Part 10
Hari ini adalah jadwalku untuk menyetrika pakaian. Saat baru beberapa potong baju disetrika, gawai yang kutaruh di dekat mesin cuci berdering.
Ku buka chat masuk. Ternyata Kang Arif yang mengirim pesan.
[Ra, kapan kamu pulang?]
Kubalas segera.
[Belum tahu, Kang. Ada apa memangnya?]
[tidak, aku hanya kangen sama kamu.]
Mataku seketika membulat. Apa Kang Arif tidak salah?
Selama kami kenal dan dekat tak pernah sekali pun ia mengirim pesan atau pun berbicara langsung menyangkut perasaannya.
Aku tidak tahu harus membalas apa. Lebih baik kuabaikan saja. Baru saja meletakkan ponsel, aku mencium bau sesuatu yang terbakar.
“Astaghfirullah!” pekikku saat mendapati setrikaan yang mengeluarkan asap.
Dengan gemetar, kuangkat setrikaan dari atas baju kemeja yang telah menghitam.
Kuangkat kemeja lengan panjang yang berwarna biru tua itu, tampak sudah melepuh, terbakar. Rasa panik bertambah, ketika kusadari Mas Arya sudah berdiri di ambang pintu. Wajahnya menegang, marah.
“Kamu apakan kemeja saya, Ra?” bentaknya. Membuatku benar-benar takut. Ini pertama kalinya aku melihat Mas Arya marah.
“Sa- saya, minta maaf, Mas,” cicitku nyaris tak terdengar. Tenggorokkanku rasanya tercekat, tangan dan kaki gemetar.
“Kamu itu sebelum juga sebulan sudah buat masalah,” geramnya.
Tak sanggup aku melihat wajahnya yang pasti sangat menyeramkan saat ini. Aku memilih menunduk. Dengan kasar, Mas Arya menyambar kemeja yang sedari tadi kupegang.
Tanpa berkata lagi, ia berlalu dari ruangan cuci. Aku menarik napas berat, kemudian terduduk di lantai. Lemas. Karena kecerobohanku, Mas Arya murka.
Kuhentikan dulu pekerjaan menyetrika, karena pikiranku yang kacau takut jika membuat kesalahan yang lebih buruk lagi.
Kutenangkan diri dahulu di dapur, menegak satu gelas air putih. Mengatur napas dan debar yang tak karuan.
.
Mengumpulkan segenap keberanian, aku naik ke lantai dua dan mengetuk pintu kamar mas Arya. Aku harus minta maaf, akan kuganti kemeja yang rusak tadi. Walau pun nanti mas Arya akan memarahai, aku harus terima. Bismillah.
Tok tok tok!
“Assalamualaikum, Mas?” panggilku.
Tak lama, Mas Arya membuka pintu.
Wajahnya tidak semarah tadi, meski masih terlihat kesal. Tangannya memegang handle pintu yang terbuka sebagian itu.
“Apa?” datarnya.
“Ira benar-benar minta maaf, Mas. Ira janji akan mengganti kemeja yang rusak tadi,” ungkapku, dengan tangan yang sibuk memilin ujung jilbab.
“Gak usah, saya bisa beli sendiri. Kalau mau minta maaf buatkan saya jus melon saja,” pintanya. Membuatku sedikit heran, sekaligus senang. Kalau hanya jus aku siap membuatkannya.
Senyum seketika mengembang di bibir ini.
“Malah senyum, mau tidak saya maafin?” sentaknya membuatku kaget.
“Ya, Mas,” jawabku cepat.
“Ingat, jangan pake gula.”
Aku mengangguk cepat dan menuruni anak tangga, langsung menuju dapur.
--
Kubawa nampan berisi segelas jus sesuai permintaan Mas Arya.
Kuketuk pintu bercat putih itu kembali.
“Masuk!”
Kuputar handle pintu kemudian membukanya dengan ragu. Nampak Mas Arya sedang fokus pada laptop di depannya.
Kamarnya nampak berantakan sekali. Ruangan bernuansa abu itu tampak seperti kapal pecah saja.
Aku memang belum pernah masuk atau pun membersihkan kamar mas Arya atau pun bu Widya. Karena menurutku jika mereka tidak menyuruh, artinya mereka tidak ingin aku memasuki ruang privasi mereka satu ini.
“Taruh saja di sana.” Mas Arya menunjuk meja kecil yang berada di dekat jendela balkon.
Aku mengangguk, kemudian melangkah masuk.
“Ra, kalau besok kamu tidak sibuk tolong bersihkan kamar saya,” pintanya tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.
“Iya, Mas,” jawabku sambil mengangguk.
Baru saja akan berbalik, Mas Arya berdehem. Membuatku menoleh ke arahnya.
“Permintaan maafmu diterima, tapi nanti setelah kamu membereskan kamar saya ini,” datarnya sambil memandangku.
“Iya. Ira permisi, mas,” pamitku sambil menutup pintu.
Lega.
****
“Ra, nanti siang nanti kamu belanja ke swalayan sama Arya,” kata bu Widya saat sarapan.
Aku menautkan alis. Tak mengerti.
“Kamu catat apa saja yang sudah habis di dapur, ya?” lanjut bu Widya sambil tersenyum.
“Ya, Bu,” jawabku sambil menaruh segelas air putih di sampingnya.
Sekilas aku melihat mas Arya tampak kesal mendengar perintah ibunya itu. Hal itu wajar saja, karena memang mengantar belanja bukanlah tugasnya.
--
Aku berjalan menuju mobil Mas Arya yang kini sudah terparkir di depan garasi. Tampak Mas Arya sudah duduk di kursi kemudi. Kacamata hitam ia kenakan, membuat tampilannya semakin menawan, eh.
Aku memegang handle pintu mobil bagian belakang, saat kudengar Mas Arya berdehem.
“Di depan saja,Ra,” perintahnya.
Hari ini aku mengenakan celana kulot warna coklat dengan tunik dan jilbab persegi berwarna senada. Tas selempang kecil berisi ponsel kubawa serta.
“Mami berpesan agar kamu membeli beberapa potong baju, uangnya udah mami titipkan sama saya,” kata mas Arya sambil melihat ke arahku sekilas.
“Terima kasih, Mas.” Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Kebaikan Bu Widya benar-benar membuatku bersyukur, meski pun terkadang itu juga membuatku malu.
.
Kami hanya terdiam di dalam mobil.
Hingga sampai di swalayan, Mas Arya tidak banyak bicara. Dia terus mengekor mengikutiku mengambil satu per satu barang kebutuhan rumah.
Baru saat berada di tempat sayuran, Mas Arya buka suara.
“Sayurannya ambil yang organik. Yang ada label kayak gini,” terangnya sambil menunjukkan seikat bayam. Aku mengangguk mengerti.
Semua bahan masakan dan keperluan kamar mandi sudah kudapat. Berdiri antri di depan seorang kasir.
Mas Arya memberikan sebuah kartu. Aku yang tidak pernah belanja selain menggunakan uang tunai, bingung bagaimana cara menggunakannya.
“Mas Arya saja yang kasih ke kasirnya nanti,” pintaku sambil nyengir. Dia memutar bola mata, jengah. Tapi akhirnya dia pun menurut.
.
Mas Arya mengambil alih troli yang berisi beberapa kantong belanjaan itu. Tanpa berkata apa pun, dia mendorong troli menuju tempat penitipan barang.
“Kita ke lantai atas dulu,” ajaknya tanpa melihatku.
Belum juga aku menjawab. Dia melangkah menuju eskalator. Aku terseok mengikuti langkah panjangnya.
Setelah sampai di tempat pakaian, Mas Arya membalikkan tubuhnya menghadapku. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Wajah itu terlihat lelah.
“Kamu pilih beberapa baju, kerudung dan pakaian dalam sekalian,” ujarnya sambil melihatku yang masih bingung.
“Kamu lupa? ‘Kan tadi aku sudah bilang, mami menyuruh kamu beli baju,” ketusnya.
Aku menepuk jidat. Lupa.
“Ya, Mas.”
Aku kira dia tidak akan mengikutiku memilih baju, tapi ternyata dia terus saja mengekor. Mungkin karena malu atau bingung, aku hanya berputar-putar tanpa mengambil satu pun baju.
“Kamu sebenarnya cari baju kayak gimana sih, Ra?” tanya Mas Arya yang terlihat kesal.
“Ira bingung, harus beli baju apa, Mas,” cicitku.
Sekarang dialah yang menepuk jidatnya.
“Aku bantu,” ketusnya. Tapi mengapa dia harus memegang pergelangan tanganku segala?
Ada getar yang sulit kujelaskan. Harusnya kutarik saja tangan agar terlepas dari tangannya, mengapa tak kulakukan?
Tanpa kusangka, Mas Arya langsung mengambil beberapa potong kaos dan celana kulot serta beberapa gamis. Aku hanya melongo, saat dia menyuruhku mencoba pakaian sebanyak itu di kamar pas.
Kucoba satu per satu, tapi mengapa semua baju ini pas di badanku?
Akhirnya kupilih tiga baju kaos dan dua celana kulot saja. Malu jika terlalu terlalu banyak kupilih.
Saat keluar dari kamar pas, aku melihat Mas Arya dan seorang SPG yang bertugas sedang memasukkan sesuatu, yang sekilas seperti pakaian dalam. Aish, aku pasti salah.
“Ada yang cocok?”
“Ya, ini,” jawabku sambil kusodorkan pakaian yang telah kupilih. Mas Arya menautkan alis.
“Yang lain gak pas ukurannya?”
“Mmm ... cukup. Tapi ini saja, Mas.”
“Kalo pas, bungkus saja semuanya.”
Aku melongo. Ini semua kan ada delapan stel pakaian?
“Kebanyakan, Mas,” tolakku.
Tanpa menghiraukan ucapanku, Mas Arya mengasongkan semua baju yang tadikupegang. Kemudian meminta kasir menjumlah dan membungkusnya.
“Terima kasih, Pak. Kami tunggu kunjungan Anda kembali bersama istri.”
Ucapan kasir tadi membuatku menatap heran ke wajah Mas Arya. Dia hanya mengangguk dan tersenyum datar.
Tangannya menyambar kantong-kantong yang berisi baju dari tanganku.
Ada apa dengan Mas Arya?
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments