam, namun ada perasaan penasaran kenapa dirinya harus berbohong.
Bukankah sebentar lagi kita akan menikah dan tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Aku mengurungkan niatku dan hanya menunggu dimobil.
Setengah jam kemudian, akhirnya Shesa dan temannya selesai dan berbicara sebentar seakan pembicaraan sebelumnya belum tuntas. Aku mencoba meneleponnya untuk melihat reaksinya. Shesa melihat layar ponselnya dan memperlihatkan kepada teman wanitanya itu, lalu tertawakan hal itu. ‘Ada apa sebenarnya’
Aku keluar dari mobil dan berjalan kearahnya. Memanggil namanya dengan keyakinan.
“Shesa, benarkah ini kau?”
Shesa terkejut dan teman wanitanya itu juga. Wajahnya berubah tidak seperti Shesa yang kukenal selama tiga bulan ini.
“Hai Raka, masih ingat aku?” sahut teman wanitanya itu.
Aku sama sekali tidak ingat, aku bersumpah.
“Heh. Aku yakin kau tidak akan ingat siapa aku? Aku Vina korban ke sembilan perjodohan selama tiga bulan yang kau campakkan”
Aku ingat sekarang, dia mengubah gaya dan warna rambutnya. Aku tidak mengenalinya.
“Apa maksudnya semua ini? Shesa bisa kau jelaskan?”
“Sorry Raka, aku.…”
“Sorry? Ini bukan kau, sungguh ini bukan Shesa yang kukenal....”
“Aku Shesa, oke. Gadis yang kau lamar seminggu yang lalu, tetapi semua itu adalah sandiwara.”
“Kenapa? Apa salahku?”
“Salahmu adalah telah membuat wanita seperti ******* yang tidak ada harganya!” Vina mengungkapkan isi hatinya.
“Apa?! Kau sangat berlebihan, aku tidak pernah memperlakukan wanita seperti itu.”
“Ya, kau melakukannya meskipun tidak secara fisik. Sikapmu ini yang membuat semua wanita yang pernah mengenalmu menjadi jijik.
Seharusnya sebagai laki-laki kau bisa menolak ajakan perjodohan Mamamu itu dan bukan
justru menggilir kami seperti *******,”
“Jadi ini hanya permainanmu Shesa dan bersekongkol dengan teman wanita ini?”
Shesa hanya terdiam.
“Jawab Shesa!”
“Jangan coba-coba memaksanya, sekarang rasakan bagaimana hatimu patah ketika dipermainkan seperti boneka hahaha....” sahut Vina yang puas akhirnya dendamnya terbayar.
“Jawab Shesa, benarkah kau tidak jatuh cinta denganku? Jawab?!” sembari meraih lengannya.
Shesa hanya diam seribu bahasa.
“Apa tiga bulan kemarin tidak ada perasaan sama sekali? Semua hanya permainan? Kamu yakin?
“Iya! Aku hanya ingin membalaskan sakit hati teman baikku Vina, untuk mempermainkan perasaanmu, puas. Jadi jangan ganggu aku lagi.” Shesa meninggalkanku dengan acuh.
“Rasakan balas dendam dari gadis nomer 10 hahaha....” Vina yang tertawa puas.
Aku tidak percaya apa ini mimpi. Apa ucapannya itu bisa dipercaya. Semua itu hanya permainan, perasaanku hanya mainan baginya.
"Oh Tuhan, sungguh tidak bisa dipercaya."
***
Dunia seakan runtuh, hatiku hancur berkeping-keping. Gadis yang kucintai
mempermainkan perasaanku semudah itu. Bersandiwara sejak awal untuk membuatku
jatuh cinta dan akhirnya mendepakku seperti barang rongsokan. Apakah ini sungguhan, aku masih tidak percaya Shesa bisa sekejam itu merencanakannya sejak pertemuan pertama kita.
Tiba-tiba Mama menelepon ponselku disaat hatiku gundah dan hancur. Baru kali ini aku tidak bisa berpikir apalagi menjawab panggilan
Mama dengan kebingungan. Setelah tiga kali deringan teleponnya yang tidak kuangkat, akhirnya aku memutuskan untuk membatalkan makan malam.
“Raka, kenapa sampai sekarang kamu belum sampai? Apa kamu baik-baik saja?”
Aku hanya menahan perih ini agar tidak membuatnya semakin sedih.
“Mah, boleh Raka mengatakan sesuatu. Sejujurnya.…”
“Sejujurnya apa Raka? Jangan bilang kamu.…”
“Mah dengarkan Raka dulu, Raka cuma mau bilang.…”
“Raka, apa kamu mau bilang kalau kamu dan Shesa sudah putus? Kenapa lagi Raka, Mama sudah mencarikan yang terbaik untukmu.…”
‘Aku tidak sanggup mengucapkannya lagi.…’
“Mah … sesungguhnya,”
“Raka, apa benar kamu itu … tidak suka wanita?”
“Mama berat mengucapkan ini tapi … ini yang Mama takutkan sejak awal, teman-teman mengatakan yang membuat Mama takut kebenarannya,”
Apa? Mama berpikir jika aku menolak perjodohan itu karena aku … tidak menyukai wanita?.
“Iya Mah, aku tidak suka Shesa dan wanita. Jadi mulai saat ini Mama tidak perlu bersusah payah untuk menjodohkanku dengan anak kenalan Mama. Aku sudah muak Mah”
“Raka … Ben”
Aku menutup teleponnya, memutuskan pembicaraannya secara sepihak, meskipun Mama terus menerus menelepon aku mematikan ponselku. Lebih baik aku dianggap sebagai seorang yang ada dipikiran Mama daripada lebih banyak lagi wanita yang tersakiti oleh sikapku yang selalu menolak.
Aku tidak mau membuat mereka menaruh harapan besar dan seakan mempermainkan. Padahal aku tidak sengaja melakukannya, aku tidak tahu bahwa itu akan menyakiti.
Pencet Like, Vote, Rate 5, tambahkan ke favorit kalian dan komen yg banyak ya😊👍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Kustri
seruuu
2020-09-08
0
Sept September
semangat kakakkkk
2020-08-11
1
Sugianti Bisri
Lanjut Thor, keren nih ceritanya 👍👍👍
" Temani aku, Ken! " udah update loh😊😊😊
2020-07-27
0