"Hah?! Yang bener Issya ngomong gitu ke lo?" Yuda dibuat terkejut ketika mendengar cerita dari Tama yang mengatakan Issya ingin Nadila menjadi ibu sambungnya.
Tama mengangguk.
"Wahh parah emang anak lo bang." - Yuda.
"Parah kenapa? Ada yang salah dari ucapan Issya?" - Tama
"Nggak ada yang salah, iya sih Nadila tuh suka sama anak anak. Tapi nggak cocok banget jadi emak emak kalau sekarang "
"Kenapa harus nggak cocok?" - Tama
"Ya menurut gue nggak cocok aja, orang bocahnya kelakuan belok kayak gitu." Yuda masih terkejut dan heran.
"...."
"Lagian mana mungkin juga lo mau nikahin orang macem si Nadila, Lo sama dia aja bagaikan langit dan bumi, Umur juga beda jauh banget ya kan?" — Yuda
"Tapi, kalau emang takdir gue harus sama Nadila gimana?" Tama kembali bersuara
Dan itu membuat Yuda tambah terkejut lagi
"Apaan nih maksudnya? Pakai bawa nama takdir segala, Lo suka sama Dila?"
Tama terdiam sejenak
"Nggak tahu juga sih Yud."
"Nggak tahu gimana maksudnya bang?"
"Sebenernya, Gue tertarik sama Nadila dari awal ketemu. Tapi gue masih bingung sama perasaan gue, antara suka atau nggak." - Tama
"Lo tertarik sama Nadila bukan karena—"
"Jujur, senyuman dia mirip Hana."
"...."
"Kalau lihat Nadila senyum, gue malah ingetnya sama Hana"
"Heh, nggak ada nggak ada."
"..."
"Senyuman si Hana sama Nadila beda, kelakuanpun juga beda, jangan disamain dong bang? Nggak terima gue" Yuda terlihat tidak senang jika Nadila dimiripkan oleh mendiang istri Tama
"Bukan gitu Yud"
"Terus gimana? Nih ya bang, gue sebagai sahabat sekaligus orang yang rekomendasiin Nadila buat kerja sama lo, nggak akan terima kalau lo samain dia sama Mbak Hana, mereka beda"
"...."
"Mulai sekarang, lo buang jauh deh angan angan lo buat memperistri Nadila, kalau emang lo masih cinta sama mendiang istri lo itu, lebih baik berhenti dari sekarang buat deketin Nadila bang, gue nggak suka itu"
"..."
"Kalau lo juga niatnya mau nikahin Nadila, lo harus bisa lihat dia sebagai dirinya sendiri bang, bukan sebagai Mbak Hana, gue nggak mau Nadila sakit hati"
Tama hanya terdiam, karena yang dikatakan Yuda ada benarnya. Dia juga tidak ingin menyakiti Nadila seperti itu.
Hanya saja ini masalah hati, tidak ada yang bisa merubah itu.
"Yuda?"
"Apa?"
"Mahen itu, Mantan pacarnya Dila?" Tama mengalihkan pembicaraan
"Ya gitu deh, kok lo tahu?" — Yuda
"Nadila sendiri yang cerita sama gue pas dia ke kantor." - Tama
Yuda mengangguk mengerti
"Yud?"
"Apa lagi sih Pratama Hutomo?"
"Gue nggak kaget kalau Mahen mantan pacarnya Nadila, tapi hati gue merasa kurang nyaman"
"Ah elah bang, gitu aja masa lo nggak ngerti sih?" — Yuda
"Ya emang gue nggak tahu, makanya gue tanya. Kalau gue paham nggak sudi gue tanya lo"
Adik kakak ini memang sangat tidak akur
"Ya kalau lo begitu, berarti ada yang salah sama hati lo. Mungkin lo cemburu"
"Cemburu? Masa sih?"
"Kalau nggak percaya mah yaudah." Yuda berdiri
"Mau ke mana lo?"
"Mau bobok, udah ngantukzzz"
"Tumbenan? biasanya juga nonton—"
"Ini mau nonton, kenapa? Lo mau ikutan nonton juga? Ntar lo tiba tiba nafsu sama Nadila kalau nonton bang"
"Anjing!" Dan Tama mengumpati sang adik
****
Nadila baru saja sampai rumah. Dia sangat lelah hari ini.
Entah kenapa, hari ini Nadila sangat lelah dalam fisik, badannya terasa tidak enak. Maka dari itu, dia segera pulang dari rumah Tama, karena dia takut jika tidak sadarkan diri di sana.
"Ck, pusing banget sih." Nadila terduduk di kursi belajar sembari menyentuh kepalanya.
"Dek." Dan tak berselang lama, Dani sudah berada di depan kamar sang adik
"Kak Dani, Kalau mau masuk ke kamar orang tuh ketuk pintu dulu" Nadila mengomel
"Hello?? Kamu dari tadi dipanggil namanya aja nggak ada sautan"
"Dasar alay, kenapa sih?"
"Disuruh mama makan tuh."
"Dila nggak nafsu makan kak, bilang ke mama suruh makan duluan aja, Ila mau tidur sebentar" ucap Nadila dengan lemas
Dani mendekat ke arah sang adik
"Kenapa kamu?" Dani bertanya sembari menyentuh wajah Nadila
"Kamu sakit ya?"
"Nggak tahu kak, tapi kepala Dila pusing"
Dani menyentuh wajah Nadila sekali lagi.
"Kamu demam ini, ngapain aja sih kamu seharian tadi di luar?"
"Ya kan Dila kerja kak, ngapain lagi coba?"
"Emang abangnya Yuda suruh lo ngapain sih? Udah tahu gampang sakit, malah dipaksa kerja yang bukan kemampuan kamu" Dani mulai mengomel, karena dia khawatir dengan keadaan Nadila
"Ya namanya juga jadi pengasuh kak, pasti capek lah, abangnya Yuda juga nggak suruh kerja yang berat kok. Lagian Dila kerja juga buat penuhi kebutuhan kuliah"
"kan bisa kamu minta ke kakak"
"Dila nggak mau repotin kakak, mama sama papa lagi, Dila pengen mandiri, lagian kan ini juga salah Dila sendiri."
"Ya tapi kan-"
"Udah pergi sana! Dila capek, mau istirahat" Nadila mengusir Dani agar tidak bertanya lebih jauh
Dani menghela nafas dengan kasar, lalu segera keluar dari kamar Nadila
"Dasar bandel, udah tahu dia nggak terbiasa kerja berat kayak gitu, malah ngeyel. Kayak nggak ada kerjaan lain aja"
.
.
.
.
Disisi lain, Tama sedang berada di kamarnya. Setelah menemani Issya hingga tertidur, dia juga ingin tidur.
Namun sampai sekarang Tama belum bisa memejamkan mata
Tama menaruh lengannya di kepala sembari menatap langit langit.
Sejujurnya, Tama sedang memikirkan perkataan Yuda tadi.
Kalau lo juga niatnya mau nikahin Nadila, lo harus bisa lihat dia sebagai dirinya sendiri bang, bukan sebagai Mbak Hana, gue nggak mau Nadila sakit hati
Tama menghela nafas, lalu segera terduduk dan mengambil foto mantan istrinya yang berada di sebuah loker
Tama memandangi wajah sang istri yang tengah tersenyum menatap.
"Saya tahu ini salah, tapi saya benar benar tidak nyaman melihat senyuman itu"
Skip <<
Nadila tidak ada jadwal kuliah hari ini, jadi dia akan ke rumah Tama seharian untuk mengurus kebutuhan rumah dan menjaga Issya. Karena dia merasa bersalah kepada Issya atas janjinya kemarin yang mengajaknya bermain.
"Sayang, Kamu yakin mau berangkat kerja? Lihat tuh kamu pucet gini." Mama Yuri melihat wajah Nadila yang pucat dengan cemas.
"Tahu tuh, izin libur sehari kek, nggak mungkin kan abangnya Yuda nggak kasih izin?" Dani menimpali
"Nggak papa ma, lagian Dila udah mendingan kok, udah nggak pusing kayak kemarin" — Nadila
"Mendingan apaan! Lemes gitu dibilang mendingan" — Dani
"Apaan sih kak Dani! Nyaut aja."
"Yaudah kamu sarapan dulu ya. Biar perut kamu nggak kosong." Mama Yuri menyuruh Nadila sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat bekerja
"Nggak usah ma, nanti Dila sarapan di luar aja. Dila berangkat dulu ya." Nadila mencium pipi sang ibu, lalu segera keluar rumah.
Karena Nadila tidak ingin mendapatkan omelan yang lebih panjang
.
.
.
Sementara itu di kediaman Tama.
"Papa, tante Dila nanti kesini kan?" Issya bertanya kepada sang papa
"Iya sayang, tapi mungkin tante Dila ke rumahnya siang, soalnya harus pergi belajar dulu" ucap Tama sembari merapikan rambut Issya.
Tama memang sangat telaten dalam mengurus sang buah hati. Maklum, karena dia adalah single parent dari Issya lahir.
"Selamat pagi." Dan tak berselang lama, ternyata Nadila telah sampai di rumah Tama.
"Tante Dila!" Issya yang tahu segera berlari ke arah Nadila
"Duh wangi banget sih, Udah siap buat ke sekolah ya?" Nadila berucap sembari mengelus kepala Issya
"Udah dong Tan, kata papa Issya harus semangat sekolah, biar nanti jadi anak pintar"
Nadila tersenyum, lalu menatap Tama
"Om Tama yang mengantar Issya?" — Nadila
"Hari ini Issya dijemput bis sekolah"
"Tante Dila, ayo antar Issya ke depan, Issya mau pamer kalau Tante Dila ini calon mama nya Issya"
"Hah?" Nadila sangat terkejut mendengar omongan anak dari Tama ini.
"Issya, nggak boleh ngomong gitu sayang" Tama memperingatkan Issya agar jangan berbicara sembarangan
"Kenapa? Kan tante Dila beneran calon mamanya Issya pa, kan Issya kemarin malem udah bilang ke papa"
Nadila melirik Tama yang sedang menggaruk tengkuknya.
"Yaudah yuk tante antar ke depan. Sebentar ya om, Aku mau antar Issya dulu ke depan" Nadila segera menggandeng tangan Issya untuk segera keluar rumah.
Sementara Tama yang sedari tadi diam, menghela nafas.
"Sepertinya saya harus berbicara dengan Nadila"
****
Menjelang siang, Nadila masih berada di rumah Tama, dia sedang membersihkan rumah yang lumayan berdebu ini
"Duh, gatel banget deh ini hidung" Nadila berucap sembari menggosok hidungnya, karena sedari tadi dia bersin
Tak berselang lama, Tama keluar dari kamarnya
"Eh? Om Tama nggak kerja?" Nadila bertanya
"Hari ini saya tidak pergi ke kantor, karena ingin menyelesaikan pekerjaan di rumah"
"Ohh gitu"
Tama menatap Nadila yang wajahnya memerah
"Kamu sakit?" — Tama
"Nggak kok om, aku cuma— HACHIII" Dan tanpa sengaja, Nadila bersin tepat di depan Tama.
"Astaga om! Maaf aku nggak sengaja" Nadila menundukkan kepalanya karena dia merasa bersalah
"Tidak apa apa"
"Maaf ya om, aku beneran nggak sengaja. Nggak tahu kenapa akhir akhir ini aku bersin terus" Nadila masih merasa bersalah
Tama menatap Nadila dengan intens
"Nadila?"
"Kenapa om?"
"Soal ucapan Issya tadi pagi, jika itu terjadi secara nyata, bagaimana?"
Mendengar itu, Nadila segera mendongakkan kepalanya untuk menatap Tama.
'Om Tama ngomong apa tadi?'
"Nadila?"
Nadila yang mendengar suara Tama segera tersadar kembali
"Eh iya om, aku mau bersih bersih kamar Issya dulu ya, soalnya tadi belum sempat beres beres di sana"
Nadila segera berbalik badan untuk ke kamar Issya
Namun tiba tiba kepalanya terasa sangat berat, Nadila seperti akan terjatuh
Untung saja ada Tama di belakangnya, jadi Tama secara sigap menopang badan Nadila.
"Kamu nggak papa?"
"Nggak papa om, mungkin karena aku belum terbiasa kerja kayak gini, jadi rasanya capek"
Dan tanpa diduga, Tama menyentuh wajah Nadila dengan lembut, tujuannya untuk memeriksa suhu badannya
Dan jantung Nadila mendadak berpacu dengan cepat.
"Kamu demam, kenapa kamu memaksakan diri untuk datang, Dila?" — Tama
"Nggak papa om, lagian aku hari ini nggak ada jadwal kuliah, pasti aku gabut banget di rumah"
"Saya antar kamu pulang saja ya?"
Nadila menggelengkan kepala yang membuat Tama sedikit gemas.
Tama tertawa melihatnya
"Kamu lucu"
Nadila terdiam sejenak sembari menatap Tama, ada perasaan mengganjal di hati.
"Om, Jangan ketawa kayak gitu di depan aku."
"Memangnya kenapa?"
"Karena aku nggak mau terlalu terbawa perasaan sama Om Tama"
To Be Continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments