Part 7
Setelah selesai santap sahur dan membereskan meja makan, aku bersiap untuk menunaikan salat Subuh. Setelahnya aku bersiap menyalakan mesin cuci di sebuah ruangan khusus yang disiapkan untuk mencuci pakaian dan menyetrikanya. Nampak sudah ada dua keranjang besar pakaian kotor di sana. Ku gulung kaos tangan panjang yang kukenakan.
“Ra, maaf ya, cuciannya banyak. Kemarin-kemarin saya tidak sempat ke laundry.”
Bu Widya ternyata sudah berdiri di belakangku, aku tak menyadari kedatangannya karena fokus memilih dan memisahkan pakaian yang berbeda warna.
Setelah pakaian-pakaian kumasukkan ke dalam tabung mesin, aku menggaruk kepala. Dengan malu, aku pun memberanikan diri bertanya cara mengoperasikan mesin cuci satu tabung itu. Bu Widya dengan senang hati menjelaskan setiap tahapnya.
---
“Ra!”
Terdengar suara bu Widya dari ruang tengah. Aku yang sedang menata pakaian di jemuran, segera menghampirinya.
“Ya, Bu?”
Kulihat bu Widya sudah rapi berdampingan dengan Pak Teguh, suaminya.
“Saya sama Bapak, juga Arya mau ada perlu dulu ke butik. Mungkin pulang ashar nanti. Kamu masak nasi saja, lauknya nanti saja masaknya setelah saya pulang, ya?”
“Baik, Bu.”
Kulihat Pak Arya menuruni anak tangga.
Dia tampak santai dengan celana jeans warna navy yang dipadukan dengan kaos polos yang berwarna lebih terang. Aku baru sekarang leluasa melihat sosok pahlawanku itu. Ya, sebelumnya aku hanya melihatnya sekilas-sekilas saja.
Tubuhnya yang tinggi dan tegap sempurna, kulitnya nampak putih bersih dan wajah yang ... tampan. Eh.
Tatapan matanya tajam, sama persis dengan Pak Teguh. Rambut lurusnya yang cepak terlihat sedikit basah. Astaghfirullah. Aku segera memalingkan wajah, menyadari jika sudah tatapanku beradu netranya.
“Ira permisi ke belakang lagi, Bu,” pamitku pada bu Widya yang mendapat anggukan dan senyuman wanita paruh baya yang berwajah teduh itu.
Saat azan Zuhur berkumandang, tugas utamaku telah selesai. Bertumpuk pakaian telah bersih dan rapi disetrika. Karena merasa tidak terburu-buru, setelah selesai menunaikan salat Zuhur, aku melanjutkan tadarus Al-Quran. Hal yang selalu membuatku merasa damai dan dekat dengan-Nya adalah menjamah setiap huruf yang tertera di kitab suci.
Melirik jam dinding, menunjukkan jam 13.00, aku beranjak kembali ke dapur. Menyapu dan mengepel kulakukan meski Bu Widya tak menyuruhku. Daripada hanya berdiam di kamar, waktu akan terasa lebih cepat berlalu dengan aktivitas yang dilakukan.
***
Besok adalah hari raya Idul Fitri. Bu Widya dan keluarga mempersiapkannya dengan cukup sederhana.
“Bagi kami, hari raya bukan kemeriahan yang penting. Tapi silaturahmi dan saling bermafaan yang tak boleh terlewat. Jadi, hanya hidangan yang secukupnya saja yang disiapkan, Ra,” jelas Bu Widya sambil memasak di dapur bersamaku.
Selama lima hari aku bekerja di sini, Bu widya selalu bersemangat memasak di dapur. Meski ada aku yang harusnya menyiapkan semuanya, tapi Bu Widya tak pernah mengandalkanku melakukan semuanya. Ia tak pernah memarahi bila ada sesuatu yang belum bisa aku lakukan, dengan sabar ia menjelaskan dan mengajari.
“Ra, kamu lagi gak puasa, ‘kan?”
Aku mengangguk. Sudah dua hari ini aku kedatangan tamu bulanan. Kemungkinan esok pun aku tidak bisa menunaikan salat Ied.
“Kamu coba icip opornya, sudah pas belum rasanya?”
Bu Widya menyodorkan sendok berisi kuah berwarna kuning tepat ke mulutku. Saat akan kuambil alih sendok di tangannya, Bu Widya seakan memaksa membuka mulut, disuapinya.
Ketika sendok masuk ke mulut, tak dinyana Pak Arya masuk ke dapur. Ia tertegun sesaat, mungkin melihatku yang sedang disuapi oleh Bu Widya. Aku segera mengambil alih sendok di tangan wanita yang sedang tidak mengenakan jilbab itu.
“Ada apa, Ar?”
“Eng-enggak, Mi. Arya cuma mau nanya papi ada dimana?” Dia tampak sedikit gugup.
“Papi tadi ada di kamar, sedang tidur,” jawab Bu Widya.
“I-iya, Mi.”
Pak Arya seperti salah tingkah. Kemudian berlalu.
Bukankah aku yang seharusnya malu?
“Ra, besok setelah salat Ied, kami sekeluarga akan pergi ke Bekasi. Mengunjungi kakek dan neneknya Arya yang sedang di rumah adiknya bapak.”
“Mau menginap, Bu?” tanyaku.
“Enggak, paling Asar kami sudah kembali. Paling telat Magrib. Kamu gak apa-apa kan ditinggal sendiri di rumah?”
Bu Widya menatap wajahku. Ada ketulusan yang selalu kulihat di matanya.
“Gak apa-apa, Bu,” jawabku sambil tersenyum.
“Hari kedua lebaran, biasanya saudara-saudara dari Bekasi dan Jogja akan berkumpul dan menginap di sini. Kalau nanti kamu kerepotan masak, kita pesan katering saja, ya?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Karena jujur saja, soal memasak aku memang tidak mahir. Apalagi masakan jawa. Aku terbiasa tinggal di mes, membeli lauk masak atau kalau pun memasak hanya makanan yang instan.
“Ira takut kalau masakan Ira nanti malu-maluin. Hanya masakan yang Ibu ajarkan kemarin-kemarin yang mungkin Ira bisa masak,” jujurku.
“Ya sudah, nanti saya akan pesan katering saja untuk makan siang. Kalau makan malam biasanya kami akan memasak rame-rame.”
Bu Widya menuangkan opor yang telah matang ke dalam mangkok besar.
“Oh iya, Ibu hampir lupa.” Bu Widya menaruh mangkok, kemudian dia pergike dalam rumah.
“Ra, ini cukup gak?” Tangannya membentangkan sebuah gamis berwarna peach yang sangat cantik. Kemudian menempelkannya di badanku. Aku masih tak percaya. Betapa baiknya Bu Widya.
“Besok bisa kamu pakai. Untunglah ukurannya cukup, kamu suka?” Aku mengangguk menahan cairan hangat di sudut mata.
“Terima kasih banyak, Bu. Ibu sangat baik, Ira sangat beruntung.” Suaraku mulai bergetar. Semoga saja air mataku tak sampai tumpah.
“Sama-sama, Ra. Anggap saja saya sebagai ibumu. Jangan sungkan bercerita dengan saya.” Aku tersenyum.
“Oh iya, soal Arya. Jika kamu enggak nyaman dengan sikapnya yang acuh, kamu maklum ya? Dia memang selalu begitu, tapi kalau sudah akrab nanti juga dia akan bersikap hangat.”
“Iya, Bu.”
Aku tidak pernah merasa sakit hati dengan sikap pak Arya yang selalu dingin padaku. Sampai kapan pun tidak akan pernah lupa jasanya padaku.
----
Hari kemenangan pun tiba. Gema takbir bersahutan tiada henti. Menghadirkan nuansa syahdu nan haru.
Mengingat ini adalah lebaran pertamaku yang dirayakan bukan di rumah sendiri, sekaligus lebaran pertama sebagai yatim piatu. Aku tak mau larut dalam kesedihan. Tangan terus kupaksa bergerak. Berharap perih hati sedikit terabaikan.
Bu Widya dan keluarga telah berangkat ke mesjid sedari tadi. Aku menata makanan di meja makan, kemudian mencuci peralatan masak yang telah dipakai. Setelah semua pekerjaan selesai, aku bergegas mandi. Kukenakan gamis dan jilbab yang kemarin Bu Widya berikan. Pas sekali di tubuhku. Alhamdulillah.
Tak lama, pintu depan dibuka dan ucapan salam terdengar. Bu Widya berjalan berdampingan dengan Pak Teguh. Mereka berdua duduk di kursi. Aku mencium tangan mereka.
Bu Widya mengelus kepalaku. Air mata lolos begitu saja, tanpa sadar aku memeluk tubuhnya, dan dibalas dengan hangat darinya.
“Kamu pasti merindukan kedua orang tuamu, Ra. Tapi kamu jangan merasa sendiri, ada kami di sini.”
Kulepas pelukan. Menatap kedua mata indah yang selalu menyejukkan itu.
“Maaf, Bu. Ira ....” Aku terisak.
“Sudah, gak apa-apa. Sekarang kita siap-siap makan bersama. Kamu makan bersama kami. Jangan menolak.”
Bu Widya mengangkat telunjuknya. Aku hanya mengangguk, walaupun malu kurasakan.
Aku juga mencium tangan Pak Teguh, dia tersenyum. Saat hendak membalikkan tubuh hendak kembali ke dapur, Pak Teguh berdehem. Aku menoleh.
“Ehm ... Sama Arya gak salaman, Ra?”
Aku melihat wajah Pak Teguh yang tersenyum, kemudian berlalu masuk ke kamarnya. Pak Arya baru saja datang dari balik pintu depan. Mengenakan baju koko dengan sarung dan peci yang melengkapi penampilannya.
Aku bingung, maukah Pak Arya bersalaman denganku? Tapi apa salahnya, toh aku hanya berniat untuk meminta maaf padanya.
Aku mengulurkan dua tangan untuk bersalaman, Pak Arya terdiam sejenak. Kemudian memabals salaman denganku. Wajahnya datar seperti biasanya.
“Minal aidzin wal faidzin. Saya minta maaf sudah banyak merepotkan Pak Arya.” Tak berani kupandang wajahnya.
“Ya, sama-sama.” Suaranya terdengar lebih ramah dari biasanya.
Kuberanikan diri melihat wajah di depanku. Seulas senyum terukir di bibirnya. Meski hanya garis tipis, tapi ada rasa lega yang kurasakan. Matanya menatapku cukup lama, tidak seperti biasanya yang hanya melihatku sekilas saja.
Setelah bersalaman dengan Pak Arya, aku bergegas pergi ke belakang. Ada getaran halus yang kurasakan saat bersalaman, juga tatapannya yang teduh menghadirkan rasa yang sulit kujabarkan.
----
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
AyuRiski Oye
di part ini aku mewekk
2020-06-09
1