Part 2

Part 2

‘Katanya Juragan akan menikahi si Ira nanti malam selepas taraweh, Ja.’

Air mataku meluncur deras di pipi, sembari tangan menahan isak. Tubuh terasa lemas dan jantung yang berdebar kencang. Takut. Tolonglah hamba, yaa Allah ... tiada daya upaya aku tanpa pertolongan dari- Mu.

.

Kudengar kunci dbuka dari luar. Aku segera kembali duduk di pinggir ranjang.

Krek!

Pintu terbuka. Nampak seorang wanita muda dengan perut yang hamil besar.

Dia meletakkan sebuah nampan berisi segelas air dan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.

Tanpa menoleh, dia segera beranjak. Namun, segera kupegang tangannya sebelum membalikkan badan.

“Maaf, Teh. Boleh saya bertanya sesuatu?” Dia akhirnya menghampiriku, dengan wajah datar.

“Teteh ini siapanya Juragan Dasim?” tanyaku dengan hati-hati.

“Saya istrinya, istri ketiganya,” jawabnya, tetap dengan wajah datar, melihatku sekilas. Aku terkejut. Tapi segera kusembunyikan.

Takut ia tersinggung.

Memberanikan diri meminta bantuannya.

“Bisakah Teteh membantu saya keluar dari sini? Saya tidak mau dinikahi Juragan Dasim, Teh.” Aku mengiba, memegang tangannya.

“Tidak bisa,” ketusnya dan segera menepis tanganku. Berjalan cepat menuju pintu, dan menguncinya kembali dari luar.

Aku berusaha menahan tangis. Meredam setiap tanya. Pada Bapak.

Hanyalah do’a yang kupunya, berharapa Allah menurunkan keajaiban padaku saat ini.

Suara adzan Zuhur terdengar, aku masih menjaga puasa. Meski letih di badan menyerang, dan tenggorokan terasa sangat kering, aku bertekad untuk berusaha kuat.

Laa Haula.

Pintu kembali dibuka dari luar, wanita tadi kembali menghampiri.

“Ayo keluar, Juragan memanggilmu,” ajaknya. Dia mengantarku ke tengah rumah, aku terus mengekor.

Kulihat ada dua orang berseragam polisi tengah duduk, di sampingnya seorang pria berjas yang berhadapan langsung dengan Juragan Dasim.

“Duduk!”Juragan Dasim menarik tanganku, hingga terduduk di sampingnya.

“Begini Pak Arya, saya kan sudah bilang ini tidak ada hubungannya dengan pabrik. Ini murni urusan pribadi saya.” Juragan Dasim terlihat gugup bicara dengan pria di depannya itu.

“Saya bukannya mau ikut campur urusan pak Dasim. Tapi ini sudah menimbulkan kegaduhan yang membawa-bawa nama perusahaan saya. Mau tidak mau saya harus turun tangan.”

Pria itu tampak tegas, kuberanikan diri mengangkat kepala, melihat ke arahnya. Subhanallah .... Tampan dan gagah sekali.

Astaghfirullah. Segera kutundukkan kembali kepala. Sekilas ia pun melirik ke arahku.

“Apakah pak Arya tahu, kalau saya ada perjanjian tertulis dengan Papi anda? Bahwa beliau tidak bisa menyentuh ranah pribadi saya?”

“Saya tahu. Tapi sekarang bukan Papi lagi yang berwenang atas pabrik.” Ia menyodorkan selembar kertas.

“Mulai sekarang, sayalah direktur perusahaan. Semua perjanjian yang melibatkan Papi sebagai direktur, tidak berlaku lagi,” jawabnya dengan tenang, tanpa emosi dia melanjutkan serangannya.

“Saya tahu Pak Dasim sudah menyalahgunakan wewenang dengan menyuruh para karyawan pabrik menjadi anak buah Bapak selama ini. Tidak ketinggalan dengan penggelapan dana perusahaan yang Bapak lakukan juga, sudah saya selidiki.”

Juragan Dasim nampak gemetar dan wajahnya pucat pasi. Dia terdiam, meremas jemarinya.

“Kalau Bapak masih mau bekerja dengan saya, hentikan semua ulah Bapak ini.

Termasuk adanya laporan penculikan wanita yang dilaporkan warga ke kantor polisi.”

Pria itu berdiri tanpa menunggu jawaban Juragan Dasim.

“Baik, Pak. Tapi urusan dengan wanita ini biar saya selesaikan sendiri,” gugup Juragan Dasim, tampak ia masih mencari jalan untuk menahanku.

Hatiku ‘tak henti berdoa. Mungkinkah harus kucoba cara yang ... meski mustahil?

Bismillah.

“Juragan, saya mohon izinkan saya berbicara sebentar saja dengan ... Pak Arya,” cicitku ragu, dengan wajah memohon.

Juragan Dasim yang masih mengurut keningnya seraya memegangi kertas yang tadi diberikan oleh Pak Arya, akhirnya mengangguk tanpa menolehku.

Alhamdulillah. Semoga Engkau menolongku, Yaa Allah.

***

Ketika sudah berada di dekat mobil, aku memberanikan diri memanggil namanya. Meski kutahu, dia sama sekali tidak mengenalku.

“Pak Arya, maaf ...,” seruku. Ia menoleh, urung membuka pintu mobilnya.

Aku kembali menunduk, menelan saliva dengan berat.

Berjalan mendekatinya.

“Maaf, Pak. Kalau boleh saya mohon tolong saya.” Air mata tanpa permisi luruh di pipi, meski telah berusaha kutahan.

“Saya tidak ada urusan dengan Anda,” ketusnya.

Refleks tanganku memegang tangan kekarnya ketika ia hendak membuka pintu mobilnya kembali. Segera kulepas setelah ia membalikan tubuhnya, melihatku.

“Maaf, hanya Bapak harapan saya satu-satunya. Saya tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa membantu saya,” lirihku suara semakin bergetar, air mata secepatnya kuhapus. Dia bergeming.

“Tolong, bawa saya dari sini.”Aku mengiba. Entah apa yang kufikirkan, kata-kata itu lolos begitu saja. Dia menatapku.

Terdiam sesaat.

“Kamu kalau ikut saya paling jadi pembantu saya. Mau?” Akhirnya ia bersuara.

“Tidak apa- apa, Pak. Saya bersedia. Asalkan saya tidak dinikahi jadi istri keempatnya Juragan Dasim,” jawabku dengan memandang penuh harap padanya.

Aku tidak memiliki pilihan lain agar bisa selamat dari sini. Mungkin bila Pak Arya yang membawaku, Juragan Dasim ‘tak kan berani melawannya.

Yaa Allah, semoga ini jalan yang benar. Lindungilah aku selalu.

“Baiklah, tunggu di sini.” Dia kembali masuk ke dalam rumah Juragan Dasim.

Aku menghela nafas.

Dari pintu kemudi mobil, kulihat seorang pria yang juga berstelan rapi keluar sambil berbicara di telepon. Dia membelakangiku.

****

“Kamu boleh ikut saya. Tapi perihal utang-piutangmu dengan Pak Dasim nanti harus kamu selesaikan sendiri,” kata Pak Arya, ternyata dia sudah berada di sampingku.

Pria yang sepertinya seumuran dengan pak Arya menghampiri kami. Memasukkan telepon genggamannya ke dalam saku.

“Ar, maaf aku tidak bisa pulang ke Jakarta sekarang. Saudaraku yang ada di sini katanya sakit. Kamu gak apa-apa kan nyetir sendiri?”

“ It’s oke.” Pak Arya datar menanggapinya.

“Sorry, ya, Bro”. Ia menepuk bahu Pak Arya, tersenyum ke arahku. Kemudian berlalu.

Pak Arya segera memutari depan mobil, masuk ke dalam. Aku masih termenung. Bingung.

“ Ayo masuk,” perintah Pak Arya membuka kaca pintu mobil dan melongok ke arahku.

Mungkin karena ku masih saja berdiri mematung.

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa buka pintunya,” sahutku, menggaruk tengkuk yang ‘tak gatal. Malu.

Biasanya aku hanya naik angkot, tinggal masuk di bangku belakang tanpa harus membuka pintunya.

Pak Arya hanya menggeleng. Mungkin aneh baginya.

Dia keluar lagi dari dalam mobilnya dan membukakan pintu penumpang bagian depan. Aku mengangguk dan masuk.

Mesin mobil baru saja dinyalakan. Tapi aku segera berdehem.

“Hmm ... maaf, Pak. Bisakah kita mampir dulu ke rumah saya? Barang-barang saya masih di sana,” kataku ragu.

Meski teramat sungkan, tapi mau bagaimana lagi. HP dan pakaianku harus diambil terlebih dahulu ke rumah. Dia hanya mendengkus. Mungkin kesal.

‘Udah ditolong, ngerepotin lagi.’

Mungkin seperti itu batin Pak Arya.

Terpopuler

Comments

Candy Tohru

Candy Tohru

betul, mending cari uang buat bayar utang dengan cara jadi pembantu daripada jadi istri ke-4. hiiii

2021-03-15

0

Fatma Qistina

Fatma Qistina

ga pp lah jd pembantu dr pd istri ke 4
next

2020-04-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!