Part 8

Part 8

POV Arya

Tidur yang lelap hampir saja membuatku bangun kesiangan untuk sahur. Untunglah alarm jam di atas nakas yang terus menyelak, membuatku mengumpulkan segenap kesadaran.

Turun menuju ruang makan, terlihat Ira sedang menata hidangan di atas meja. Sekilas, wajahnya terlihat sembab. Mengapa mendung itu tak juga beranjak dari parasnya? Kutarik kursi lalu segera duduk. Sedangkan Ira hanya mengangguk dan kembali ke dapur.

Kehadirannya di rumah ini sebenarnya sedikit banyak membuat susana terasa lebih hangat. Terutama Mami yang jadi memiliki teman berbicara. Mami terlihat sangat senang menerima kehadiran gadis pendiam itu.

----

Mami mengajakku dan papi ke butik pagi ini.

Aku yang sudah siap dengan setelan santai keluar kamar dan menuruni anak tangga. Mami sedang berbicara dengan Ira. Saat menyadari kedatanganku, Ira melihat ke arahku.

Ia menatapku lama, tak sadar aku pun melakukan hal yang sama. Netra kami bertemu. Wajahnya yang tirus itu dihiasi senyuman yang pertama kali kulihat. Manis.

Setelah Papi berdehem, aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Begitu pun dengannya, wajahnya terlihat sedikit memerah. Mungkin malu.

“Sepertinya Ira itu anak yang baik ya, Ar?” tanya Mami saat kami dalam perjalanan menuju butik.

Aku hanya menggedikkan bahu. Karena memang aku belum bisa memastikan bagaimana sifat asli Ira. Dia baru satu hari kukenal, mana mungkin aku bisa menyimpulkan secepat itu.

“Kalau papi justru merasa familiar dengan wajah Ira, Mi. Rasanya papi tidak asing saat pertama kali melihatnya,” timpal papi.

“Pantesan tadi waktu mami ngobrol, Papi melihat Ira dengan serius.”

“Iya, tapi kapan dan di mananya, papi gak ingat, Mi.”

“Mungkin saja Papi melihat orang yang wajahnya mirip, wajah Ira kan emang pasaran,” jawabku asal.

“Ish, kamu ini. Gak boleh ngomong kayak gitu.”

Mami menepuk bahuku dari jok belakang. Membuatku tergelak. Wajahnya terlihat tidak suka mendengar kata-kataku.

“Ira punya wajahnya yang manis kok, ya, ‘kan. Pi?” lanjutnya.

Aku hanya tersenyum, dalam hati saja mengiyakan.

“Iya. Semoga saja dia benar-benar anak yang baik dan juga betah tinggal di rumah kita. Biar Mami ada temen ngobrol. Ya, kan?”

Papi mengelus tangan Mami sambil berpandangan. Romantis sekali mereka. Bikin aku jadi ngiri.

Saat tiba di butik, Mami langsung menyuruhku dan Papi mencoba baju yang akan dipakai untuk hari raya. Wajahnya sangat sembringah melihat baju yang kami pakai pas di badan.

“Menurut kamu, ini pas gak untuk Ira, Ar?” tanya Mami sambil menujukkan sebuah gamis berwarna lembut yang lengkap dengan kerudungnya. Aku hanya mengangguk.

“Mami akan kasih untuk Ira. Dia pasti belum punya baju untuk lebaran,” ujarnya dengan mata berbinar, dan melepaskan gamis dari gantungan pajangan.

Mami memang wanita yang luar biasa. Selain karena sangat berbakat di bidang fashion dan bisa menjalankan bisnisnya, beliau juga sosok yang peduli pada orang lain. Sekarang salah satu buktinya.

***

Setelah selesai urusan dengan butik, aku pergi bersama Papi untuk membahas masalah pekerjaan di kantor. Meski para karyawan telah menikmati hari libur, tapi kami masih bergelut dengan berkas-berkas yang harus ditanda tangani.

“Pi, aku masih penasaran dengan karyawan yang berani melaporkan kasus Pak Dasim itu. Siapa dia, Pi?”

Papi menutup map yang sudah selesai ditanda tanganinya kemudian beralih menatapku yang berada di depannya.

“Namanya Arif. Dia salah satu karyawan kepercayaan Dasim. Dia memang menyimpan nomor Papi, saat Papi dan Rendy berkunjung ke sana sebulan yang lalu.”

“Bukannya saat kejadian banyak karyawan pabrik yang terlibat, Pi. Harusnya dia juga berada di rumah Pak Dasim, Pi?”

“Papi juga tidak tahu, bagaimana si Arif itu bisa curi kesempatan melaporkannya pada papi. Yang pasti, dia tidak terlambat melakukan aksi heroiknya itu. Kalau saja telat, sudah pasti si Ira jadi istri si Dasim,” ungkap Papi sambil menggelengkan kepalanya sambil menarik napas. Mungkin sangat kecewa dengan tindakan gila seseorang yang telah diberikannya kepercayaan.

“Tapi, papi dengar, Ira punya utang banyak pada Dasim, bener itu, Ar?” Papi mencondongkan tubuhnya ke depan, menatapku serius.

“Bener, Pi. Tapi Arya sudah membayarnya. Kalau tidak, dia punya alasan untuk melarangku membawa Ira,” jawabku sambil bersandar ke kursi.

“Berapa utangnya?”

“Lima puluh juta, Pi.”

“Sepertinya utang itu sudah lama. Jadi, Pak Dasim menganggap Ira yang sebagai jaminan utang itu, berhak ia miliki seenaknya,” lanjutku.

Papi manggut-manggut.

“Keterlaluan dia. Masa orang dipakai jaminan utang, ck.” Papi terlihat tersenyum miring.

“Ira sudah tahu kalau utangnya sudah lunas?”

“Belum Pi. Dia tidak aku kasih tahu.”

“Ya, sebaiknya tidak usah tahu. Takutnya dia merasa terbebani hutang budi. Biarlah dia memenangkan diri dulu, baru setelah dia stabil beri tahu yang sebenarnya.”

“Ya, Pi.”

----

Tak terasa ini adalah hari terakhir berpuasa. Mami dan Ira terdengar sedang berbincang sambil memasak di dapur. Aku menghampiri mereka untuk menanyakan keberadaan Papi.

Namun, baru saja kakiku hendak mendekat, aku sedikit terkejut dengan adegan di depan mata. Mami sedang menyuapi Ira?

Aku memalingkan wajah, menyadari Ira salah tingkah dengan kedatanganku. Dia pasti malu ketahuan tidak puasa olehku.

Wajahnya menunduk setelah mengambil alih sendok dari tangan mami.

Ah iya, dia pasti sedang ....

“Ada apa, Ar?” Mami membalikkan tubuhnya setelah aku hanya mematung di belakangnya.

“Eng-enggak, Mi. Arya cuma mau papi ada dimana?” gugupku.

“Tadi papi ada di kamar, sedang tidur,” jawab Mami santai.

“Iya, Mi.” Aku segera berlalu.

Kenapa aku yang malah merasa malu. Seolah akulah maling yang tertangkap basah.

----

Hari kemenangan pun tiba. Gema takbir bersahutan dari setiap sudut kota.

Aku teringat Bik Santi yang jauh di kampung halamannya. Aku biasanya akan pergi ke masjid untuk bertakbir di sana.

Sejak kecil, Bik Santi dan suaminya akan mengajakku ke masjid. Sepanjang jalan aku akan melangkah dengan riang.

Meski Mami dan Papi tak pernah ada waktu untukku dulu, tapi aku mendapatkan kasih sayang yang besar dari kedua orang yang tinggal di rumahku itu.

Ini adalah lebaran pertamaku tanpa mereka. Rasanya ada yang kurang. Kuambil gawai, kemudian menghubungi Bik Santi.

Meski baru dua minggu dia pergi, tapi aku merasa rindu pada wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu itu. Kami berbincang beberapa saat, untuk saling melepas rindu. Layaknya ibu dan anak.

Sebelum meletakkan gawai di atas nakas, nada pesan masuk berbunyi.

[Apa kabar, Mas?]

Mataku membulat. Tidak menyangka bila wanita yang telah memblok nomorku beberapa bulan lalu itu menghubungiku. Meski hanya lewat pesan singkat.

Sesaat ingin lakukan panggilan telepon, tapi urung. Lebih baik kubalas saja pesannya.

[Baik. Bagaimana kabarmu, Sal?] mata yang sempat mengantuk kini terbuka lebar kembali. Menantikan balasan darinya.

[Baik juga, Mas. Aku cuma mau ngasih tahu. Minggu depan aku akan menikah]

Jantungku terasa berpacu. Badanku tiba-tiba terasa panas, hingga selimut yang tadi menutupi separuh tubuh kusingkapkan cepat dan duduk lebih tegak.

[Benarkah? Dengan siapa?] jemari bergetar memegang ponsel yang masih menyala. Menunggu balasan yang sebenarnya akan menambah dalam luka di hati ini.

[Aku kembali pada ayahnya Zahwa] kulemparkan gawai seketika ke samping badan. Mengusap wajah dengan kasar.

Tak menyangka bila dia akan kembali pada pria yang telah menyakitinya itu. Mengapa?

Aku mungkin masih bisa menerima meski berat, bila saja dia menikah dengan pria selain mantan suaminya itu. Argghhh... tak ingin kulanjutkan berbalas pesan lagi.

Walau pun aku tahu aku sudah tidak berhak ikut campur lagi, karena hubungan kami telah berakhir, tapi tetap saja hati ini masih merasa sakit.

****

Langkah tertahan saat akan memasuki pintu masuk sepulang dari masjid menunaikan salat Ied. Aku mematung, melihat pemandangan di depan mata. Mami tengah berpelukan dengan Ira. Mereka nampaknya terisak, saling meminta maaf.

Setelah terdengar Papi berdehem, aku baru mendekat.

“Ehm ... sama Arya gak salaman, Ra?” Kata-kata Papi menghentikan langkah Ira.

Aku mencoba terlihat santai melihat Ira yang mulai mendekat kemudian mengulurkan tangannya.

Kami bersalaman saling bermaafan. Sedikit tertegun menyadari bahwa tatapan matanya seolah menyiratkan rasa terima kasih yang mendalam. Senyum tulus itu membuat ujung bibirku ikut tertarik ke atas.

Tangannya yang lembut menghadirkan desir halus yang sulit kumengerti. Aku coba menetralkan debar ini.

Ia hanya tersenyum kemudian berlalu. Aku masih tak mengalihkan pandangan dari tubuhnya nampak cocok mengenakan gamis yang telah mami berikan.

Cantik

-----

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!