Part 9

Part 9

Aku tidak bisa menolak permintaan Bu Widya untuk makan bersama dengan mereka.

“Ra, nanti setelah makan kami akan langsung berangkat ke Bekasi. Kalau terlalu siang jalanan akan macet,” terang Bu Widya.

Aku hanya mengangguk. Kemudian kami kembali makan dalam diam.

.

Setelah Bu Widya berangkat, aku segera melakukan semua pekerjaan rumah. Mulai dari membereskan rumah dan menyapu halaman. Hari raya kuhabiskan untuk melakukan kewajiban sebagai asisten rumah tangga.

Bu Widya berkata, bahwa aku tidak perlu membersihkan rumput liar di halaman. Aku hanya perlu menyapunya saja. Akan ada tukang kebun yang datang seminggu sekali untuk membersihkan dan menata halaman depan dan belakang rumah.

Selesai sudah semua pekerjaan, aku beristirahat sejenak. Hingga azan Asar berkumandang.

Badan terasa sangat segar setelah mandi. Kuraih ponsel dan membukanya. Ada tiga panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Aku mengabaikannya, kemudian membuka aplikasi chat.

Untunglah sebelum pulang ke Sumedang, aku masih sempat mengisi pulsa dan juga kuota. Sehingga bila saat senggang aku bisa membuka aplikasi sosial media sebagai penghilang jenuh seharian berada di dalam rumah.

Panggilan masuk dari nomor yang tadi tak terjawab kini masuk kembali. Dengan ragu, aku mengangkat panggilan yang masuk itu.

“Assalamualaikum.” kusapa seseorang di sana yang tetap tak bersuara.

“Halo, ini siapa?” Aku kembali memanggilnya.

“Ra, ini mamang.” Suaranya terdengar tercekat dan berat.

“Mang Tardi?” tanyaku, masih ragu.

“Ya, Ra. Maafkan mamang, Ra.” Terdengar helaan napas berat dari Mamang yang terasa menyayat hatiku.

Aku menutup mulut, menahan isak. Masih belum bisa berkata apa pun.

“Ra, kamu baik-baik saja di sana?”

“Ya, Mang.” Susah payah kujawab tanya Mamang.

Kenapa baru sekarang menghubungiku? Apakah Mamang tak peduli dengan apa yang terjadi padaku?

Kutahan agar semua tanya itu tak kulontarkan.

“Ra, HP mamang hilang saat pergi ke kantor polisi hari itu. Baru tadi siang Arif datang ke sini dan memberikan nomermu pada mamang,” terangnya yang membuatku penasaran.

“Dari kantor polisi? Jadi Mamang yang melaporkan penculikanku pada polisi?”

“Ya. Itu adalah ide Arif agar Pak Arya bisa datang tepat waktu menjemputmu.” Aku semakin tak mengerti.

“Kang Arif?”

“Arif yang memberitahukan tindakan Juragan Dasim pada Pak Teguh, pemilik pabrik. Dia mengatur cara agar kamu lepas dari jeratan juragan Dasim, Ra.”

“Lalu?”

Aku menajamkan pendengaran. Menyimak setiap penjelasan Mang Tardi.

“Arif tahu rencana licik Juragan Dasim. Pagi-pagi sekali dia menghubungi Pak Teguh, setelah dia tahu apa yang akan dilakukan Juragan Dasim sama kamu. Dia memohon agar kamu dibawa ke Jakarta agar Juragan Dasim tak bisa lagi menganggumu.”

“Bukankah Kang Arif tangan kanan Juragan Dasim, Mang?’

“Benar, Ra. Karena itu dia juga disuruh untuk membantu juragan dasim. Namun, Arif beralasan jika ibunya sakit, jadi tidak bisa mengikuti perintah Juragan Dasim. Tidak ada yang curiga dengan tindakan Arif atau pun mamang, Ra.”

Aku tak kuasa menahan air mata, mengetahui kebenaran yang kini kudengar. Aku tidak menyangka bila mereka telah membantuku dari belakang selama ini.

Ya Allah, ampunilah aku yang telah berburuk sangka pada mereka.

Setelah mengobrol banyak dan menanyakan kabar Bi Asih juga anak-anak mereka, telepon pun ditutup.

.

Rasa kecewa yang seminggu ini kurasakan pada Mang Tardi dan juga Kang Arif kini berganti dengan rasa hutang budi yang sangat besar. Aku bersyukur,karena merekalah aku bisa berada di tempat yang aman.

Kutekan nomor Kang Arif kemudian mengucap salam padanya.

“Terima kasih untuk bantuan Kang Arif ke Ira. Maafkan bila Ira telah berpikir buruk padamu, Kang,” ungkapku dengan suara bergetar.

“Ya, Ra. Maaf bila hanya itu yang bisa kulakukan untuk menolongmu.” Datar suara Kang Arif.

“Apa Kang Arif tidak takut kalau Juragan Dasim akan mengetahui tindakan Akang?”

Aku benar-benar mencemaskannya. Selama ini ia sangat membutuhkan pekerjaan di pabrik itu, untuk membiayai kehidupannya bersama ibu dan kedua adiknya yang masih bersekolah.

Kang Arif adalah tulang punggung keluarganya. Ia merawat ibunya yang sakit-sakitan, sedangkan kedua adiknya masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Tidak heran bila ia bekerja dengan sungguh-sungguh agar Juragan Dasim puas dengan hasil kerjanya selama ini. Hingga Kang Arif menjadi tangan kanan sekaligus orang yang paling dekat dengan juragan.

Terdengar helaan napas dari seberang sana. Aku tahu bila dia merasa cemas akan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di kemudian hari. Akibat telah menolongku.

“Semoga saja tidak. Aku telah melakukan hal baik bukan?” tanyanya dengan suara riang.

Kami berbincang lumayan lama.

.

Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Bu Widya dan keluarganya masih belum kembali.

Aku menghangatkan makanan tadi siang yang masih tersisa banyak. Setelah mengambil nasi dan lauk dalam satu piring, aku membawanya menuju kursi di teras belakang. Baru saja duduk, terdengar langkah kaki yang mendekat.

Aku menoleh, dan ternyata Pak Arya telah berdiri di samping kursi yang kududuki. Aku hendak berdiri tapi Pak Arya segera melarang.

“Lanjutkan saja makannya. Aku hanya mau mengecek mengapa pintu dapur terbuka. Aku kira tidak ada kamu di sini,” jelasnya sambil hendak membalikkan badan.

“Pak Arya mau makan juga? Akan saya siapkan,” tawarku. Aku kemudian berdiri.

Dia menghadapku, tapi matanya mengapa menatapku begitu tajam? Ah, mungkin hanya perasaanku saja.

“Emm ... aku memang belum makan malam. Mami dan papi masih di rumah Tante Mira, makan malam di sana,” jelasnya. Aku mengangguk. Tangannya terangkat ke atas, memintaku menghentikan langkah menuju dapur.

“Sebentar. Aku mau makan di sini juga. Bawakan saja satu piring seperti punyamu,” mintanya. Membuatku sedikit bingung. Tapi akhirnya aku mengiyakan juga.

.

Pak Arya duduk di kursi dekat pintu terhalang meja kecil diantara kami. Dia tampak menikmati setiap suap nasi dan lauk di piring yang ia angkat. Pertama kali aku melihat pak Arya makan dengan tangan. Ia makan dengan lahap, tak peduli dengan kehadiranku.

“Belum pernah lihat orang makan, ya?” tanya pak Arya membuatku tersadar bahwa dari tadi aku hampir tak berkedip menatapnya.

“Mmm ... maaf, Pak,” gugupku.

“Gak usah panggil Bapak, nanti tertukar dengan panggilan ke papi. Panggil saja Mas.”

Kini isi piring telah tandas. Matanya langsung menatapku, bibirnya menyunggingkan senyum yang tipis.

“Ya Pak, eh Mas.”

Kenapa harus harus grogi segala, padahal dia kan hanya berkata seperlunya?

“Kamu habiskan dulu makannya. Tapi saya masih betah duduk di sini,” datarnya. Ia kemudian melemparkan pandangannya ke depan. Sekarang aku merasa kalau lapar yang tadi menyerang, kini telah hilang. Tapi kalau tidak meneruskan makan, nanti mas Arya pikir aku grogi makan di depannya.

Kami duduk dalam hening. Aku masih berusaha menghabiskan sisa makanan di piring, sedangkan Mas Arya sibuk dengan pikirannya sendiri.

Angin malam yang bertiup lembut, membuat suasana semakin terasa sunyi.

“Mau Ira buatkan kopi, Mas?” tanyaku, sebelum beranjak membawa piring ke dapur.

“Buatkan teh hangat saja,” pintanya tanpa menatapku.

.

Kutaruh teh yang masih mengepulkan asap itu di meja yang berada di antara kami. Mas Arya mengeluarkan ponsel dan memainkannya.

“Ira permisi masuk, ya, Mas,”pamitku. Merasa sungkan bila kami terus saja duduk berdua.

“Kamu sibuk? Kalau tidak, bisakah temani saya sebentar lagi?”

Ia mengangkat wajahnya dari gawai yang masih menyala. Aku merasa tidak enak bila menolaknya.

Akhirnya aku pun kembali duduk.

Keheningan menyelimuti kami. Satu jam waktu berlalu tanpa ada kata yang kami ucapkan. Aku juga membawa ponsel, agar tidak merasa bosan menemani Mas Arya yang kini hanya menatap lurus ke depan. Mungkin dia menikmati cahaya bintang yang menghias langit, atau mungkin juga pikirannya sedang mengembara entah ke mana.

“Ra, kamu betah tinggal di sini?” Suara mas Arya memecah kesunyian.

“Ya, semua yang di rumah ini baik sama Ira,” jawabku.

“Syukurlah,” ucapnya datar.

Dia kemudian beranjak, setelah menghabiskan sisa teh yang telah dingin.

“Istirahatlah. Besok akan sibuk, banyak saudara dan kerabat yang akan datang.” Langkahnya terlihat gontai. Mungkin karena kecapekan.

Aku menganggukkan kepala.

Ada kebahagiaan yang kurasa saat Mas Arya memberikan perhatian, meski hanya sedikit. Bukan, bukan perhatian, itu lebih pada perintah sebagai majikan pada pembantunya. Ya, aku tidak boleh salah sangka padanya.

Bu Widya dan suaminya pulang pukul sepuluh malam. aku membantu Bu Widya mengangkat beberapa kantong plastik yang dibawa Bu Widya. Kemudian menatanya di meja makan dan sebagian lagi dimasukkan ke kulkas.

.

“Pagi, Ra,” sapa hangat Bu Widya saat menghampiriku di dapur.

“Pagi, Bu,” jawabku sambil membalas senyum manisnya.

“Kita hanya perlu masak nasi saja, untuk lauk dan sayurnya nanti ada beberapa saudara saya yang katanya akan membawa makanan dari rumah mereka,” jelasnya kemudian.

“Ya, Bu.”

“Semalam Arya makan malam di rumah?”

“Iya,” jawabku singkat. Bu Widya hanya mengangguk.

“Nanti sore Tasya akan pulang,” lanjut Bu widya dengan wajah berseri. Ia pasti sangat merindukan Mbak Tasya.

Mbak Tasya adalah anak pertama Bu Widya, kakak mas Arya. Katanya ia tinggal di Austalia, mengikuti suaminya bertugas di sana. Bu Widya hanya sesekali menceritakan Mbak Tasya, berbeda jikamenceritakan Mas Arya. Selalu antusias.

“Nanti taruh toples-toplesnya di ruang tamu dan ruang tengah ya, Ra,” perintah Bu Widya. Aku mengangguk.

.

Semua makanan sudah siap kutata. Minuman juga tinggal antar ke depan bila Bu Widya menyuruh.

Beberapa tamu sudah mulai berdatangan.

Riuh di ruang tengah semakin terdengar. Aku membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Meski ada rasa malu bertemu dengan orang-orang yang baru, tapi aku harus melakukan kewajibanku. Menjamu tamu.

“Ini siapa, Tante?” tanya seorang gadis cantik menujuk ke arahku. Aku sempat tertegun, kaget.

Kemudian mengulas senyum sambil mengangguk kepadanya.

“Ini Ira, asisten baru di rumah.”

Wajah Bu Widya tampak santai menjawab. Kemudian gadis bekulit putih itu menghampiriku. Tak kuduga, dia menyodorkan tangan kanannya.

“Aku Nayla, Kak,” katanya memperkenalkan diri. Kujabat tangannya yang halus. Dia tersenyum, manis sekali.

“Ira.”

.

Para tamu baru saja selesai makan siang. Aku yang tengah membereskan piring, terkejut saat Nayla menghampiriku. Ia duduk di kursi yang terletak di sisi dapur. Aku tersenyum ke arahnya, ia pun membalas.

“Kak Ira udah lama kerja di sini?”

“Baru seminggu, Mbak,” jawabku.

“Jangan panggil Mbak, ah, panggil Nay aja, Kak. Aku masih delapan belas tahun ... heee,” pintanya sambil nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan cantik.

“Kak Ira kenal donk, sama Mas Arya?” Wajahnya terlihat serius.

“Ya kenal, donk, masa iya sama orang serumah gak kenala, Nay,” sambar Bu Widya yang ternyata sudah berdiri di samping Nayla.

Aku hanya tersenyum.

“Ah, Tante. Nay kan tanya sama kak Ira. Kok, Tante yang jawab?” Wajahnya tampak cemberut.

Bu Widya hanya mencubit pipi mulus Nayla dengan gemas sambil tertawa. Mereka tampak akrab.

“Mi, itu Nayla diajak pulang sama mamanya.”

Mas Arya tiba-tiba muncul dan seketika kami melihat ke arahnya.

Nayla langsung berdiri dan menggelayut manja di tangan Mas Arya. Mas Arya tampak keberatan, dengan lembut mencoba melepaskan tangan Nayla yang semakin erat mendekap tangannya. Nayla terus menggerutu kalau dia masih betah.

Mereka bertiga akhirnya melangkah ke ruang tengah.

----

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!