Part 14
Saat tengah membersihkan meja makan, tiba-tiba kudengar ada suara langkah kaki yang menuruni tangga.
Kutengok ke arah tangga, ternyata Mas Arya sedang berjalan menuruni anak tangga.
“Mas Arya kapan pulang?” tanyaku heran. Karena dari tadi aku tidak melihatnya masuk ke rumah.
Dia menoleh sebentar.
“Tadi,” jawabnya singkat.
Saat hendak membuka pintu, aku memanggilnya sambil berjalan mendekati.
“Maaf,Mas. Ada kantong belanjaan milik Mas` Arya yang tadi tidak sengaja terbawa sama Ira,” kataku. Sepertinya Mas Arya mengingat-ingat kantong belanjaan yang mana yang aku maksud.
“Owh, itu. Semuanya milik kamu, Ra,” jawabnya seraya berlalu keluar rumah. Sedangkan aku masih berdiri heran.
Apa maksudnya?
.
Ucapan salam terdengar dari pintu depan. Sepertinya Bu Widya pulang. Benar saja, dia berjalan masuk rumah beriringan dengan Mas Arya.
Kusambut dengan mencium tangannya, Bu Widya membalas dengan mengusap lembut kepalaku. Kebiasaan yang sangat kusukai.
Kami berjalan menuju dapur.
Kubuatkan teh lemon hangat kesukaan Bu Widya. Dia kemudian melihat pakaian yang tadi kubeli dari mall. Setelah aku mengucapkan terima kasih karena dia membelikanku banyak sekali pakaian.
Tetapi, saat kuceritakan satu kantong belanjaan yang isinya pakaian dalam wanita dan merasa tidak membelinya, Bu Widya malah tertawa.
“Tadi saya memang menyuruh Arya agar kamu sekalian membeli pakaian dalam. Saya kira dia cerita,” kata Bu Widya sambil masih tersenyum. Sepertinya itu lucu baginya.
Aku hanya menggeleng. Malu sebenarnya.
Membayangkan bagaimana bisa Mas Arya memilih kemudian membeli beberapa potong pakaian yang seharusnya kupilih sendiri.
Setelah bercerita, aku pamit sebentar untuk menawarkan minum pada Mas Arya.
.
Tampak Mas Arya duduk di sofa ruang keluarga sambil menonton televisi.
“Mau Ira buatkan kopi, Mas?” tanyaku seraya berdiri di sampingnya.
Mas Arya mendongakkan kepalanya, melihat ke arahku.
Sesaat dia malah melihatku tanpa menjawab. Apa mungkin di wajahku ada noda atau kotoran?
Aku menunduk.
“Teh hangat saja, Ra,” jawabnya setelah berdehem sebelumnya.
Dia memalingkan wajah.
“Baik, Mas,” sahutku sambil berlalu kembali ke dapur.
.
.
Pagi ini, aku tidak melihat Mas Arya sarapan di meja makan. Tapi aku merasa sungkan untuk menanyakannya pada Bu Widya.
Saat aku mencuci piring, Bu Widya menghampiriku.
“Ra, bisa masak bubur gak?” tanyanya. Kulihat ia sudah berpakaian rapi.
Sepertinya bersiap untuk pergi ke butik.
“Bisa, Bu,” jawabku.
“Arya demam, dia cuma mau makan bubur beras pake garam saja kalau sedang sakit. Jadi tolong buatkan, ya?” pintanya sambil tersenyum.
“Baik, Bu.”
“Oh iya, nanti langsung antarkan saja ke kamarnya. Saya mau ke butik dulu,” pamitnya kemudian mengucap salam.
.
Setelah matang, kuantar semangkok bubur panas beserta segelas air putih hangat, sesuai pesan Bu Widya tadi.
Kuketuk pintu, kemudian membukanya perlahan setelah ada seruan agar aku masuk.
Mas Arya sepertinya baru saja terbangun. Wajahnya tampak pucat, dengan susah payah dia berusaha duduk bersandar ke kepala ranjang.
“Ini buburnya, Mas. Tadi Ibu yang suruh Ira buat,” kataku seraya meletakkan nampan di atas nakas samping ranjang.
Dia hanya mengangguk lemah.
Saat akan melangkah membalikkan badan, Mas Arya memanggilku.
“Ra, bisa tolong kemarikan buburnya?” pintanya dengan suara lemah.
Aku pun mengangguk.
Saat kuasongkan mangkok, kulihat tangan Mas Arya gemetar. Sepertinya dia memang sangat lemah. Karena tidak tega,akhirnya aku duduk di tepi ranjangnya.
“Biar Ira yang pegang mangkoknya, Mas,” tawarku yang mendapat anggukan darinya.
Sendok yang berisi bubur kuasongkan, agar ia bisa menyuap. Namun, lagi-lagi kulihat tangannya gemetar saat menyuap.
“Maaf, Ra. Bisa kamu suapi saya saja? Kepalaku pusing sekali,” katanya seraya menaruh sendok ke dalam mangkok.
Walaupun ragu, akhirnya kuiyakan juga.
Sedikit demi sedikit bubur berhasil masuk ke mulut Mas Arya, meski aku harus membujuknya agar tidak berhenti makan. Selama menyuapi, Mas Arya terus saja menatapku.
Membuatku gugup dan salah tingkah.
Mas Arya mengangkat tangannya, tidak mau melanjutkan makan. Aku pun hanya bisa pasrah. Lumayan, setengah mangkok yang sudah dimakannya.
Kuambil gelas berisi air hangat. Kemudian membantunya minum.
Dia menarik napas.
Saat tangannya menyerahkan gelas, tidak sengaja, tangannya bersentuhan dengan tanganku.
“Mas Arya panas sekali,” kataku setelah menyentuh keningnya.
Dia hanya memejamkan mata.
“Ira kompres, ya? Setelah minum obat nanti?” tawarku. Dia hanya mengangguk tanpa membukia mata.
.
Aku turun dan setelah mengambil baskom kecil berisi air dan washlap, aku kembali ke kamar Mas Arya.
Dia ternyata tertidur.
Dengan hati-hati kutaruh washlap basah di atas keningnya. Dia hanya menggumam, sepertinya mengucapkan terima kasih. Tapi tidak jelas terdengar. Kujawab iya saja.
Setelah satu jam dikompres, panas tubuhnya mulai turun. Aku sedikit bernapas lega.
Mungkin karena Mas Arya telah menolongku dan keluarganya yang sudah sangat baik padaku, ada rasa khawatir yang begitu besar saat melihatnya sakit.
Kupandangi wajah yang kini terlelap. Napasnya sangat teratur.
Pria setampan ini, kenapa belum menikah?
Eh.
Aku segera tersadar, terlalu lama memandangi wajah damai di depanku ini.
Lebih baik aku kembali ke dapur. Menyiapkan untuk makan siang saja.
Baru saja berdiri dari ranjang, Mas Arya menyebut namaku.
“Ra,” lirihnya.
Tapi kulihat, dia terlelap. Matanya terpejam.
Mungkin dia hanya mengigau.
___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments