Dimadu Tak Semanis Madu

Dimadu Tak Semanis Madu

BAB. 1

Ayam jantan berkokok begitu nyaring membangunkan aku yang sedang tertidur lelap, bukan hanya karena suara ayam itu yang membuat ku terbangun, aku memang terbiasa bangun jam 2.30 dini hari untuk melaksanakan solat tahajjud.

Aku mengucek kedua bola mataku yang terasa masih lengket, Ku tepikan selimut yang mulai tipis, Rasa dingin yang menusuk sumsum tulang tak aku hiraukan, rumahku memang terletak di sebuah kaki pegunungan jadi cuacanya memang sangat dingin, di tambah lagi kamar mandi yang memang berada di luar rumah, kamar mandi yang terbuat dari bilahan bambu dan kayu di atas sebuah kolam ikan milik salah satu warga. Beruntung aku memiliki tetangga yang begitu baik.

Ku gulung lengan bajuku yang panjang sampai di atas sikut. ku bersihkan wajahku sebelum melakukan wudhu.

Deritan lantai rumahku yang terbuat dari papan kayu mengiringi langkahku malam itu, aku mendengar suara Bapak dan adikku Zidan yang mendengkur saling bersahutan.

Aku tertawa geli mendengar mereka. aku melanjutkan langkahku menuju kamar, ku ambil mukenah yang mulai lusuh yang ku gantung di pake di belakang pintu kamarku, bukan aku tak memiliki mukena lain lagi sampai harus memakai mukena yang sudah usang ini, aku memiliki satu lagi mukena, tapi itu hanya aku gunakan saat tarawih di bulan Ramadhan atau saat solat idul Fitri atau idul adha saja.

Allahuakbar....

.

.

.

.

Assalamualaikumwarohamtullahi wabarokatuh. ke kanan dan ke kiri. Aku mengangkat kedua tangan ku untuk berdoa dan meminta agar aku, Bapak dan Zidan selalu di berikan kesehatan. Ya. kesehatan adalah hal yang utama yang harus aku dapatkan karena jika sakit kami bingung dari mana harus mendapatkan biayanya, bahkan untuk makan dan sekolah Zidan saja sudah sangat pas sekali. untuk menyiasati nya, aku harus pergi ke kebun tetangga mengambil beberapa daun singkong atau pepaya untukku jadikan lauk.

Aku menutup mushaf Al-Qur'an saat ku dengar adzan berkumandang, waktu subuh telah tiba.

Bapak terbangun, di susul suara langkah Zidan yang ikut bangun untuk melaksanakan solat subuh.

Rutinitas ku setelah solat subuh adalah dapur, aku menyalakan tungku tanah liat yang Bapak buat, untuk memasak nasi dan segala-galanya.

Ah! mana ada uang untuk kami membeli kompor gas, meski kompornya bisa terbeli lalu bagaimana dengan gas isi ulangnya? Ya sudahlah lebih baik memakai tungku saja hanya bermodalkan tenaga untuk mencari kayu bakar di hutan.

Aku memasak nasi untuk kami makan pagi ini sebelum kami melakukan aktifitas masing-masing. Alhamdulillah pagi ini bisa makan dengan tempe, ada tetangga yang memberi kami satu papan kecil tempe, meski sudah agak sedikit busuk tapi lumayan, ini patut di syukuri bukan?

Aku mengirisnya dadu kecil, ku tusukan pada tusukan bambu, ku baluri dengan air garam dan sedikit penyedap lalu ku bakar layaknya sate. Tidak ada minyak untuk menggoreng. hiks.

Zidan datang menghampiri dengan seragam sekolah nya. Bapak sudah siap dengan cangkul dan topinya. Bapak adalah seorang buruh tani, hari ini Bapak mendapatkan pekerjaan untuk mencangkul sawah tetangga, Bapak mendapatkan upah 30.000, bekerja dari pagi hingga adzan Dzuhur berkumandang. Lumayan untuk membeli berasa dan biaya sekolah Zidan, meski sekolah nya gratis, tapi alat tulis harus beli sendiri. Jangan tanya emak, karena emak telah tiada, tiga tahun yang lalu.

Kami makan dengan lahap meski dengan lauk yang sangat sederhana, hanya ku tambahkan sambal yang isinya hanya cabe dan garam, cabe yang ku petik sendiri dari samping rumah. Ini sarapan yang sangat enak karena penuh rasa syukur dalam hati kami.

Zidan dan Bapak pergi ke tempat tujuan mereka masing-masing. Kini tugasku selanjutnya adalah merapikan semua isi rumah. Rumahku memang tidak bagus,hanya rumah panggung berlantaikan papan kayu, dindingnya juga terbuat dari geribik bambu. Meski begitu aku selalu menjaga kebersihan dan kerapihan rumah, alat masak kami mang tungku tapi kalian bisa pastikan tak ada abu atau arang di dapurku, semuanya ku bersihkan setiap selesai masak, lagi pula aku memasak hanya satu kali di pagi hari di makan untuk sampai sore nanti dengan lauk yang sama.

Pekerjaan rumah beres, waktunya aku mbersihkan diri. Selesai mandi aku mengambil air wudhu, karena aku harus melaksanakan solat Dhuha, aku mengaji dan berdzikir hingga tiba waktu dzuhur.

Aku sempat melihat saat mencuci baju, sapu lidi buatan Bapak masih tersisa seperti nya, aku berniat anak berkeliling ke desa sebelah dan menjualnya, semoga laku semua agar aku bisa membelikan Zidan pensil mengganti pensil dia yang lama yang tinggal seruas jari tangan. Hiks

Bapak bekerja sampai dzuhur, untuk mengisi waktunya sehabis dzuhur bapak membuat sapu lidi, lumayan untuk menambah penghasilan itupun kalau sapunya laku terjual.

Ada enam lagi sapu lidi yang masih tersisa, aku mengikat semua sapu itu menjadi satu, ku gantungkan di sebilah bambu yang panjangnya mungkin 150cm. Bambu itu ku simpan di atas pundak kananku. Dengan Bismillah ku langkahkan kakiku untuk berjualan, semoga ada rupiah yang bisa ku bawa hari ini. Aamiin

"sapu lidi... sapu lidi..."

Aku berteriak cukup keras berharap orang yang ada di dalam rumah rumah mendengar dan keluar untuk membeli sapuku. Tapi setelah sampai ujung dari wilayah kampung ku tak ada satu orang pun yang mau membeli, mungkin karena sapu mereka masih ada dan dalam kondisi bagus.

Terik matahari yang menyengat terasa panas di pipiku, ku pastikan wajahku sudah memerah seperti tomat. Orang orang bilang aku memiliki kulit yang sangat putih dan bersih, mereka mengatakan aku adalah gadis tercantik yang ada di kampung ini, benarkah begitu? aku rasa mereka benar. he he he

Hanya saja meski banyak pemuda yang menyukaiku, tidak ada yang mau menikahiku, apa mungkin karena aku masih kecil? dengan umur 18 tahun apa aku masih di bilang anak kecil? tapi kenapa teman seumuran ku malah sudah memiliki anak? Temenku bilang sih karena aku berasal dari keluarga yang sangat miskin, tidak ada yang mau berbesan dengan Bapak. Oh gusti malangnya nasibku yang miskin ini.

"Neng, sini" Teriak seorang ibu dengan perawakan yang subur. Dengan sumringah aku menghampiri ibu ibu itu.

"Sapu nya berapaan? mau satu ya"

"15.000 Saja bu"

"aihh maha atuh Neng, nawar ya 10 ribu ajah"

"gak boleh atuh Bu, nanti saya gak bisa makan"

"berapa atuh sok Neng, jangan 15 ribu banget, turunin harganya"

"sok lah bu 13 ribu ajah nya, saya korting 2rb kan lumayan buat beli masanyo rasa sapi"

"ihh masih mahal atuh Neng, udah ya 12 ribu saja"

"iya atuh lah kalau begitu mah sok ambil sapunya, ibu pilih sendiri"

Hadeuhhhh, gak ada yang gak bisa melawan emak kalau sudah berargumen apa lagi tawar menawar. Lumayan lah daripada tidak membawa uang sama sekali pikirku.

"Neng sayang banget ya punya wajah cantik harus jualan sapu, padahal mah cocok kalau jadi model"

"Model naon ibu? Model iklan sendal jepit?"

"Atuh model iklan sendal jepit mah keliatan kakinya ajah"

"Ha ha ha si ibu mah bisa wae, udah ah bu saya mau keliling lagi ya mudah-mudahan sapunya abis semua"

"Aamiin Neng, sok atuh keliling lagi"

"iya bu hatur nuhun, assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam"

Senyum masih menghiasi wajahku, mungkin anugerah Allah memberikan aku wajah yang rupawan, tapi belum memberikan aku derajat hidup yang lebih baik. Ah, tapi Allah itu maha adil, kita hanya harus percaya pada segala keputusan nya.

****

"Siti, ini uang hasil Bapak kerja hari ini, simpen baik baik, gunakan untuk hal yang penting saja"

"iya pak"

"sok atuh kamu tidur, sudah malam takut gak bisa bangun buat tahajud kalau tidur terlalu malam. Zidan hayu kita juga tidur"

"Nya pak" Zidan mengikuti langkah bapak ke kamar.

Aku membereskan piring dan gelas, Alhamdulillah ada tetangga baik yang mengirim kami singkong goreng satu piring, kami bertiga menyantapnya di temani teh pait hangat.

Malam semakin dingin, angin keluar masuk dengan leluasa melewati sela sela rumahku yang terbuka cukup lebar.

Aku membersihkan kasur ku yang sudah mengeras, kapuk nya sudah lapuk, banyak tambalan dimana mana. Pun dengan bantal dan selimut, sepertinya bantal ini lebih pas di sebut kayu yang lapuk.

krekkkkkk

Baru saja aku ingin merebahkan badanku, aku di kaget kan oleh suara yang berasal dari ujung kakiku. Aku bangun dan melihat nya untuk memeriksa apa yang terjadi.

Hupf! Selimutku yang rapuh sobek, padahal hanya menyangkut di ibu jari kakiku saja. Saking apanya coba? Hiks.

Tak mengapa, mungkin semua ini terjadi supaya aku tidak tertidur begitu lelap hingga meninggalkan percakapanku dengan-Nya di sepertiga malam nanti.

Selalu lah berprasangka baik, hingga semuanya akan terjadi dengan baik, bukankah Allah itu adalah apa yang kita sangka kan? setahuku itulah yang di katakan guru ngajiku saat di madrasah dulu.

uhuk uhuk

uhuk uhuk

samar samar aku mendengar suara, aku bangun dan melihat ke sekeliling, mencari jilbabku, aku mengerjapkan mata agar mau terbuka dengan sempurna.

uhuk uhuk

Ah! itu Bapak, kenapa bapak batuk terus? mungkin dia sakit. Aku segera bergegas ke dapur untuk mengambil segelas air hangat.

"ini pak minum dulu"

"Hatur nuhun, tidur lagi ajah Ti, ini masih malam, nanti tahajud kamu terlewatkan"

"iya pak"

Aku melihat jam memang belum waktunya aku untuk bangun solat tahajjud. ini masih jam 11 malam. Aku kembali ke kamar, sebenarnya aku tidak ingin tidur,ingin menemani Bapak, tapi mataku ini tidak bisa di ajak kompromi rasanya memang sangat lelah setelah tadi berkeliling menjual sapu ke desa tetangga, meski sapu yang berhasil ku jual hanya dua saja, tapi Alhamdulillah lagian tadi juga Bapak memberikan uang hasil kerjanya padaku, besok aku bisa membelikan Bapak obat dari warung agar batuknya membaik.

Aku merebahkan kembali tubuhku, aku masih mendengar Bapak batuk, hingga perlahan suara itu semakin samar dan hilang. Hzzzzzz!!!!

Ayam jantan milik tetangga kembali berkokok, aku melaksanakan rutinitas ibadahku seperti biasa, hingga selesai solat subuh.

Aku buru buru ke samping rumah, kebetulan ada tanaman bayam liar tumbuh disana. Hari ini aku akan membuat sayur bening untuk Bapak yang sedang batuk.

Kupetik bayam liar itu, lalu ku cuci bersih di pancuran. Aku petik menjadi bagian bagian kecil, aku masukkan bayam itu ke dalam air yang mendidih, hanya ku tambahkan tomat dan penyedap masanyo rasa ayam, tanpa bawang merah dan putih, ku berikan air agak banyakan biar bisa di makan untuk nanti siang sekalian.

"Teh, udah beli pensil nya belum? pensil Zidan udah susah di pake, udah terlalu pendek" ucap Zidan saat kami makan.

"Belum, Zidan beli sendiri nya di warung ceu Mimin, nanti teteh kasih uangna"

"Nya atuh teh"

Zidan nampak sumringah sambil melahap nasi yang hanya penuh dengan air sayur tanp ada sayurannya.

Uang hasil jualan sapu dan hasil kerja Bapak akan aku pakai untuk beli beras dan bayar tagihan listrik. Tagihan listrik rumahku memang tidak mahal hanya menghabiskan 28.000 tiap bulannya. Wajar sih karena di rumahku hanya ada bohlam beberapa biji saja. Sisa nya aku beli lauk untuk sore nanti dan beli obat batuk untuk bapak.

"Punten...."

"Mangga... Eh neng geulis mau beli apa?"

"ini ceu, mau beli berasa satu kilo sma obat batuk"

"saha nu sakit Neng?Neng sakit batuk?"

"Bukan ceu, Bapak yang sakit batuk z semalam teh sampe gak bisa tidur"

"Oh, ya sudah euceu ambilkan dulu berasna nya "

"Nya ceu"

Aku melihat ceu Mimin menimbang beras, dia memasukkan nya pada kantong plastik berwarna hitam. Kemudian mengambil obat batuk shacetan. Dia juga mengambil beberapa sayuran yang tidak aku pesan.

"Ini Neng ada sayuran yang kemarin gak laku, udah sedikit layu tapi masih layak konsumsi kok"

"aduh ceu hatur nuhun, merepotkan jadinya"

"ah te nanaon Neng, gak repot kok"

"Berapa ceu beras sama obat nya?"

"17 ribu neng"

Aku menyodorkan uang 20 ribu satu lembar.

"Ini neng kembali nya 3 ribu nya"

"iya ceu makasih ya"

"sami sami neng"

Meski hidup dalam kemiskinan, tapi Allah kirim aku tetangga yang baik baik, ini juga merupakan keberkahan dan rezeki yang Allah kirim untukku.

Aku pulang dengan perasaan senang bahagia, membawa sayur mayur pemberian Ceu Mimin, dia memiliki warung sembako dan keperluan rumah tangga lainnya, dia juga menjual laik pauk dan sayuran lainnya.

"Alhamdulillah, sore ini Bapak dan Zidan bisa makan sayur tidak cuma airnya saja"

Aku bicara pada diriku sendiri, sepanjang jalan ku terus tersenyum bahagia, dengan berasa sayuran dan obat untuk bapak.

Rasanya tidak sabar aku ingin memasak untuk makan malam nanti, aku akan masak sayur sop, karena ada wortel, kol dan daun bawang. Aku hanya tinggal memilahnya saja dan membuang sedikit sayuran yang sudah mulai membusuk ujungnya.

Sementara kangkungnya bisa aku masak untuk besok pagi, Aku hanya harus merendam ujung tangkainya di ember berisi air maka kangkung itu tidak akan layu sampai besok pagi.

Terpopuler

Comments

Rafi Aida Masjhar

Rafi Aida Masjhar

😊

2021-09-09

0

Tri Widayanti

Tri Widayanti

Menarik😘💪

2021-03-02

1

Fitri Mawaswati

Fitri Mawaswati

mahal amat berasnya

2020-10-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!