Part 4

Part 4

Pak Arya mulai menyalakan mesin mobil. Aku merasa ... Entahlah. Antara bahagia bebas dari jeratan si Pak Tua itu dan merasa waswas akan seperti apa kehidupanku setelah jalan ini telah kupilih. Pasrah.

Mobil berjalan menapaki jalan kampung yang berlubang. Tak lama, mobil pun berhenti tepat di depan rumah, sesuai petunjuk jalan yang kuarahkan.

Aku pun keluar dari mobil, sedangkan pak Arya menunggu di dalam mobil. Setelah membuka membuka pintu yang tadi pagi tak sempat dikunci, aku pun langsung masuk ke kamar.

Aku memasukkan beberapa potong pakaian. Hanya ada sedikit baju di rumah, sebagian besar pakaianku ada di mes pabrik. Tak lupa ponsel dan tentu saja foto Ibu dan Bapak dalam bingkai kayu kecil kubawa serta. Mungkin nanti bisa kupakai foto ini sebagai obat rindu bila teringat pada mereka.

‘Pak, Bu, maafkan Ira. Ira harus pergi meninggalkan rumah. Rumah yang susah payah kalian buat untuk kita. Dengan berat hati langkah ini harus Ira ambil, tapi Ira yakin Bapak dan Ibu pasti mengerti keadaan Ira sekarang. Ira tidak akan melupakan rumah ini walaupun ira pergi jauh.’

Kututup pintu rumah. Memasukkan kunci ke dalam tas yang kujinjing. Kuhapus segera lelehan hangat di pipi. Berjalan beberapa langkah dan masuk kembali ke dalam mobil. Pak Arya membuka pintu itu dari dalam.

“Sudah siap?” Pak Arya menolehku setelah aku duduk di sampingnya. Aku hanya mengangguk.

Pak Arya melihatku lagi sekilas sebelum menginjak gas. Mungkin dia menyadari bahwa aku sudah mengganti baju. Masa iya, aku pergi ke Jakarta memakai atribut kebesaran untuk bersih-bersih itu?

Aku mengenakan gamis berwarna abu dan hijab panjang warna senada. Baju ini kubeli di Bandung sebelum mudik kemarin. Sedianya akan dipakai saat Idul Fitri nanti. Apalah daya, hanya baju ini yang terlihat pantas untuk bepergian jauh, baju lainnya di dalam tas hanya baju-baju santai.

Mobil beranjak perlahan. Aku memutar badan, melihat ke belakang. Tampak bayangan rumah sederhana berpagar bambu yang nampak semakin menjauh. Air mata malah semakin deras saja tak tertahankan. Semoga Allah memberikanku kesempatan untuk kembali ke sana, rumah dengan berjuta kenangan. Aamiin ....

Wahai Allah, ampunilah kerapuhan hatiku. Kelemahan imanku yang merasa takut pada makhluk ciptaan-Mu. Mohon, jagalah hamba, Rabb ....

__

Pemandangan di jendela sampingku menampakkan wajah kampung yang mulai berubah. Dahulu hanya hamparan sawah dan kebun sayuran yang terlihat. Kini, bangunan-bangunan pabrik yang mendominasi dan menghimpit lahan pertanian yang menghijau itu.

Bukan baru satu atau dua tahun pabrik-pabrik itu berdiri, melainkan hampir lebih dari sepuluh tahun. Banyaknya pabrik yang menjamur di kampungku dan daerah di sekitarnya, tak lantas membuatku berniat bekerja di sini. Aku memilih pergi bekerja di pabrik yang jauh dari rumah, yaitu di Bandung.

Entah mengapa, aku hanya ingin merasakan pengalaman yang berbeda. Berada jauh dari rumah, meski hal itu terkadang menyisakan penyesalan. Menyesal, aku tak banyak menghabiskan waktu bersama Ibu dan Bapak semenjak bekerja. Kusapu kembali lelehan bening itu, menarik nafas yang terasa berat.

Pak Arya hanya diam selama perjalanan, fokus pada kemudi. Aku pun asyik dengan melodi yang memutar setiap adegan yang terjadi hari ini. Tentang banyaknya tanya pada Bapak, dan harapan pada bantuan Mang Tardi yang tak kunjung menghubungi.

Apakah mungkin pamanku itu tidak tahu apa yang menimpa keponakan semata wayangnya ini? Rasanya tidak mungkin, hampir semua warga kampung tahu dan tentu saja karyawan pabrik juga tahu.

Bukankah Mang Tardi juga bekerja di pabrik itu? Aku menggeleng. Mencoba menepis sangkaan buruk pada pamanku itu.

***

Tanpa kusadari, mataku terasa berat dan membuatku terlelap. Entah berapa lama. Hingga mataku terbuka, saat terdengar suara klakson kendaraan yang terus bersahutan.

Ternyata kami sudah memasuki jalan raya ibukota. Kondisi jalan yang padat, apalagi sekarang sudah masuk musim mudik lebaran. Kemacetan cukup parah, hingga mobil hanya bisa merayap perlahan.

Aku melihat sekilas Pak Arya. Tanpa terduga dia melihat ke arahku. Wajahnya terlihat datar, ataukah mungkin lelah? Entah. Aku tak berani lebih lama memandangnya.

“Sudah bangun?”

Dia berkata sambil kembali memutar pandangannya ke dapan. Aku mengangguk. Mungkin dia tak melihatnya. Biarlah.

____

Setelah perjalanan yang panjang, mobil memasuki gerbang tinggi yang dibuka seorang pria sebaya dengan Bapak dari dalam. Aku dibuat takjub dengan halaman luas yang hijau oleh rumput serta beberapa pohon palm yang tinggi di sisinya. Sejuk.

Rumah yang di depanku ini, subhanallah ... rumah dua lantai yang tidak terlau besar dan megah, tapi sangat elegan. Design modern minimalis yang sangat apik.

Setelah mobil terparkir di depan pintu garasi yang berada di sebelah kanan teras rumah, pak Arya mengajakku turun. Tak lupa aku mengambil tas pakaian di jok belakang.

Pak Arya mendorong pintu yang sepertinya tak dikunci.

“Ayo masuk!” Dia menolehku di belakangnya. Aku pun mengikuti langkahnya.

Bila ‘tak ingat malu, mungkin aku akan berdecak kagum dengan suara yang lantang, melihat isi dalam rumah yang benar-benar memukau. Hanya dalam hati saja ber “wow” ria, sambil menutup mulutku dengan telapak tangan.

Pak Arya terus berjalan sampai bagian belakang rumah. Langkahnya berhenti, begitu pun denganku.

“Ini kamarmu. Sementara, kamu sendiri. Bik Santi sedang pulang kampung sampai lewat lebaran nanti.” Pak Arya menjelaskan dengan singkat. Aku hanya jawab iya.

Dia pun pergi. Tinggal aku yang masih bingung. Apa tugasku sekarang? Apakah harus menyiapkan menu untuk berbuka?

Aku masuk ke dalam ruangan yang terletak di samping dapur itu, sembari mengucap salam. Terlihat ada satu ranjang tidur dan sebuah lemari kayu berukuran sedang, juga sebuah kipas di samping ranjang. Jam dinding yang tergantung menunjukkan angka setengah enam.

Segera kuambil wudhu, masih ada waktu salat Asar meski sempit. Tak apalah daripada tidak salat. Puasaku juga alhamdulillah masih terjaga. Setelah salat, bergegas aku mandi dan berganti pakaian. Terdengar ada suara seorang wanita yang berbincang santai di dapur. Kubuka pintu kamar.

Wanita paruh baya yang terlihat cantik dan anggun itu membalikkan badan, melihat ke arahku sambil tersenyum. Aku hanya terpana, bahkan sungkan untuk menyapa.

“Ini Ira, ya?” Ia tersenyum sambil menyodorkan tangannya. Segera aku mendekat, menggapai dan mencium tangannya.

“Iya, mmm ....”Aku bingung harus memanggilnya apa. Nyonya atau Ibu?

“Panggil saja bu Widya.” Ia seolah mengerti kebingunganku. Selain cantik, dia juga ramah.

Sedangkan suara pria tadi sepertinya suara Pak Arya, tapi dia sudah tidak ada di dapur ketika aku keluar kamar.

“Maaf, Bu. Ira bantu, ya?” Aku segera mengambil piring di rak, saat tangan Bu Widya membuka bungkusan makanan.

“Terima kasih, Ra.”

Aku tersenyum sambil mengangguk. Dia menaruh beberapa pastel goreng di atas piring itu.

“Ini tolong ditaruh di meja makan, ya.”

Dia menunjukkan meja bundar yang cukup besar dengan enam kursi yang mengitarinya. Aku segera meraih piring dan beberpa mangkuk yang berisi sayur dan lauk.

“Kamu nanti buka puasa bareng, ya? Jangan sungkan.”

Senyum ramah tak pernah lepas dari bibirnya. Alhamdulillah, tidak seperti yang aku bayangkan. Majikan kaya yang galak. Semoga ini pertanda bahwa aku diterima dengan baik di rumah ini.

“Terima kasih, Bu.”

Aku merasa terharu dengan sikapnya padaku. Terlihat jauh berbeda dengan sikap yang Pak Arya tunjukkan.

****

Saat azan Magrib bersahutan, aku segera menunaikan salat Maghrib setelah membatalkan puasa dengan segelas air putih.

“Ra, ayo buka dulu!” Suara bu Widya terdengar dari ruang makan.

Aku segera menghampirinya. “Maaf, Bu. Ira nanti saja makannya.”

Aku sungkan bila harus satu meja dengan majikanku. Biar nanti saja aku berbuka, setelah mereka selesai. Pikirku.

“Lho, kok gitu sih? Gak baik menunda buka. Lagipula kamu pasti capek dan lapar setelah perjalanan ke sini.” Bu Widya keukeuh.

Aku hanya tersenyum ragu. Tidak tahu harus berkata apa.

“Tapi kalau itu mau kamu, ya sudah. Ibu dan bapak akan makan takjil dulu, baru sepulang taraweh nanti kami makan berat.” Bu Widya akhirnya berlalu mengelus pundakku. Lega.

___

“Ra, ibu berangkat taraweh dulu ya. Kamu mau ikut atau istirahat saja di rumah?”

Bu Widya menghampiriku yang sedang menikmati segelas teh manis hangat di bangku luar dekat dapur. Dua kursi yang mengapit meja kayu kecil, menghadap halaman kecil yang asri. Sejuk sekali.

“Sepertinya malam ini Ira gak ikut taraweh dulu, Bu.”

Segera aku berdiri dan tersenyum. Kepalaku terasa berat dan badanku juga pegal-pegal semua.

“Ya sudah. Ibu tinggal dulu. Jangan lupa itu makanannya dimakan, kamu duluan saja makannya. Gak usah tunggu kami pulang dari masjid.” Bu Widya segera berlalu.

Belum banyak yang Bu Widya katakan, termasuk belum dijelaskannya apa saja tugasku dan aturan di rumah ini. Mungkin nanti kalau sudah senggang aku menanyakan semuanya. Bukankah nanti waktu sahur aku harus menyiapkan menu untuk mereka?

____

Terpopuler

Comments

Candy Tohru

Candy Tohru

alhamdulillah, dapet majikan baik

2021-03-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!