Part 15
Tepat pukul dua belas siang, Bu Widya pulang. Dia membawa sayur dan ikan yang sudah matang.
“Ra, kita gak usah sekarang, saya tadi udah beli lauk untuk makan siang. Tinggal masak nasi saja, ya,” katanya seraya menaruh kantong plastik di atas meja di dapur. Aku hanya mengangguk.
“Arya mau makan buburnya?”
“Alhamdulillah, mau. Walaupun gak habis semangkok, Bu,” jawabku sambil tersenyum.
“Dia memang susah makan kalau sedang sakit. Manjanya gak berkurang, walaupun udah tua gitu,” ujar Bu Widya sambil terkikik.
Aku ikut terkekeh.
“Saya mau lihat Arya dulu, Ra,” lanjutnya sambil berlalu menuju tangga.
.
Makan siang sudah terhidang di meja makan. Pak Teguh pun sudah pulang dari kantornya.
“Makan bareng di sini aja, Ra,” tawar Pak Teguh saat kutaruh segelas air putih di depannya.
“Makasih, Pak. Nanti aja Ira makannya,” tolakku dengan halus.
“Ira emang susah kalau diajak makan bareng, Pi,” timpal Bu Widya sambil tersenyum ke arahku.
Saat akan kembali ke dapur, Pak Teguh memanggil. Membuatku membalikkan badan.
“Oh iya, Ra. Saya mau tanya. Barangkali kamu kenal dengan seorang laki-laki, umurnya lebih tua dari saya, dulu dia bertani sayuran. Kebun sayurnya persis di belakang pabrik,” tutur Pa Teguh.
Aku terdiam sejenak.
Kebun sayur Bapak dulu juga berada di belakang pabrik Pak Teguh. Tapi, mungkin saja yang dimaksud Pak Teguh bukan Bapak. Karena kebun sayuran di sana bukan hanya milik Bapak.
“Yang punya kebun sayuran di belakang pabrik, ada beberapa orang, Pak,” jawabku.
Pak Teguh hanya manggut-manggut.
“Iya juga. Lumayan luas juga kebun sayuran di sana. Sepertinya pemiliknya tidak hanya satu orang,” tukas Pak Teguh.
Setelah meminta izin, aku kembali ke dapur.
.
“Ra, katanya Bik Santi belum bisa kembali ke sini. Katanya anaknya masih ingin Bik Santi di kampung dulu. Apalagi setelah tau, kalau ada kamu di sini, dia gak khawatir lagi gak ada yang bantuin saya di rumah,” terang Bu Widya, saat kami berdua duduk di kursi teras dapur.
Aku hanya tersenyum. Ada harapan untuk segera bertemu dengan Bik Santi sebenarnya. Setidaknya ada teman di rumah, saat keluarga Bu Widya berada di luar.
“Kalau Tasya, katanya nanti malam akan sampai di sini. Nanti kamu ada temennya di rumah, lumayan walaupun hanya beberapa hari, Ra,” lanjutnya.
“Alhamdulillah kalo gitu, Bu,” sahutku.
“Tadi Arya minta disuapin gak?” tanya Bu Widya, yang membuatku entah mengapa merasa gugup. Bahkan rasa hangat menjalar di wajah.
Aku mengangguk, kepala tertunduk kemudian. Malu.
“Arya memang begitu. Selain susah makannya, dia juga manjanya minta ampun. Kalo bukan sama Bik Santi dan saya disuapin, biasanya Arya gak akan mau makan,” jelas Bu Widya sambil menahan senyum.
Usia sudah dewasa, badannya tegap dan wajahnya juga maskulin, tapi masih manja, kok bisa?
Aku malah senyum-senyum. Lucu Mas Arya itu.
“Saya masuk dulu, Ra. Sudah waktunya Arya minum obat. Dia itu kalo ingetin, suka lupa minum obat, entah sengaja dilupa-lupain,” ujar Bu Widya kembali.
“Iya, Bu.”
Aku pun beranjak dari kursi, menuju kamar. Meraih ponsel yang sedari pagi tidak sempat kubuka.
[Ra]
Chat masuk dari kang Arif.
[Kamu lagi apa?] di bawahnya, masih darinya.
[Lagi sibuk, ya?]
[Ya udah, nanti aku hubungi lagi.]
Rentetan pesan darinya yang dikirim tadi pagi.
[Maaf, baru dibuka, Kang. Dari tadi memang lagi sibuk.]
Balasku. Masih centang satu. Sepertinya Kang Arif memang sedang bekerja. Kuletakkan kembali gawai, dan kembali ke dapur untuk beres-beres. Ternyata ada Bu Widya yang akan menyalakan kompor.
“Saya mau ngangetin bubur buat Arya, Ra,” kata Bu Widya sambil meraih panci berisi bubur.
“Biar Ira aja, Bu,” ujarku seraya meraih pengaduk bubur dari tangannya.
“Makasih, Ra. Kata Arya, bubur buatan kamu enak.”
“Masa, Bu? Ini ‘kan cuma pakai garam doank, seperti perintah Ibu tadi pagi,” kilahku.
Bu Widya malah terkekeh.
HP di saku gamisnya berdering. Kemudian melangkah ke dalam rumah, sambil menerima panggilan telepon.
Setelah panas, kumatikan kompor. Mengisi satu mangkok bubur untuk Mas Arya.
“Ra, saya harus kembali ke butik. Ada klien yang ingin ketemu, buburnya langsung antar saja ke kamar Arya. Maaf merepotkan, Ra,” tukas Bu Widya.
“Iya, gak apa-apa, Bu. Biar saya antar saja ke atas,” tukasku sambil tersenyum.
Bu Widya pun berlalu, menuju kamarnya.
.
Setelah mengetuk pintu kamarnya, Mas Arya mempersilahkanku masuk. Dia sedang duduk bersandar di atas kasurnya. Wajahnya tidak sepucat tadi pagi.
“Ini buburnya, Mas,” kataku seraya menaruh nampan di atas nakas, samping tempat tidurnya.
“Makasih, Ra,” sahutnya sambil memandangku.
Jangan bilang, ini wajah ada nodanya. Kenapa Mas Arya akhir-akhir ini sering memandang wajahku yang tidak tersentuh bedak?
Ah, mungkin karena wajahku glowing (baca: berminyak dan berkeringat) karena habis berkutat di dapur, lengkap dengan panas dari kompor. Jadi menyesal, kenapa tadi tidak cuci muka dulu sebelum mengantarkan bubur? Ish.
Sepertinya Mas Arya sudah membaik. Pasti tidak akan minta aku untuk menyuapinya seperti tadi pagi.
“Iya, sama-sama, Mas,” sahutku sambil melangkah menuju pintu.
“Ra, boleh saya minta tolong?” Membuatku urung membuka pintu. Kemudian menoleh ke arahnya.
Jangan bilang minta ....
“Saya minta air hangatnya segelas, bisa?” tanyanya sambil meraih mangkok bubur.
Aku menepuk jidat.
Kenapa bisa lupa?
Mas Arya tersenyum. Apanya yang lucu?
“I-iya, Mas. Ira ambilkan dulu,” gugupku sambil bergegas keluar dari kamarnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments