Episode 7

Hari sudah malam dan hatiku sudah begitu lelah. Bahkan aku tidak tahu lagi tujuanku.

Pikiran kosong ini membuatku ingin menyerah dan lemah melangkah. Aku bingung harus kemana. Kupikir aku bisa kembali ke kampung dan Ibu menerimaku, ucapannya menyakitiku.

 

Disaat seperti ini aku hanya ingin berada didekatnya, dipelukannya, sekali saja. Aku lelah Ibu, bekerja sepanjang hari untuk hidup.

 

Sedangkan aku tidak merasa hidup. Aku berusaha untuk tidak menyerah tetapi terlalu berat rintangan didepan.

Hidup dan merasa hidup itu tidak sama. Aku hidup tetapi tidak merasa hidup. Aku terpaksa untuk hidup karena belum mau mati. Aku merasa ada beban yang harus hidup meskipun aku merasa mati. Seandainya beban ini bisa kubagi sedikit saja, aku akan merasa hidup. Mustahil Ibu, mustahil hidup diperkotaan yang keras.

Dingin, udara semakin dingin. Mengapa malam begitu cepat rasanya aku ingin kembali tidur saja. Perutku sudah mulai memberontak sejak pagi belum terisi. Jika pagi hingga siang tidak makan aku bisa, sekarang sudah malam aku tidak bisa menahan sakitnya.

Didalam sini bersuara aneh yang terus menggedor-gedor inginkan makanan. Sedangkan aku semakin lemah untuk bangkit.

Kupejamkan saja mata ini, pura-pura tertidur. Mungkin mereka yang memberontak sepanjang hari, akhirnya akan kelelahan dan tertidur pula.

Tiba-tiba, aku merasa suasanasemakin gelap, apakah lampu jalanan mati juga. Ketika mata ini semakin lelah memandang dan mulai menutup, sebuah mobil berhenti. Aku hanya tidak peduli lagi, aku hanya lelah untuk rasa ingin tahuku.

Seseorang keluar dan aku mendengar langkah kakinya. Samar-samar aku melihatnya mendekat. Dan berucap.

“Ayo, pulang ....” suara itu kukenali, Raka.

Membuka mataku perlahan, Raka sudah berdiri didepanku sambil mengulurkan tangannya, mengajakku untuk pulang. Wajah itu bercahaya diantara lampu jalanan yang kian redup dan beberapa yang tidak menyala. Raka seperti malaikat penolong.

***

“Tidak mungkin,”

“Apa yang tidak mungkin?”

“Bagimana kau menemukanku?”

“Aku memasang chip di otakmu ... hehe.”

“Apa?” terkejut.

“Ayo pulang,” Raka yang meraih tangan dan mengajakku kemobilnya.

Sesampainya dirumah, aku masih merasakan kedinginan.

“Maaf, bisakah suhu ruangan ini dimatikan, aku kedinginan,”

“Oh ya akan kumatikan.”

Sepertinya ada yang lupa mematikan pendingin ruangan sedari pagi.

“Aku lupa mematikannya tadi pagi ... karena terburu-buru.” sahutnya.

"Apa yang membuatmu ... tergesa-gesa?" bertanya penasaran.

"Ah ... itu ... pekerjaan kantor, ya ... aku lupa ada yang penting dikantor."

Aku melihatnya menyiapkan sesuatu diatas meja makan. Aku merasakan bau makanan yang membuat penghuni perut yang sejak tadi berdemo kembali bersemangat. Mungkin kali inimereka melakukan aksi yang radikal, ususku serasa dipukul dan ditendang.

“Aduh....” mengaduh perih.

“Dara, kesinilah temani aku makan malam,”

“Baiklah,” aku menghampirinya dengan menahan kesakitan ini.

Diatas meja sudah tersedia potongan ayam yang sangat banyak dan segelas susu hangat.

“Silakan dimakan....” sahutnya.

Dengan sigap aku mengambil sepotong ayam dengan tangan. Aku sangat kelaparan dan perut ini melilit.

Aku mengambil potongan ayam dan langsung melahapnya tanpa menunda-nunda lagi.

 

Sekarang pendemo itu seperti menerima nasi bungkus yang disebar dari langit. Mereka kesenangan. Aku melihatnya tidak menyentuh satu potong ayam pun, sedangkan aku sedang memakan potongan kedua.

“Kenapa kau tidak makan?”

“Ah, aku sedang diet jadi tidak makan malam.”

“Lalu, buat apa kau membeli ayam sebanyak ini?”

“Aku membelinya untukmu,” kenapa aku mengatakan itu, Bodoh.

“Untukku?”

"Apa kau tidak membaca catatanku?"

"Catatan? ya ... aku tidak membaca catatan yang kamu tinggalkan ...." kebohonganku tertutup.

Potongan ayam yang ketiga, aku masih merasa lapar.

“Ah, Pak boleh aku .…”

“Haha, panggil saja Raka,”

“Baiklah, Raka. Boleh aku meminjam sesuatu,”

“Pinjam? Pinjam apa?” dahinya mengernyit bingung.

“Ah begini, aku terbiasa makan yang berkuah jika malam hari. Karena itu membuat perutku tenang dan tidur nyenyak,”

“Ah, jadi tiga potong ayam masih kurang? sindir Raka menggoda.

“Ah, aku becanda. Kalau tidak boleh pinjam tidak apa-apa.” menundukkan wajah lebih dalam kearah piring. Aku sangat malu saat ini.

“Hahaha. Aku becanda, sana masak mi nya ....”

“Benarkah? Asyik ....”

Aku memasak mi rebus dan Raka mengambil laptopnya. Mengerjakan pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan aku hanya melanjutkan makan dan akhirnya kekenyangan. Sebenarnya aku tidak enak hati, aku makan dan Raka sibuk dengan pekerjaannya.

Kalau begitu disini siapa yang punya rumah hihihi.

Raka mendengarku tertawa kecil.

“Kenapa ketawa?” tanyanya.

“Hihi, ah tidak. Aku hanya membayangkan kejadian yang lucu”

“Oh benarkah?, lalu tadi pagi kau menghilang dan kenapa tidak jadi pulang ke kampung?”

“Hmm … karena,” aku ragu-ragu untuk memberikan alasan sesungguhnya.

“Jika kau tidak mau menceritakannya tidak apa," menoleh kedalam pekerjaannya lagi.

“Tidak, aku mau. Tidak apa-apa, aku rasa kau orang yang baik. Aku bisa menceritakannya sedikit kepadamu,”

“Hahaha. Aku orang baik?” tersenyum dan tetap sibuk dengan laptopnya.

Senyumannya sangat manis jika kuperhatikan. Sadar Dara, jangan berlebihan.

“Ya, kau sudah menolongku tiga kali padahal kita tidak saling kenal,”

“Aku juga heran kenapa kau bisa dengan mudah menolong orang asing, padahal kan bisa saja aku berbuat jahat padamu, seperti mencuri barang-barang disini atau .…”

“Apa kau benar merencanakannya?” sembari memangku dagu.

Akhirnya ucapanku bisa menjauhkan pandangan itu dari laptopnya dan memandangku yang sedang bicara.

“Ah, tidak. Aku hanya bilang semisalnya. Seharusnya kau tidak mudah menerima orang asing.”

“Baiklah, aku tidak akan menerima orang asing selain dirimu.”

"Deg ... deg ... deg"

Kenapa balasannya yang santai itu membuat hatiku deg-degan.

“Hehehe. Kau lucu dan sangat pandai”

“Haha. Oiya tadi jadi ceritanya tidak jadi pulang kampung kenapa?”

'Ternyata Raka memperhatikan'

“Hmm, itu karena Ibu tidak membolehkanku pulang. Aku harus tetap disini mencari kerja

 untuk membiayai adikku yang masih sekolah. Jika aku pulang orang kampung akan mengarakku keliling karena sudah merayu suami orang.”

“Wow, kejam sekali.”

“Aku tidak tahu, tapi pernah tetanggaku dikampung anak perempuannya hamil diluar nikah dan orang-orang kampung memotong rambutnya hingga botak,”

“Serius?” ekspresinya yang semakin serius menanggapi.

“Iya, aku tidak bohong!” sahutku sambil meminum segelas susu hangat.

“Susu hangat sangat enak, aku jarang sekali meminumnya. Tapi ini adalah susu terakhir yang akan kunikmati dan akan kuingat selama kuhidup.”

“Kenapa? Apa kau akan pergi lagi?”

'Kenapa dia menanyakan itu seakan tidak ingin aku pergi darinya'

“Ya”

“Apa rencanamu?”

“Aku belum tahu yang jelas besok aku akan mencari pekerjaan disekitar sini.”

“Besok hari sabtu, bagaimana jika kau memikirkan mencari pekerjaan hari senin saja?”

“Kupikir ucapanmu ada benarnya,”

Raka memandangku cukup lama, seperti memikirkan sesuatu. Aku merasa canggung dibuatnya.

Aku pura-pura menguap.

“Ah, baiklah kau sudah lelah, sana pergi tidur,"

“Aku akan mencuci piring dulu, setelah itu akan tidur,”

“Baiklah aku keatas duluan ya ....” membawa laptop dan pekerjaan bersamanya.

 

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

sebenarnya ceritanya bagus,,,
tp ko jenuh ya bc nya!

2020-09-27

0

Ara Lestari

Ara Lestari

thor jangan cerita sendri donk
kok malah ada certa dalam cerita ga asik
raka ga usah nyeritain kesehariannya biar aja pembaca yg membaca
ini kesannya cerita dalam cerita
ga seru

2020-09-09

0

kiki rizki

kiki rizki

semangat

2020-05-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!