Ponsel Leon berbunyi, tertera nama Alvin di sana. Leon langsung menyambungkan dengan VC
"Halo, Vin."
'Len, aku ke Italy ya?'
"Kamu kenapa?" tanya Leon sambil mendekatkan wajahnya ke ponsel untuk melihat wajah Leon lebih jelas.
'Mikael sama tunangannya bikin aku gila! Mending kabur aja dari sini. Nggak kuat lama lama.'
"Maksud kamu apa, Vin?"
'Besok aku berangkat ke sana. Perusahaan biar Uncle Larry yang pikirkan. Aku lelah, Len. Setiap hari harus memikirkan pekerjaan dan melihat perang dunia. Aku tak bisa membayangkan jika mereka benar benar menikah. Kurasa semua ini adalah kesalahan.'
"Terserah padamu saja,Vin. Tapi akan lebih baik kalau kamu membicarakan semuanya lebih dulu dengan Daddy. Aku tidak ingin perusahaan hancur, hanya kamulah yang bisa kupercaya saat ini."
Alvin terlihat menghela nafasnya, ia sudah benar benar lelah menghadapi Mikael dan Daniela, 'Aku akan bicara dulu dengan Uncle ... tapi aku malas bertemu Aunty.'
Leon tertawa, membuat Alvin jengah, "Baiklah kalau begitu. Terima kasih sudah membuatku tertawa pagi ini. Aku harus bekerja dulu."
Sementara itu, Alvin yang kesal karena Leon malah menertawakan dirinya, kembali masuk ke dalam ruang Mikael. Ia harus mengatakan kalau ia akan pergi.
"Mik!" panggil Alvin. Alvin memang terbiasa memanggil langsung dengan nama, karena ia sudah menganggap Mikael sebagai adiknya sendiri. Mikael pun menginginkan Alvin bersikap seperti biasa.
"Iya, Kak," jawabnya.
"Aku mau berhenti."
"Berhenti? Apa maksud kakak?" seketika Mikael membulatkan matanya dan berdiri dari duduknya.
"Ada hal yang harus kuselesaikan di luar sana," ucap Alvin beralasan.
"Benarkah?" Baru saja Mikael bertanya, Daniela kembali masuk ke ruangan itu, "Makarel, silakan ditanda tangan surat suratnya."
Alvin yang berada di sana, seketika tergelak mendengar panggilan Daniela untuk Mikael. Ia benar benar tak dapat menahan tawanya.
"Apa yang lucu?!" ucap Mikael dan Daniela bersamaan, membuat Alvin kembali tergelak, "Sepertinya kalian memang benar benar berjodoh. Ahhh, lebih baik aku pergi. Aku bisa gila jika lebih lama di sini."
Alvin pun segera keluar dari ruangan, meninggalkan Mikael dan Daniela yang kembali melanjutkan perdebatan mereka. Alvin akan tetap pada pendiriannya, yakni menyusul Leon ke Italy. Ia akan menitipkan surat resign-nya kepada resepsionis saja besok pagi.
*****
"Wowww, Alvin is here," sapa David sambil merentangkan tangannya, "give me a hug, please?"
"Menggelikan. Aku lupa kalau di sini ada dirimu. Keluar kandang kucing, masuk kandang cicak," Alvin mendesah kasar.
"Hei, hei, kalian berdua itu kalau bertemu selalu saja," Leon menggelengkan kepalanya sambil terkekeh melihat tingkah ke dua sahabatnya.
"Apa di sini ada pekerjaan?" tanya Alvin.
"Ada," jawab Leon, kemudian menyerahkan sebuah apron berwarna hitam kepada Alvin.
"Apa apaan ini?"
"Tadi katanya kamu mau mencari pekerjaan. Saat diberi pekerjaan, malah bertanya. Sebenarnya maumu apa?" goda David.
"Tidak usah ikut campur, mengesalkan!" ucap Alvin memberengut.
"Karena ada dirimu, aku bisa pergi sekarang," ucap Leon.
"Mau pergi kemana?" tanya Alvin ketika melihat Leon dengan langkah cepat keluar dari coffee shop.
"Ia akan menemui wanita pujaannya," David kini menyeruput kopi di hadapannya.
"Amelie?"
"Itu kamu tahu."
"Ia pernah memintaku mencari informasi tentang wanita itu, tapi aku tidak menyangka kalau dia begitu serius. Padahal wanita itu sudah 10 kali bergonta ganti pacar."
David tergelak, "Mungkin saja mereka berjodoh. Kita tidak tahu kan?"
"Ahhh, Leon terkena bucin akut! Lihat saja nanti, dia akan jadi korban ke 11. Wanita seperti itu pasti hanya mengincar yang kaya, dan Leon adalah target yang sangat pas," Alvin memandang ke arah jendela, kemudian meletakkan apron yang tadi dilemparkan oleh Leon ke atas meja.
*****
"Halo!" sapa Leon pada Amelie.
"Hi!" balas Amelie sambil merapikan beberapa snack ke dalam rak.
"Apa kamu tidak merindukanku?" Amelie menggeleng.
"Sakit sekali rasanya," ucap leon, membuat Amelie terkekeh.
"Apa weekend ini kamu ada waktu?"
"Tidak, aku sudah mengambil pekerjaan lain."
"Pekerjaan lain? Apa kamu sangat membutuhkan pekerjaan?"
"Ya, aku harus menghidupi diriku kan."
"Tapi bukankah kamu sudah bekerja dari pagi sebagai guru, lalu kerja di minimarket. Dan sekarang weekend pun kamu mengambil pekerjaan."
"Kamu tahu aku seorang guru?" tanya Amelie heran, membuat Leon menutup rapat mulutnya.
"Apa selama ini kamu memata-mataiku?" Amelie menatap tajam ke arah Leon.
"Aku bukan memata-mataimu. Saat itu aku hanya melihatmu keluar dari sebuah taman kanak kanak, kemudian melihatmu masuk ke dalam minimarket," jawab Leon.
"Pergilah. Aku tahu maksudmu berada di dekatku, dan aku tak ingin memberimu harapan palsu," Amelie menatap manik mata Leon yang menatap juga ke arahnya.
Deghhh ...
Tiba tiba saja jantung Amelie terasa berdetak tak karuan. Tak pernah ia merasakan seperti ini, meskipun ia berdekatan dengan lelaki manapun. Saat bersama Leon sebelumnya pun, ia merasakan biasa saja. Tapi ketika manik mata itu menatapnya, seperti langsung menusuk tepat di jantungnya. Ia segera memalingkan wajahnya.
"Kamu tahu apa keinginanku? kalau begitu aku tidak perlu malu malu lagi di hadapanmu. Pergilah bersamaku. Jika tak bisa hari Sabtu, maka aku akan menunggumu di Hari Minggu. Tempat dan jam yang sama seperti kemarin."
"Aku tidak bisa," ucap Amelie.
"Aku akan menunggumu," Leon tersenyum kemudian pergi meninggalkan Amelie.
"Sepertinya dia menyukaimu, Mel," ucap Harlan.
"Kak ..."
"Kamu juga sepertinya menyukainya."
"Tidak, Kak. Kakak tidak akan mengerti."
"Apa kamu pernah mengalami kegagalan, hingga membatasi dirimu seperti ini, Mel? Ia sepertinya adalah pria baik," ucap Harlan.
"Aku tidak tahu, Kak," Amelie kembali menyibukkan dirinya dengan merapikan barang barang di dalam rak, sementara Harlan hanya memperhatikan Amelie.
*****
"Mi, kapan kita akan pergi menemui Mia?" tanya Abigail.
"Tanyakan pada Papimu, Bi," jawab Mami Abigail.
"Apa anak itu tidak ingin pulang ya? Kenapa harus kita yang ke sana karena merindukannya," ucap Abigail kesal.
"Ia sedang belajar, Bi. Kamu tahu kan, menjadi seorang dokter itu tidak mudah. Ia harus fokus dan konsentrasi."
"Aku tahu, Mi. Tapi apa sebegitunya, hingga ia tak punya waktu untuk sekedar pulang sebentar."
"Oya, Mi. Aku akan pergi bersama Handy sore ini. Untuk perusahaan, aku akan mulai bekerja besok," ucap Abigail.
"Baiklah, sayang."
Abigail pergi menuju kamar tidurnya setelah berbincang dengan Sarah, Maminya. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, kemudian mulai mengutak atik ponselnya.
📨 Mel, aku kangen.
📩 Aku juga.
📨 Aku akan ke Eropa, tepatnya ke Jerman.
📩 Kamu akan kemari? Ahhh kapan? tapi aku ada di Italy.
📨 Tenanglah, aku yang akan mengunjungimu di sana.
📩 Baiklah, Bi. Aku akan menunggumu. Kabari aku ya.
"Kenapa semua orang pergi? Apa aku juga harus pergi?" gumam Abigail. Ia harus terpenjara dalam Perusahaan Pranata Group milik keluarganya karena ia adalah anak tertua. Sebenarnya ia agak ragu, tapi Handy selalu memberinya semangat.
Ia sudah mengenalkan Handy kepada kedua orang tuanya dan mereka menerima Handy dengan baik, meskipun Handy bukan dari golongan pengusaha kaya yang hartanya bisa menghidupi 7 turunan.
'Nak Handy? Terima kasih loh sudah mau menerima Abigail. Maklum, Tante takut dia nggak laku laku, apalagi ngeliat sifatnya, uhhh ... nyebelin. Jadi, kamu yang awet awet ya, tahan tahan aja sama sikapnya. Tante dan Om akan selalu mendukungmu. Ciao!'
Kalau mengingat pesan Sarah, Maminya, kepada Handy, rasanya ia ingin menenggelamkan dirinya ke dasar samudera. Maminya benar benar mempermalukannya, seakan dirinya tidak akan laku laku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments