Ku tatap langit yang begitu indah, ciptaan Allah SWT yang begitu sempurna. Disanalah Matahari bergantung, dari sanalah hujan turun. Disanalah bulan bersinar dan Bintang bintang berkelap kelip.
Ku lihat Zidan dan Bapak tertidur pulas, mereka sepertinya begitu lelah.
"Siti, menurut saya sih nya. Kamu terima saja lamaran Bu Amira, paling tidak demi si Zidan, hidup dia teh akan terjamin, Bapak kamu yang sudah tua tidak akan cape kerja ke orang lain lagi dan tidak akan tinggal di rumah kamu yang reot itu"
Aku hanya menghela nafas panjang, apa yang di ucapkan Pak Kades memang sangat benar. Jika aku menjadi menantu Bu Amira, hidupku akan berubah. Zidan tidak akan memakai pensil yang hanya seruas jari lagi, dia tidak akan menunggu lama untuk mengganti pensil nya itu, Bapak juga tidak akan sibuk kerja mencari uang untuk kami makan. Mereka tidak akan makan dengan sayur yang hanya berisi air saja.
Ah! Andai yang jadi calon suamiku Ustadz Zein, mungkin aku akan langsung setuju, meski tidak begitu mengenalnya tapi paling tidak dia tau ilmu agama yang lebih dalam jadi dia bisa menjalani rumah tangga sesuai ajaran agama.
Tapi....
"arghhhh! bagaimana laki laki sinis itu yang akan jadi suamiku?" jeritku dalam hati.
****
Mata semua orang menatapku, hingga aku merasa canggung di buatnya.
"Apa Siti tidak di beritahu Pak?"
"Kemarin sepulang dari rumah Pak Kades, Siti sudah tidur jadi belum saya beritahu"
"Oh... pantas saja dia kaget" ucap Pak Kades
" Nak, maksud kami sekeluarga memanggil kalian kesini, kami ingin kamu menjadi menantu keluarga kami" Jelas Bu Le
"Tapi kan Ustadz Zaelani sudah punya istri"
Hening.
Beberapa dari keluarga mereka tertawa geli di balik jemari mereka yang menutupi mulutnya.
"Bukan saya Siti, Tapi Lee Teuk yang akan menjadi suami kamu?"
"Teu eling ya Allah" ucapku spontan.
"Apa itu artinya" Bu Lee mengerutkan dahi.
"Euu maksudnya, Siti kaget Bu Lee"
"aah ... " Bu Lee membuka mulutnya sambil menganggukan kepalanya.
"Apa kamu keberatan Siti?" Tanya Bu Amira.
Aku menatap semua wajah orang orang yang ada di ruangan itu. Mereka semua beharap harap cemas menunggu jawabnku. Hanya dia! ya dia yang terlihat seperti acuh tak acuh padaku. Lee Teuk Kartasasmita begitu dingin.
"bisakah jawabannya nanti Eyang? Siti masih bingung. Siti harus berpikir dulu"
Aku melihat mereka nampak kecewa termasuk Bapak, aku melihat beliau memejamkan mata sejenak. Laki-laki yang akan menjadi calon suamiku beranjak dari kursi dan pergi menaiki tangga.
"Le...!" teriak Bu Lee sambil mengikuti langkah anaknya.
"Maaf ya Eyang, Siti juga bingung" aku menundukkan kepala dalam dalam.
" Tidak apa-apa Siti, Eyang mengerti kok. Sekarang tidurlah, sudah larut".
Kami semua pergi ke kamar masing-masing yang sudah di persiapkan di antar oleh pelayan.
Aku memasuki kamar yang berada di lantai Atas, sementara yang lain ada di lantai bawah.
Aku terpesona melihat kamar tidur yang luasnya bisa dua kali lipat dari gubug reot kami di kampung. Ranjang yang begitu besar, ada sofa panjang di ujung ranjang, di bawah samping kanan kiri di kelilingi karpet bulu lembut yang tebal. Ada kamar mandi sendiri di dalamnya. Lemari baju tas dan sepatu bahkan ada di ruangan yang berbeda, ada sepasang kursi dan meja yang cantik juga menghadap tembok yang disana terdapat TV yang begitu besar mungkin dua kali lipat besar pintu rumahku.
Ada meja dengan kaca yang penuh dengan alat rias, aku bisa melihat ada bedak dan lipstik disana, ada beberapa botol lotion yang berjejer.
"Ya Allah banyak pisan, aku kalau beli palinga yang sahcet di warung ceu Mimin"
Ada kotak besar di atas meja, saat ku buka banyak sekali Bros cantik disana, bukan cuma satu kotak tapi ada dua kotak. Mataku terbelalak untuk seketika aku merasa sangat wow!
Aku berjalan kembali ke ruangan yang di penuhi sendal, sepatu tas dan baju yang tergantung, semua di simpan dalam lemari kaca, jadi aku bisa melihat dari luar.
"Mungkin ini lemari Kak Humaira" pikirku karena baju yang tergantung semuanya gamis. Mataku tertuju pada satu gamis berwarna merah muda, karena sangat penasaran Ahirnya aku raih, aku pas kan di badanku.
"Pas? Tapi aku rasa tinggi Kak Humaira melebih tinggi badanku" Aku berusaha mengingat tinggi Kak Humaira.
"Kamu suka?"
Suara itu membuatku kaget bukan main, hingga baju yang ku pegang jatuh ke lantai. Aku sangat kikuk, sampai bingung harus berbuat apa?
Lee mendekat lalu mengambil baju yang tadi jatuh. Dia memberikan nya padaku. Aku hanya menunduk malu, hatiku berdegup sangat kencang, rasanya telapak tanganku basah karena terlalu gugup sampai mengeluarkan keringat dingin.
"Kamar ini di persiapkan Eyang khusus untukmu"
"ah?" aku mengangkat kepala dan tak sengaja tatapan kami bertemu, untuk sesaat aku dan Lee tidak berkedip. Astaghfirullah, aku segera menundukkan lagi kepalaku.
"Eyang memanggil mu waktu itu bukan karena ingin memberikan bingkisan padamu, dia sengaja ingin mengukur tinggi badanmu, bahkan eyang tidak tau isi bingkisan itu apa?"
"Kenapa kamu tau kejadian malam itu, rasanya aku tidak melihat mu disana"
"Aku tidak turun dari mobil, aku hanya ikut solat isa ke mesjid dan kamu menabrakku waktu itu. Setelah nya aku diam di dalam mobil"
"mobil? apa mobil putih itu?"
"hmm"
"apa jangan-jangan dari dalam sana kamu menatapku diam diam?"
"apa maksudnya?"
"Malam itu aku hanya merasa ada yang sedang memperhatikan dari dalam mobil, aku pikir supir"
"aa apa? supir? ck..wanita ini"
"Kenapa? benarkan?"
"Lupakan!" teriaknya sambil memajukan dagunya.
Lee membalikan badan dengan tangan di silang di dadanya dia berjalan menjauh, dia berhenti di depan pintu.
"Menikahlah denganku, aku pastikan keluargamu akan terjamin"
Cekrakk
Lee menutup pintu meninggalkan aku yang masih ragu dengan apa yang terjadi saat ini, semuanya begitu cepat dan terlalu mendadak, aku yang merasa diri paling miskin dalam seketika tinggal di dalam kamar dengan segala kemewahan nya.
Tapi menikah dengan laki-laki yang tidak aku cintai? Aku juga tidak tau dia baik atau tidak? Bagaimana mungkin Lee dengan fisiknya yang sempurna tidak memiliki kekasih? dia malah meminta ku menikah dengannya, aku yang bahkan tidak tau bagaimana cara menggunakan kamar mandi mewah ini. Ah sangat memalukan sekali, untung pelayan yang mengantarku tadi bisa menjelaskan semuanya dengan baik sampai aku tau babak cara menggunakan toilet duduk itu. Aishhh! Bagaimana Lee menikah dengan wanita bodoh sepertiku ini.
****
Aku kembali menghela nafas panjang, tapi ternyata udara di ibu kota tidak enak untuk di hirup dan membuatku batuk. Ku tutup kembali kaca jendela mobilnya.
"Lebih baik aku ikut memejamkan mata , perjalanannya masih jauh.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah keramaian dan kemacetan ibu kota.
Enam Jam mereka melakukan perjalanan, hingga sampailah mereka di Desa. Setelah berpamitan pada Pak Kades, Siti dan keluarga pulang dengan segala oleh oleh yang mereka bawa pemberian dari Bu Amira.
Dengan antusias Zidan menggendong tas yang berisi makanan, dia juga menjinjing kantong keresek besar yang isinya makanan juga.
"Ah, dia mah emang paling bahagia wae kalau tentang makanan mah" gumam ku.
****
"Ti, Bapak tidak akan memaksamu untuk mau menikah dengan cucu nya Bu Amira, Bapak serahkan semuanya sama kamu sajah"
"Terima ajah atuh Teh, kan Aa Lee ganteng, kalau Teteh nikah sama A Lee nanti Zidan bisa makan enak terus he he he"
Perbincangan kami setelah melaksanakan solat isa. Aku bingung harus menerima atau menolaknya ya Allah, aku sudah dua malam melaksanakan solat istikharah tapi petunjuk nya masih tidak jelas, aku masih ragu.
"Jang gitu atuh Zidan kamu mah mikirnya teh makanan wae"
"Nya atuh Pak, kan kita bisa makan enak cuma kemarin saja di rumah Aa Lee, Teteh kan sering tahajud sama Dhuha mungkin ini rezeki dari Allah buat Teteh"
"Kamu mah anak kecil taunya sepak bola wae, tidak usah memikirkan hal-hal yang begini segala"
"Eh ari Bapak, pan Zidan mah ngomong jujur, sok atuh sama orang sini mah Teteh teh suka di tolak gara gara kita orang miskin padahal mereka juga bukan orang kaya, sekarang Allah kirim Teteh jodoh yang rumahnya sajah sebesar lapangan bola nu biasa Zidan maen"
Aku hanya menyimak percakapan Zidan dan Bapak, yang satu membiarkan aku memilih sendiri, yang satu keukeuh ingin aku menerima lamaran Bu Amira, aku tau Zidan tidak mengerti banyak tentang kehidupan, dia hanya tau jika aku menikah dengan Lee maka hidup dia akan berubah secara materi.
Aku menatap sekeliling rumahku yang rapuh, ini memang sangat berbanding beribu ribu lipat dengan rumah yang kemarin kami singgah, bahkan aku rasa rumah ini cocok jika di jadikan tempat memelihara hewan, tapi sayangnya rumah ini ada aku, Bapak dan Zidan di dalamnya.
Zidan melihat dengan jelas bagaimana dulu ada yang datang ke rumah kami meminta aku untuk menolak lamaran anaknya.
"Anak saya teh suka pisan sama kamu, tapi saya tidak setuju. Saya tidak mau nanti uang anak saya hanya di habiskan untuk memberi makan Bapak dan adik kamu ini"
"Ya Allah Bu..." ucapku di sela sela isak tangisku.
"Maaf Siti, tapi itu kenyataan anak saya memang memiliki toko sembako di pasar, uang dia banyak tapi kalau harus setiap hari memberi makan Bapak dan Adik kamu, nanti uang anak saya habis, saya mohon sama kamu nya, tolak anak saya. Saya sudah ngmong sma anak saya untuk tidak melamar kamu tapi dia mah maksa wae, barang kali Kalau kamu yang menolak mah dia teh berhenti ngejar kamu, sebagai rasa terimakasih saya nanti saya beri kamu sembako yang lengkap"
"Tidak perlu repot-repot Bu, pergilah dan katakan pada anak ibu, saya juga tidak suka sama dia, saya tidak mau dia datang ke rumah saya, hatur nuhun Bu, sok mangga pulang"
Bukan hanya itu saja, bahkan ada warga yang mengajakku menikah hanya secara agama, dia ingin aku hanya jadi wanita simpanannya saja, dengan iming-iming akan memberiku nafkah 1.5 juta setiap bulannya. Aku jelas menolak mentah-mentah, tapi entah gosip darimana berita itu sampai ke telinga istrinya.
Dia datang dengan amarah memaki diriku dan juga Bapak.
"Pak, saya tau Bapak cuma buruh tani, tapi tolong jaga anak Bapak! didik supaya punya akhlak yang baik. Ini mah udah miskin mau merusak rumah tangga orang pisan, nih Pak jangan jual anak Bapak hanya untuk urusan perut Pak, malu sama gusti Allah, Bapak teh udah sengsara di dunia jangan sampai sengsara di akherat"
"cukup! bahkan jika tidak ada laki-laki lain lagi di dunia ini saya teh gak akan mau jadi simpenan suami ibu, saya memang miskin Bu, tapi saya punya harga diri saya lebih baik mati kelaparan dari pada harus merusak rumah tangga orang"
"ulah munafik Siti, kamu memang cantik tapi kecantikan kamu teh jangan di pake buat merayu laki laki yang sudah menikah atuh, kumaha kamu mah Siti!"
Andai saja waktu itu Pak Kades dan warga tidak datang melerai mungkin kami akan bertengkar hebat.
Aku hanya menghela nafas panjang dan tersenyum melihat perdebatan Bapak dan Zidan yang semakin jauh kemana mana.
****
" Ya Allah yang maha mengetahui, hamba datang berseru kepada-Mu, maafkan hamba yang hina dina ini, ampun kan segala dosa yang telah hamba perbuat, hamba tau tidak pantas rasanya hamba meminta terlalu banyak padamu mengingat betapa kurangnya hamba berbuat baik agar engkau senang dan mencintai hamba.
Ya Allah tidak ada tempat mengadu dan memohon selain padamu. Berikanlah perunjuk-Mu atas segala kegundahan hati hamba, berikanlah jalan yang terbaik untuk hamba. hamba percaya apapaun yang terjadi adalah kehendak-Mu yang terbaik untuk hamba. aamiin"
"Siti, Terimkasih berkat dirimu Bapak bisa menunaikan ibadah Haji, Bapak bahagia sekali. Andai emak masih ada mungkin sekarang Bapak dan Emak sudah jadi Haji Nak" Bapak menangis tersedu-sedu saat aku menjemputnya di bandara.
" Sudah pak, Bapak juga harus berterima kasih pada suamiku, dia yang melalukan semua ini"
"Iya Nak, Bapak bersyukur punya menantu sebaik suamimu. Jadilah istri yang berbakti Siti, ridho mu bukan lagi ada di Bapak, tapi ada pada ridho suamimu, kamu adalah pakaian yang harus menutup segala yang ada dalam tubuh dan hidupnya, kekurangan dan aib suamimu adalah tugasmu untuk menutupi nya"
Allahuakbar Allahuakbar.....
"Ah ya Allah aku ketiduran, tidak sempat ngaji dan dzikir. Astaghfirullah... sudah adzan Subuh"
Aku melepas mukena, dan segera memakai jilbabku, aku keluar untuk mengambil air wudhu.
Allahuakbar....
.
.
Assalamualaikum warahmatullahi wa Barokatuh.
Baru selesai salamku, Zidan sudah memanggil.
"Teh, ini..." Zidan memberikan ponsel padaku
"ini siapa?"
"Aa Lee, ini ponsel Pak Kades, dia ada di luar sama bapak"
Aku meraih ponsel Pak Kades dari tangan Zidan, sementara aku masih menatap Zidan dengan bingung, anak itu hanya tersenyum merekah sambil mangut mangut. Ah Zidan aku tau kamu begitu menyukai Lee.
"Hallo..." sapa Lee
"Assalamualaikum..."
" Ee.. Wa Waalaikumsalam"
"Kenapa pagi sekali menelpon? kamu tidak tau ya rumah Pak Kades ke rumahku itu jauh"
"Tak apa, lagi pula Pak Kades bersedia bukan?"
"Bagaimana Siti?"
"Apanya?"
"Jawaban mu"
"Ah.. itu..." Aku terdiam sejenak, ku lirik sekilas wajah adikku yang nakal. Kepalanya mengangguk angguk cepat. Aku tau dia berharap aku berkata iya.
"Bismillahirrahmanirrahim... Insya Allah aku mau Lee"
"Yes!"
Aku menghembuskan nafas berat. aku tidak tau ini benar atau tidak. Tekad ku hanya satu, membahagiakan Bapak dan Zidan, aku tidak ingin dia hidup dalam kemiskinan lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Ima
Siti Mimpi bapak nya berangkat haji......
2020-10-27
3
kiki rizki
ku kira yg naik haji itu udah nikah. agak bingung di situ. hehe
2020-04-12
3