Dan sekarang, Nadila tengah berada di sebuah club malam.
Ya, Nadila berakhir di tempat ini untuk menghilangkan beban pikirannya.
"Nadila, stop deh lo minumnya, ini udah berapa gelas yang lo minum heh" Juan, teman satu kampus Nadila, yang juga bekerja di club ini, mencoba menyadarkan
"Satu lagi Ju"
"Nggak! Lo udah teler begini. Gue nggak mau ambil resiko La"
"Plisss, satu gelas lagi, oke?" Nadila terlihat memohon dan meracau
Juan mengacak rambutnya. Dia bingung dengan Nadila yang seperti ini.
Walaupun Nadila sering datang ke club, tapi Juan tidak pernah melihat Nadila minum sebanyak ini, Juan takut terjadi apa apa dengan temannya.
"Juannnn"
"Nadila." Dan tak berselang lama, ada yang mendekat ke arah Nadila yang sudah mabuk berat itu.
"Bang Mahen, kebetulan lo di sini" — Juan
"Nadila kenapa bisa sampai kayak gini Ju?" — Mahen
"Gue beneran nggak tahu bang, gue dateng dia udah minum minuman di sini sendirian"
Mahen menatap keadaan Nadila yang sudah memerah. Sepertinya Nadila mulai tidak sadar.
"Dila, aku antar pulang ya?"
Nadila menggelengkan kepalanya
"Kamu udah banyak minum, nggak boleh lagi ya?"
Nadila membuka matanya, samar samar dia melihat wajah Mahen berada di depannya.
Nadila terbangun, lalu meletakkan tangannya di kepala.
"Kenapa gue selalu dianggap bayangan?"
"..."
"Gue cantik, gue berpendidikan tinggi, tapi kenapa gue nggak pernah beruntung dalam mencintai orang?"
"Dila.." Mahen semakin mendekat.
"Om Tama."
"..."
"Laki laki brengsek itu bilang, kalau gue ini mirip istrinya yang udah mati kak"
Seketika Mahen teringat sesuatu. Yang mana dia juga pernah memperlakukan Nadila seperti mendiang kekasihnya selama tiga tahun berpacaran.
Perasaan bersalah itu kembali muncul.
'Nadila, maaf'
"Rasanya sakit, tapi gue bingung harus apa"
"..."
"Gue yang bodoh, kenapa bisa gue jatuh cinta sama orang kayak Tama ini"
Pandangan Nadila kunang kunang, dia akan terjatuh ke lantai jika tidak ada yang menopangnya.
Untung saja ada tangan kekar yang sigap menahan badan Nadila.
Mahen dan Juan mendongak
"Pak Tama." Dan ternyata orang itu adalah Tama.
"Nadila sudah berapa lama di tempat ini?" Tama bertanya kepada Juan
"Sekitar jam delapan Pak"
Tama menghela nafas, lalu menatap Nadila yang wajahnya memerah.
"Kita pulang ya?" Tama berucap lirih
Bukannya menjawab, Nadila tertawa. Dia berusaha mendorong badan Tama.
Namun tenaganya tidak sekuat itu.
"Pulang."
"Iya, pulang dengan saya ya?"
"Lo pulang, brengsek"
"...."
"Gue nggak butuh kata kata manis lo lagi, gue nggak mau"
Tama berpikir sejenak, Nadila sudah tidak bisa ditenangkan dengan baik. Dia takut akan berbuat khilaf di tempat ini.
Sampai akhirnya Tama segera mengangkat badan Nadila untuk dibawa pulang.
"Mahen, tolong bantu saya untuk membuka pintu mobil"
Mahen yang mengekor dari belakang, segera membantu Tama untuk membuka pintu. Setelah dibuka, Tama segera mendudukkan Nadila di kursi depan, dan menutupnya.
"Terimakasih sudah membantu, Mahen"
Mahen mengangguk, lalu menatap Tama
"Pak?"
"Kenapa?"
"Maaf jika saya lancang, apa hubungan Pak Tama dengan Nadila?"
"Bukannya kamu sudah tahu Mahen?"
"Ah iya, saya memang sudah tahu. Tapi saya rasa Pak Tama dan Nadila semakin dekat"
Tama tersenyum tipis, lalu mendekat ke arah Mahen
"Apa kamu cemburu jika melihat saya dekat dengan Nadila?"
"S-saya—"
"Kamu masih mencintai Nadila, Mahen?"
Mahen terkejut, dia tidak mengira jika Tama mengetahui hubungannya dengan Nadila di masa lalu
"Mahendra, kamu harus belajar dari pengalaman sebelumnya. Jangan pernah memandang rendah seorang perempuan hanya karena masa lalu"
DUG DUG!!
Nadila sudah memukul pintu mobil dengan keras, Tama menyadari itu.
"Saya pergi membawa Nadila ya Mahen? Karena sekarang Nadila menjadi tanggung jawab saya, permisi." Tama segera masuk ke dalam mobil
Mahen menghela nafas dengan kasar, lalu mau tidak mau segera kembali masuk ke club malam tersebut.
Sementara itu, Nadila tengah berada di mobil milik Tama.
Tama yang merasa aneh dengan Nadila segera bertanya kepada Yuda, apa sebenarnya yang terjadi. Dan berakhir Yuda memberi tahu alamat club ini.
"Kenapa kamu malah pergi ke tempat seperti ini? Tidak ada gunanya" Tama berucap marah. Dia marah kepada Nadila yang ternyata sering ke tempat tidak baik seperti ini
"Nggak usah ngatur, lo bukan siapa siapa gue"
"Kita pulang."
"Gue mau turun!" Nadila berusaha turun dari mobil, tapi ternyata Tama satu langkah lebih cepat karena mengunci pintu mobilnya.
"Aku mau pulang om!"
"Iya, kita pulang."
"Gue mau pulang sendiri!"
"Nadila!" Tama sedikit habis kesabaran. Dia menyandarkan Nadila di kursi, dan menguncinya dengan sabuk pengaman
"Kamu tahu ruginya masuk ke tempat itu?"
"..."
"Saya tidak suka melihat kamu seperti ini"
Dan tiba tiba saja, tangan Nadila merangkul leher Tama, dan mencium bibirnya.
Tama terdiam, dia berusaha menetralisir jantungnya yang berdetak cepat.
Tama tidak ingin mencari kesempatan seperti ini, Nadila harus dijaga.
Tama melepas paksa ciuman dari Nadila
"Bibirnya om Tama manis ya.."
"Iya manis, sekarang pulang ya? Kamu nggak kasihan sama Issya hm? Dia mencari kamu terus dari tadi" Tama berucap lembut sembari mengusap kepala Nadila
Setelah dirasa Nadila tenang, Tama segera kembali ke tempat semula, dan menjalankan mobilnya.
Tama akan membawa Nadila ke rumahnya.
****
Sementara itu, Yuda tengah menunggu kedatangan Tama dan Nadila
Yuda sangat khawatir jika Nadila berakhir dengan alkohol seperti ini.
Bahkan dulu, Nadila pernah sampai menginap di rumah sakit karena banyak alkohol bersarang di lambungnya.
"Lama banget ya?" Yuda menghela nafas dengan kasar.
Tak berselang lama, Nadila datang bersama dengan Tama.
"Lama banget sih? Buat ulah apa ini cewek jadi jadian?" — Yuda
PLAK!
Dan tak disangka, Yuda mendapat tamparan dari Nadila
"Si babi malah digampar gue"
"Be-ri-sik" Nadila ingin menyerang Yuda kembali
Namun Tama segera mencegahnya
"Nadila"
"Dia berisik"
"Iya berisik, ayo ke kamar"
"Kenapa lo bawa ke sini sih bang? Bawa pulang aja sana! Biarin Bang Dani yang urus"
"Lo masuk kamar, biar Nadila yang gue urus" Tama menyuruh Yuda agar tidak mengomel lagi.
Yuda hanya berdecak, lalu segera pergi meninggalkan mereka berdua
Tama menatap Nadila yang wajahnya sangat merah, dan bau alkohol di dalam mulutnya.
"Seperti ini ingin menjadi ibunya Issya?"
.
.
.
Tama telah membawa Nadila ke dalam kamarnya, karena Nadila sudah hilang kesadaran, dia tidak mungkin meninggalkan di kamar tamu sendirian
Tama melepas sepatu dan jam tangan milik Nadila, lalu juga melepas jaketnya.
Tama melihat pakaian Nadila yang ternyata sangat minim.
Tama menggelengkan kepalanya, dia harus tersadar akan hal ini. Walaupun sejujurnya hasrat di dalam diri Tama mulai bangkit.
"Tidur, saya keluar sebentar" Tama berdiri, dia melepas jaketnya, karena merasa panas, dia ingin keluar sejenak untuk mengontrol diri.
Namun belum sempat Tama keluar, Nadila tiba tiba saja berdiri, dan memeluk Tama dari belakang.
Lagi lagi jantung Tama seperti berlari cepat.
"Aku cinta sama Om"
Deg!
"Om Tama tahu nggak sih, pandangan pertama? Aku jatuh cinta pandangan pertama sama Om" Nadila berucap sembari mengeratkan pelukannya.
"Tapi aku tahu kalau om Tama nggak cinta sama aku, om kan cuma cinta sama mendiang istri om"
Tama terdiam, dia membiarkan Nadila mengungkapkan perasaanya, walaupun dia tahu jika Nadila tengah dibawah alam sadar.
"Aku juga tahu, kalau om Tama sering sebut nama aku waktu om—"
"Nadila." Tama segera menghentikan Nadila agar tidak semakin berbicara.
Tama melepas pelukannya, lalu menatap Nadila.
"Mau main nggak om?"
"...."
"Daripada om main sendirian, terus sebut nama aku, lebih baik aku wujudin sekarang kan?"
Tama mengepalkan kedua tangannya dengan erat.
"Kalau itu bisa buat om jatuh cinta sama aku, nggak papa, aku—"
Belum sempat melanjutkan omongan, Tama segera memeluk Nadila dengan erat.
"Om mau?"
Tama mengeratkan pelukannya.
"Saya mau, tapi setelah kita menikah."
"Emang om mau nikahin aku?"
"...."
"Katanya kan om Tama masih ragu, aku nggak cocok jadi Ibunya Issya"
Tama semakin mengeratkan pelukan.
"Ayo menikah"
Nadila tertawa kecil, sembari mengeluarkan air mata.
"Menikah itu kan karena cinta om, bukan karena aku mirip istrinya om yang udah meninggal"
Tama menghela nafas panjang "Tidur ya?"
"..."
"Mau saya temani?"
Nadila hanya mengangguk sembari terisak pelan.
Tama segera menuntun Nadila untuk ke arah ranjang.
Tama menaikkan selimut agar Nadila tetap hangat, dia mengelus kepala Nadila.
Setelah 15 menit, Nadila terlihat sudah tertidur pulas. Tama merapikan selimut sekali lagi
Tama berbalik badan, dia mengusap wajahnya, lalu menghela nafas dengan kasar.
'Nadila, maafkan saya'
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
anly me
ceritanya seru
2020-07-28
1