Pahlawanku Cintaku

Pahlawanku Cintaku

Part 1

#BAWA_AKU_BERSAMAMU

Part 1

Aku baru saja selesai menunaikan salat Zuhur, saat ponsel di tas berdering. Ternyata Mang Tardi yang menelepon.

“Ra, kamu pulang sekarang, ya!” kata Mang Tardi terdengar panik di seberang telepon.

“Ada apa, Mang?” tanyaku, perasaan ini jadi tidak enak.

“Apa Bapak sakit lagi, Mang?” tukasku, curiga sekaligus cemas.

“Maaf, mamang tidak bicara di telepon. Pokoknya kamu pulang sekarang, Ra.”

“Baik, Mang.” Ku tutup telepon.

Dengan langkah tergesa dan jantung yang berdegup kencang, kuketuk pintu ruang personalia. Setelah dipersilahkan masuk, kubuka pintu perlahan.

“Maaf, Bu. Saya mau minta ijin pulang cepat,” ucapku ragu saat mengutarakan niat kedatangan ke ruangannya. Karena ini baru jam istirahat makan siang.

“Memangnya ada apa? Kamu sakit, Ra?” Bu Tuti terlihat heran karena tidak biasanya aku pulang sebelum waktunya.

“Enggak, Bu. Tapi Mamang saya baru saja menelepon, menyuruh saya pulang sekarang juga. Sepertinya Bapak saya sakit, Bu,” jelasku.

“Baiklah, silahkan saja kalau memang mendesak,” jawabnya tersenyum ramah.

“Terima kasih, Bu.” Aku pun pamit dan bergegas pulang.

.

Satu jam perjalanan yang kutempuh terasa amat lama.

Hingga akhirnya angkot yang kutumpangi berhenti di seberang rumah. Akupun turun.

Deg!

Kakiku lemas, pandangan mengabur. Mengapa banyak orang di rumah? Apa itu bendera kuning?

Mamang berlari ke arahku. Tapi mengapa aku tak bisa menggerakkan lagi kaki? Seolah tertancap begitu saja. Tubuh kaku, tak bergerak.

Rasa sakit terasa merenggut kekuatan untuk tegak berdiri.

Aku limbung. Gelap semua.

“Ra, bangun, Nak,” isakan kudengar saat mengerjapkan mata, bersamaan dengan aroma kayu putih yang menyengat.

Bi Asih terisak disampingku, mengelus kepala. Samar terdengar suara orang-orang mengaji di luar kamar.

“Ra, bapakmu sudah berpulang. Sabar ya, Sayang.”

Jleb!

Innalillahi ... Yaa Rabb!

Air mata langsung mengalir deras. Dada terasa sangat sesak. Aku segera bangkit, tak peduli dengan kepala yang pusing.

Luruhlah air mata, lemas setiap sendiku.

Bapak ... terbaring kaku di tengah rumah, tertutup kain hijau. Bi Asih memelukku, mengusap punggung di sela isak tangisku yang menjadi.

Bapak, satu-satunya orang paling berharga dalam hidupku. Telah pergi.

***

Hari sudah beranjak senja ketika semua proses pemakaman Bapak selesai. Mata menerawang langit yang mulai jingga. Duduk di kursi teras, ditemani sesal tiada tara.

“Ra, kamu sudah makan?” Mamang duduk di sebelah. Aku hanya menggeleng.

"Mang, sebenarnya apa yang terjadi dengan Bapak?" Kutatatap wajah saudara kandung Bapak satu-satunya itu.

Menunggu jawabannya.

Mang Tardi menghela napas berat.

"Waktu istirahat Duhur, mamang sama bibimu ke sini niatnya mau nengokin bapakmu. Mamang heran karena bapakmu tidak juga membuka pintu. Waktu masuk ke kamar, bapakmu tertidur di kasur, masih memakai sarung. Kami kira bapakmu hanya pingsan, karena tubuhnya masih hangat. Bibimu memanggil mantri. Tapi ternyata ...." Suaranya tercekat. Mamang mendongak, menahan air mata yang siap meluncur.

Aku tak bisa menahan isak.

"Berarti tidak ada siapapun saat Bapak sakaratul, Mang?"

Oh Allah, ampunilah hamba-Mu ini yang lalai menjaga orang yang teramat berharga dalam hidupku.

"Kenapa mamang datang terlambat? Maafkan mamang, Ra."Sesal begitu kentara di matanya yang memerah.

"Enggak, Mang, Ira yang salah. Seharusnya Ira yang menyesal tidak menemani di saat-saat terakhir Bapak." Aku menutup wajah yang dipenuhi air mata.

"Kamu yang sabar, ya, Ra. Kamu harus kuat. Masih ada mamang dan bibimu. kalau ada apa-apa jangan sungkan beritahu kami,ya?"

"Terima kasih, Mang."

****

Aku tidak bisa ijin terlalu lama. Hari ketiga setelah kepergian Bapak, aku mulai kembali bekerja. Selanjutnya pulang-pergi setiap hari sampai empat puluh hari Bapak.

--------

Tiga bulan telah berlalu.

Sekarang di sinilah aku, terpengkur di samping nisan Ibu dan Bapak. Hanya do'a tanda kasihku dan mengunjungi peristirahatannya sebagai obat rindu yang tak pernah surut.

Aku kembali terbiasa pulang sebulan sekali, setiap kali gajian. Hari ini adalah hari pertama libur panjang sebelum lebaran. Seminggu lagi Idul Fitri datang. Entah akan seperti apa lebaran kali ini.

Setelah sahur yang ditemani air mata dan kesunyian,aku bergegas ke kamar mandi untuk sholat subuh. Setelahnya, membersihkan rumah yang hanya dihuni oleh debu dan kekosongan.

Hari masih pagi, ketika ada yang mengetuk pintu tanpa henti.

Tok, tok, tok !

Aku taruh sapu yang sedari tadi kuayunkan.

Kulepas sapu yang sedari tadi diayunkan. Berjalan, kemudian membuka pintu, dan ....

“Juragan Dasim?” Aku heran. Ada perlu apa teman Bapak itu datang ke rumah pagi-pagi seperti ini.

“Boleh saya masuk, Ra?”

“I-iya, silahkan juragan.” Kubuka pintu lebih lebar.

Setelah duduk di kursi, langsung saja kutanyakan maksud kedatangannya.

“Sebenarnya, ada perlu apa Juragan pagi-pagi ke sini?”

“Saya ingin memberikan ini,” katanya sambil menyodorkan sebuah map ke hadapanku.

Kubaca setiap kata di kertas yang membuatku kaget sekaligus bingung.

“Jadi Bapak saya punya utang sama Juragan?” tanyaku, ingin memperjelas.

“Iya. Hari ini adalah jatuh tempo utang bapakmu.” Dia menyeringai, membuatku semakin bergidik.

“Kenapa selama tiga bulan ini Juragan tidak menagih kepada saya?”

“Kalau saya tagih, saya tidak bisa menyita jaminannya atuh,” selorohnya, semakin lebar saja senyum liciknya. Astaghfirullah.

“Jadi, Juragan akan menyita rumah ini hari ini juga?”

“Oh tidak. Saya tidak butuh rumah butut ini. Sebagai ganti jaminannya, kamu yang saya sita, Ira.”

Aku sontak menutup mulut. Segera kuperlihatkan surat perjanjian utang kepadanya.

“Tapi di sini kan jaminannya rumah ini?”

“Coba lihat catatan tambahan paling bawah di surat itu”. Dia menunjuk pojok bawah kertas.

‘Jaminan bisa berubah sesuai dengan kondisi dan waktu yang tidak terduga’

“ Sudah, gak usah bertele-tele. Sekarang juga kamu ikut saja.”

Juragan Dasim merebut kertas yang sedari tadi kupegang dengan gemetar.

“Tapi ....”

Belum sempat aku kembali bertanya. Tiba-tiba masuk dua orang yang kukira anak buah Juragan Dasim. Mereka segera mencengkram kedua tanganku, sesuai perintah Juragan mereka.

Aku terus berusaha meronta, melepaskan tangan dari dua orang yang bertubuh tinggi itu. Mencoba memelas bantuan kepada para tetangga yang keluar rumah mereka, melihatku yang diseret. Tapi mereka hanya berdiam, tak berani mendekat.

Hanya tatapan iba yang mereka tampakkan.

Oh Allah .... Cobaan apa ini?

Sabarkan, kuatkan hamba-Mu ini, yaa Rabb ....

Di sinilah aku sekarang. Sebuah kamar di dalam rumah Juragan Dasim.

Ke mana Mang Tahdi dan Bi Asih saat aku sangat membutuhkan pertolongan mereka. HP- ku ... tertinggal di rumah. Tak ada satu barang pun yang bisa kubawa.

Sementara di luar kamar, beberapa orang anak buahnya Juragan Dasim berjaga.

Ku tempelkan telinga ke pintu. Mencoba mencuri dengar, apa yang mereka bicarakan.

___

Terpopuler

Comments

Candy Tohru

Candy Tohru

awalnya aja udah bikin dag dig dug, Kak.
saya lanjut, ya, Ica 🤭

2021-03-15

0

Fatma Qistina

Fatma Qistina

awal yang bagus mba,,, 💪💪💪💪

2020-04-29

1

Liez Jameela Hamzah

Liez Jameela Hamzah

haii cintahh 😘

2020-04-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!