BAB 3

Saat pagi tiba, Bapak dan Zidan begitu bahagia dengan bingkisan pemberian Bu Amira. Aku memberitahu Bapak tentang uang 1 juta itu, tapi Bapak menyerahkan semuanya untuk aku atur.

Aku pikir bisa untuk membenahi atap yang bocor.

"Teh Siti, punten.... Teh..."

Aku yang belum menyelesaikan dzikirku stelah solat Ashar terpaksa berhenti, kubuka mukena dan ku ganti dengan kerudung jeblosan yang warnanya sudah mulai memudar. Aku membuka pintu, ku lihat ada dua anak kecil teman sepermainan Zidan di depan pintu

"Aya naon manggil manggil?"

"Teh di suruh pak Kades ke rumahnya?"

"Kenapa oak Kades nyuruh Teteh kesana?"

"Gak tau atuh Teh, kita mah cuma di suruh ajah"

"Ya sudah atuh hayu kita kesana"

Aku menutup pintu, dan pergi mengikuti langkah anak anak itu, di jalan aku sedikit gugup, aku takut ada masalah sampai di panggil sama pak Kades.

Oh! aku baru ingat, pak Kades pasti mau menanyakan isi bingkisan kemarin. Ya ya... spertinya begitu" aku pun merasa sedikit tenang.

"Ya ampun! harusnya aku membawa satu bungkus biskuitnya buat lak Kades" Langkahku terhenti berniat kembali ke rumah untuk mengambil satu bungkus biskuit, Tapi aku kembali melanjutkan langkahku menuju rumah Pak Kades, nanti saja kalau Pak Kades memintanya baru aku akan pulang dan kembali mengambil biskuit itu.

"Pak Kades.... punten" ucap kedua anak itu berbarengan.

" Iya mangga" Pak Kades keluar.

"Eh Siti, sini ayo masuk" Tanganya mengayun mengisyaratkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Ini upah buat kalian" Pak Kades memberikan upah masing-masing anak mendapatkan uang 2 ribu rupiah. Mereka tertawa girang dan pergi berlari menjauh.

"Ayo Siti duduk"

Aku dan Pak Kades duduk di kursi berbarengan, Ku lihat Pak Kades menghela nafas dengan senyuman di wajahnya. Aku pikir Pak Kades pasti gak sabar mau tau isi bingkisan kemarin.

"Ada apa Bapak manggil saya? apa tentang bingkisan kemarin ya Pak?"

"Bingkisan?" Pak Kades menaikan satu alis nya.

"Itu Pak, bingkisan dari Bu Amira, isinya ada biskuit dan kue Pak, ada juga buah-buahan, sama amplop pak, isi nya uang 1juta" jelasku nyerocos.

"Ha ha ha... Siti Siti, kamu itu sangat polos hal semacam itu saja kamu ceritakan pada saya"

"Kan Bapak bilang kalau saya sudah membukanya, saya harus ngasih tau Bapak isinya kalau saya bertemu Bapak nah sekarang kita teh pan udah ketemu Pak"

"Astaghfirullah Siti, Ha ha ha. Pantes Bu Amira menyukai kamu, kamu itu selain cantik dan polos ternyata kamu itu jujur"

"kalau saya tidak jujur, Allah teh bisa marah sama saya Pak"

"Ya ya ya itu benar, tapi saya memanggil kamu kesini bukan soal kue Siti"

"tentang apa atuh Pak? saya takut Pak"

"Takut Kenapa?"

"Saya takut membuat masalah, terus Bapak manggil saya kesini buat marah"

"Ha ha ha... Siti Siti, mana mungkin saya marah samu kamu, orang di Desa kita tau kamu itu anak yang baik, kamu mah aya aya wae Siti"

"He he he"

"Begini Siti, Bu Amira menelpon saya tadi pagi, dia ingin saya membawa kamu ke rumahnya di ibu kota, sekalian sama Bapak dan adik kamu ya"

"euleuhh Pak, kenapa? Apa Bu Amira mau jadikan saya pembantu ya Pak? Wah itu mah gak akan di izinkan sama Bapak Pak"

"Saya juga tidak tau Siti, tapi Bu Amira sudah mengirimkan mobilnya kesini, mungkin nanti malam baru sampe, Nah Siti besok kita berangkat ya, biar nanti saya yang ngomong sama Bapak kamu"

"Oh iya pak, kalau begitu, jauh ya Pak dari Desa kita ke ibu kota?"

"mungkin sekitar 6 jam Siti"

"Saya belum pernah pergi jauh Pak, kira kira saya mabok perjalanan tidak ya"

"Ha ha ha. nanti saya bawa kantong keresek satu pak buat kamu"

"Alhamdulillah, hatur nuhun Pak Kades, kalau begitu saya pamit ya Pak"

"Iya Siti, nanti habis magrib minta Bapak kamu kesini ya"

"Iya Pak, Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Aku keluar dari rumah Pak Kades, ku pakai sendal jepit ku yang sudah mulai tipis di bagian ujung tumitnya. Aku berjalan dengan perasaan bahagia karena aku di panggil bukan karena suatu masalah, tapi aku juga ragu dan cemas tentang keberangkatan ku besok ke ibu kota. Tanpa sadar aku mengucek ngucek ujung jilbabku, Ya seperti itulah kalau hatiku gelisah dengan reflek tanganku akan mengucek apapun yang terdekat dengan tanganku dan mengigit ujung bibir bagian bawahku.

****

"Pak, nanti dari mesjid Bapak langsung ke rumah Pak Kades ya, tadi Bapak di suruh kesana habis magrib"

"Ada apa?"

"Siti juga kurang tau Pak"

"Ya sudah nanti Bapak kesana"

Bapak yang siap dengan baju Koko nya, peci Hitam yang kini sudah mulai memerah dan sarung yang masih lumayan bagus, pemberian tetangga bukan kemarin, katanya mereka dapat THR di Ramadhan lalu dan tidak kepake makanya di berikan buat Bapak.

****

Pagi pun tiba. Aku, Bapak dan Zidan dan Keluarga Pak Kades pergi menuju ibu kota, baru kali ini aku menaiki mobil mewah, dalamnya begitu luas, dan tidak bau bensin seperti jika aku naik angkot. Aku semakin kaget dan takjub saat kakiku bisa selonjoran di dalam, kursinya sangat ajaib menurutku. Dan yang membuat aku semakin kaget lagi adalah kursinya bisa memijat Ya Allah. hi hi hi

Bapak terlihat begitu bahagia, beliau duduk dengan nyaman saat kursi ajaib itu memijat tubuhnya.

Sementara itu Zidan asik memandangi pemandangan yang kami lewati, dia begitu senang, senyuman begitu lebar hingga memperlihatkan semua Gigi nya yang sebagian ompong.

4 Jam berlalu, kami kini sudah sampai di ibu kota, gedung gedung tinggi menjulang, banyak mobil berlalu lalang.

"Teh itu, mobilnya panjang pisan nya" Zidan menunjuk salah satu mobil tinggi dan panjang berwarna hitam mengkilap.

"Itu namanya Bis Zidan" ucap Pak Kades.

"Oh, Bis nya Pak, panjang ya bisa satu desa masuk itu" ucap Zidan polos.

Nampak senyuman bahagia di wajah bapak, Bapak sepertinya bahagia melihat Zidan.

Mobil yang kami naiki memasuki gerbang sebuah rumah yang besar, mungkin rumah ini lebih luas dari lapangan sepak bola di kampung kami. Mobil kami berhenti di depan pintu masuk, di atasnya ada atap yang tinggi dengan lampu yang begtu besar, ada empat tiang yang menyangga atap itu. Tepat di sebelah kanan ada kolam ikan yang besar, di tengahnya terdapat patung seorang wanita yang sedang menggendong sebuah kendi, kendi itu menumpahkan air yang tak henti henti. Aku berpikir darimana air itu berasal? kendi sekecil itu bisa menumpahkan air begitu banyak. Aku mengernyitkan dahi dan terus berpikir.

"Siti ayo masuk" suara Pak Kades membuatku berhenti berpikir tentang kendi itu.

Aku menaiki beberapa anak tangga, mungkin ada sekitar 8 tangga yang aku naiki. Pintu itu begitu besar seperti gebyog orang nikahan, persis seperti pernikahan yang suka da di kampung, pintu kayu yang penuh dengan ukiran khas jawa. Di samping pintu ada guci keramik besar, saat aku berdiri di sampingnya guci itu lebih tinggi dari tubuhku. Mataku terus berkeliaran menikmati keindahan bagian depan rumah Bu Amira.

Ada dua orang dengan seragam yang sama menyambut kedatangan kami, mereka menyambut kami dengan ramah. Mereka berdua mengantar kami ke ruang tamu, disana ada beberapa orang telah menunggu, aku hanya mengenal Ustadz Zaelani dan Bu Amira, empat orang lainnya aku tidak tau.

Ada seorang wanita yang tidak memakai jilbab, dia memakai kemeja motif dan rok hitam di atas lutut, rambutnya keriting berwarna pirang, dia memakai sepatu yang biasa guru guru di sekolah Zidan pakai, hanya saja ini lebih bagus. Wanita itu sangat cantik, pipinya putih bersih matanya sipit.

Ada seorang laki-laki duduk di sebelahnya, memakai jas hitam, dan berkacamata. Kau pikir itu suami Ibu yang duduk di sebelah nya

Di sebelah Ustadz Zaelani duduk seorang laki-laki, sepertinya umurnya ada di bawah Ustadz Zaelani, laki laki-laki itu terlihat sinis apa mungkin karena matanya juga sipit? Hidungnya mancung, bibirnya tipis. Aku mengira itu anak Ibu yang rambut keriting karena mata merek sama sama sipit. Ada satu orang lagi di samping Bu Amira, wanita cantik dengan baju muslim yang begitu besar, jilbab menutupi lutut.

"Siti..."

Bu Amira melangkah menghampiri ku, memeluk dan mencium kedua pipiku.

"Bu apa kabar? sehat?"

"Kan kemarin udah bilang, panggil nya Eyang jangan Ibu"

"Eh iya Eyang..."

Eyang menyalami Bapak, dan memeluk Zidan serta mengalami keluarga Pak Kades. Kami di suruh duduk.

"Ya Allah ini kursi kok kaya kapas empuk banget, ini sendalku aku lepas ajah mungkin ya takut kotor kena karpet bulu" pikirku sambil melepas sendal.

"Di pake z nak sendalnya" ucap wanita berambut keriting tadi sambil tertawa lucu.

"Takut kotor Bu"

"Gak apa-apa Nak, itu bisa di cuci kok pakai saja"

Aku melirik ke arah laki-laki bermata sipit, dia tersenyum seperti mengejek padaku, dan. Dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Akhirnya aku memakai sendalku kembali.

Orang orang disini kenapa jorok sekali? memakai sendal ke dalam rumah. pikirku.

"Bagaimana perjalanan nya Pak Kades?"

"Alhamdulillah Bu lancar, kami menikmati perjalanan nya"

"Syukur kalau begitu, ayo mari... silahkan minum" ucap Bu Amira ramah.

Zidan yang sepertinya haus langsung mengambil minum, dia juga mengambil bebrapa cemilan yang tersaji di meja, Zidan makan dengan lahap sampai belepotan.

Aku hanya tersenyum melihat tingkah Zidan, aku bersyukur dia bisa makan makanan enak, seumur hidup baru Sekarang dia bisa Merakan nya. Alhamdulillah ya Allah terimakasih.

"Zidan ambil saja piringnya" ucap Ustadz Zaelani sambil mengambil piring dan meyodorkan nya ke Zidan. Anak itu tertawa bahagia.

" oh iya, Eyang perkenalkan dulu anggota keluarga Eyang ya. Ini Lee Han Byu menantu saya, dia berasal dari korea" ucap bu Amira menunju wanita cantik rambut keriting itu.

"Ini Anak saya namnya Hermanto, suaminya Lee Han Byu, Dan ini cucu kesayangan saya namanya Lee Hardi"

Oh, laki-laki itu yang sinis itu cucunya Bu Amira.

"Kalau ini kalian sudah tau ya, Zein. Dan ini Humaira istrinya Zein"

DEG!

Ustadz Zaelani punya istri? Ah rasanya aku kok sedih ya.

Kami ngobrol dengan begitu hangat, mereka orang kaya yang baik hati, tidak sombong dan angkuh, bahkan pada kami orang yang sangat miskin pun mereka begitu menghargai kami.

Kami semua menginap di rumah besar yang sepertinya lebih mirip istana ini. Selesai sholat Isa, kami semua di minta berkumpul di sebuah ruangan, ruangan yang sangat luas banyak hiasan yang indah sepertinya hiasan dari beling atau kaca, tapi ini lebih mengkilap.

Ada meja panjang terbuat dari kayu dengan beberapa kursi di sampingnya, di atas meja terhidang beberapa macam makanan yang sepertinya sangat lezat, Ah aku pastikan Zidan akan sangat bahagia. Benar saja aku melihat dia cengengesan tertawa sendiri melihat makanan yang ada di meja.

Ini adalah ruang makan. Beberapa pelayan masih sibuk menyiapkan segala sesuatunya, mereka menyiapkan piring dan alat makan lain nya, ada seorang pria memakai baju putih membawa sebuah mangkuk besar, aku rasa itu Sup. Dia memakai peci putih tapi tidak seperti peci Pak Haji, peci laki laki itu tinggi ke atas. Sungguh peci yang aneh!

Kami semua duduk, dan makan tanpa suara. Zidan yang tidak terbiasa memakai sendok dan garpu makan menggunakan tangan.

" Zidan makan lah dengan tanganmu, itu kan sunah Rasulullah, tak apa, jangan malu" ucap Ustadz Zaelani saat melihat Zidan yang seperti nya bingung.

Pelayan mengambilkan kami makanan, mereka mengambil nasi dan lauk pauknya ke atas piring kami. Aku serasa menjadi tuan Puteri pikirku sambil tersenyum sipu.

****

" Bagaimana Zidan makan malamnya? Zidan suka?" Tanya bu Amira.

Zidan hanya menganggukan kepalanya dengan senyuman nya yang merekah, aku tau sejak kami berangkat sampai detik ini wajah Zidan selalu di hiasi dengan senyuman nya yang lebar, dia begitu bahagia.

"Zidan betah disini?" Tanya Bu Lee.

"Hmm" lagi lagi Zidan hanya mengangguk dengan senyuman lebarnya itu, badan nya sempat meliuk perlahan karena malu malu.

"Kalau begitu Zidan mau tinggal disini?"

Zidan memberikan senyuman yang tertahan, dia sepertinya ragu, dan menatap ke arah Bapak dan aku bergantian.

Ha ha ha. Semua orang tertawa.

"Baiklah, saya akan bicara langsung saja ya Pak" ucap Bu Amira, memandang Bapak. Bapak pun mengangguk sopan.

"Mungkin Bapak dan Pak Kades sudah tau maksud saya mengundang anda semua ke rumah saya, Saya pertama melihat Putri Bapak langsung jatuh hati, entah kenapa saya begitu menyukai Siti, hingga sepulang dari ceramah Zein kemarin saya langsung berdiskusi dengan keluarga saya untuk meminta Siti menjadi bagian dari keluarga kami"

Apa maksud Bu Amira? apa beliau akan mengangkat aku menjadi anaknya?

"Saya harap Bapak bersedia memberikan Putri Bapak untuk kami, bagaimana Pak?"

"saya... itu Bu... ehm naon nya" Bapak gugup.

"Tidak apa-apa Pak bicaralah, tidak usah takut apa lagi malu"

"Saya malu Bu..."

"Kenapa Bapak harus malu?" Tanya Pak Hermanto.

"Saya ini kan orang miskin Pak, Bu, bagaimana saya bisa berbesan dengan kalian? saya tidak memiliki apa-apa"

"Ha ha ha. Pak Mamhmudin ini, saya tidak butuh apa-apa dari bapak, saya hanya ingin Siti jadi menantu saya " tambah Pak Hermanto.

"Menantu?" ucapku reflek, hingga membuat semua orang menatapku.

Terpopuler

Comments

kiki rizki

kiki rizki

ahh.. sepertinya sama cowok yg sinis itu yaa... ku kira sama zein

2020-04-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!