Part 3
POV Arya
Kuketuk pintu ruang kerja papi.
“Masuk!”
Suara Papi terdengar dari dalam. Ternyata Papi sedang berbicara di telepon.
Tapi tunggu, kenapa Papi tampak menahan amarah? Wajahnya nampak memerah dengan rahang mengeras, sedangkan tangannya mengepal di atas meja kerjanya.
Telepon pun diakhiri.
“Ini berkas yang Papi minta.” Kusodorkan map tebal ke hadapannya.
“Duduk, Ar!” perintah Papi, tanpa melepaskan pandangannya dari berkas yang kuberikan.
Papi memijit keningnya, tampak frustasi. Tidak biasanya beliau sepagi ini mengurus laporan, di rumah lagi.
“Ada apa, Pi?” tanyaku, ingin terobati penasaran. Kuamati terus wajah pria yang paling kuhormati itu.
“ Kamu tahu kan kalau ini adalah laporan keuangan dari pabrik cabang kita yang ada di Sumedang?”
Aku hanya mengangguk. Menunggu penjelasan selanjutnya.
“Di laporan ini, banyak sekali kejanggalan yang baru papi sadari. Selama ini papi tidak terlalu peduli dengan setiap laporan yang papi terima. Pak Dasim kepercayaan papi yang mengurus pengelolaan pabrik, sepertinya melakukan kecurangan”.
Aku masih belum berkomentar.
“Belum selesai penyelidikan papi tentang laporan keuangan pabrik, dia sudah membuat ulah yang lain. Baru saja ada telepon dari salah satu karyawan di sana, kalau pak Dasim menculik dan memaksa menikahi gadis yatim piatu,” ungkap Papi seraya mengusap kasar wajahnya. Tampak sekali kekesalan di matanya.
“Lalu, kenapa Papi tidak pecat saja dia, lalu laporkan ke polisi?” Aku mencoba memberikannya solusi.
“Tidak semudah itu, Ar. Masalah penggelapan dana masih butuh bukti yang lebih kuat. Apalagi masalah penculikan. Papi gak bisa ikut campur. Karena itu termasuk urusan pribadinya. Dulu papi pernah membuat surat perjanjian dengannya.”
“Sekarang apa jalan keluarnya, Pi?”
“Kita akan terus menyelidiki masalah penggelapan dana sampai nanti ada bukti kuat yang bisa menjeratnya. Sedangkan untuk penyelesaian masalah penculikan hanya ada satu cara.”
“Apa itu, Pi?”
“Kamu gantikan posisi papi.”
“Maksudnya bagaimana, Pi?” Aku belum mengerti.
“Kamu jadi direktur utama, gantikan papi sekarang juga. Semua perjanjian yang dulu papi tanda tangani hanya berlaku selama papi menjabat direktur utama perusahaan. Kalau papi sudah diganti, otomatis semua perjanjian itu tidak berlaku lagi.”
Aku mengangguk tanda mengerti.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Pi?”
“Kamu sekarang berangkat ke Sumedang. Papi akan suruh asisten papi untuk menyiapkan semua dokumen yang kamu butuhkan. Rendy akan menemani kamu nanti, dia cukup tahu tentang Pak Dasim dan keadaan pabrik di sana.”
“Baik, Pi. Aku akan bersiap-siap.” Aku beranjak dari kursi.
“Satu lagi, Ar. Dasim itu sudah punya tiga istri, kalau gadis yang akan dinikahinya itu dipaksa dan diancam Dasim, ajak dia pulang ke rumah.”
Aku mengerutkan alis, sedikit bingung dengan perintah terakhir Papi. Namun, tak urung juga aku pun mengangguk.
****
Hampir empat jam perjalanan yang aku tempuh. Selama itu pula kukumpulkan informasi terkait siapa Dasim sebenarnya. Bertahun- tahun ia menjadi orang kepercayaan Papi, mengelola pabrik yang berskala sedang di kampung halamannya.
“ Memangnya kamu belum pernah datang ke pabrik cabang ini, Ar?”
Rendy yang sedang mengemudi menolehku sejenak.
“Belum, Selama ini aku fokus mengurus pabrik cabang di Jakarta dan Tangerang. Pabrik-pabrik cabang yang ada di daerah biasanya papi percayakan ke orang asli
setempat.”
Aku masih fokus mengamati setiap lembaran yang ada di tangan.
Mobil mulai memasuki jalanan kampung yang cukup bergelombang dan banyak lubang. Tepat di halaman yang luas, mobil pun berhenti.
Sebelum membuka pintu mobil, Randy tampak mengamati wajah orang- orang yang berada di teras rumah besar itu.
“Kayaknya itu semua orang yang di sana, karyawan pabrik, Ar.” Matanya masih fokus.
“Kalau benar, berarti Pak Dasim menyalah gunakan wewenang, Ren.” Aku pun ikut melihat seksama beberapa orang di depan.
Selain mobil kami yang terparkir, ada satu mobil polisi yang juga sudah ada di sana.Beberapa pria menghampiri kami, saat turun dari mobil.
“Pak Dasimnya ada?” Rendy langsung bertanya kepada salah satu orang yang sepertinya mengenali wajahnya.
“Ada. Sebentar saya beritahukan kedatangan Bapak.”
Pria itu mengangguk dengan sopan kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.
____
Saat kami masuk, tampak pria paruh baya yang Rendy tunjuk sebagai Dasim itu sedang berbincang dengan dua polisi. Sepertinya sudah ada laporan penculikan masuk ke kantor polisi.
Kami pun dipersilahkan duduk. Rendy mengenalkanku pada pak Dasim, dia tampak sangat terkejut.
“ Ada perlu apa pak Arya jauh- jauh datang ke sini?” Terlihat dia menyembunyikan kegugupannya.
Tak lantas ku jawab. Aku hanya tersenyum dengan tenang. Aku malah coba bertanya kepada dua orang polisi tentang keperluan mereka. Ternyata benar, ada salah satu warga yang melaporkan bahwa saudaranya telah diculik oleh Pak Dasim.
Setelah mendengar penjelasan kedua polisi tadi, Rendy pamit akan menunggu di mobil. Mungkin enggan terlibat lebih jauh.
Kedua polisi itu meminta pak Dasim untuk menghadirkan gadis yang disinyalir sebagai korban penculikan. Mereka ingin memastikan kondisi korban.
Aku sedang membuka ponsel, ketika pak Dasim menyuruh seseorang untuk duduk di sampingnya. Aku hanya menoleh sekilas seorang wanita berjilbab hitam yang tertunduk itu.
“Begini Pak Arya, saya kan sudah bilang ini urusan pribadi saya. Tidak ada hubungannya dengan pabrik.” Seperti yang sudah diperkirakan, ia pasti akan memakai dalih itu.
“Saya bukannya mau ikut campur urusan Pak Dasim. Tapi ini sudah menimbulkan kegaduhan nyang membawa-bawa nama perusahaan saya. Mau tidak mau saya harus turun tangan.” Dengan tenang kupancing ia agar membawa nama Papi.
Ketika mengalihkan pandangan dari pria culas itu, tak sengaja mataku menangkap wajah wanita yang disebut pak Dasim sebagai calon istrinya itu.
Manis, wajahnya teduh meski sembab oleh jejak tangisan. Matanya membulat saat netra kami bertemu, segera ia menunduk menembunyikan wajahnya.
___
Setelah berdebat beberapa kali dan menyodorkan dokumen yang menegaskan posisiku sebagai pengganti Papi, aku segera berdiri dan pamit. Pak Dasim tampak memucat mendengar ancamanku. Dia tidak berani menatapku. Dia pikir bisa membuatku percaya dengan segala alasannya. Skakmat.
Aku berjalan menuju mobil yang terparkir. Tiba- tiba seseorang memanggil namaku dan datang menghampiri.
“Pak Arya, ma’af ....”
Aku menoleh. Mendapati seorang gadis yang tadi berada di dalam rumah.
“Ma’af, Pak, kalau boleh saya mohon tolong saya,” katanya dengan suara bergetar, menahan isak.
“Saya tidak ada urusan dengan Anda, ma’af.”
Sebelum meraih pintu mobil, ‘tak diduga tangannya yang dingin mencekal tanganku. Membuatku membalikkan badan, menatap wajahnya.
“Maaf.”
Segera ia lepaskan pegangannya.
“Hanya Bapak harapan saya satu-satunya. Saya tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa membantu saya.” Ia terisak. Kasihan, tapi aku masih bergeming.
“Tolong bawa saya dari sini.” Ia semakin memelas. Tak tega, akhirnya kubuka suara, ingat pesan Papi sebelum berangkat tadi.
“Kamu kalau ikut saya paling jadi pembantu saya. Kamu mau?” Hanya itu yang terlintas dan kutawarkan padanya.
“Tidak apa- apa, Pak. Saya bersedia, asalkan saya tidak dijadikan istri keempatnya Juragan Dasim.”
Hatiku kian iba mendengar ia terus memelas. Sesekali ia mengusap sudut matanya yang berair.
“Baiklah, tunggu di sini.”
Aku pun kembali masuk ke dalam rumah pria tua tak tahu malu itu.
“Pak Dasim, berapa utang yang harus dibayar oleh gadis itu?”
Aku langsung mencecarnya, ia tampak sangat terkejut.
“Maksudnya apa, Pak?”
Mungkin ia tak mengira bahwa aku sudah tahu dia seorang rentenir. Di kampungnya ini. Pastilah karena utang juga yang membuat gadis itu dipaksanya menikah.
“Sebutkan saja angkanya.” Kukeluarkan cek dari dalam saku jas. Tanpa harus menjawab pertanyaannya.
“ Li- lima puluh juta.” Suaranya gugup. Mukanya pias sambil menunduk.
Kutulis angka yang tak seberapa itu, menyobeknya dan mengasongkannya pada laki-laki yang lebih tua dari Papi itu. Tangannya gemetar menerima kertas yang sudah ku isi tadi.
“Bukankah jatuh temponya hari ini?” Aku terus menyudutkannya.
“Jadi, jaminannya tidak bisa disita. Saya permisi.” Aku tersenyum sinis. Pria itu terpaku, menyadari mangsanya terlepas dari jeratan.
Aku keluar tanpa menoleh lagi ke arahnya.
Gadis itu masih berdiri di samping mobil. Tubuhnya tampak kurus. Ia hanya mengenakan sendal jepit karet, celana training, baju kaos lengan panjang dan jilbab yang tampak sudah lusuh. Kasihan.
Di dekat pintu kemudi, tampak Randy sedang berbicara di telepon membelakangi gadis itu.
“Kamu boleh ikut saya. Tapi perihal utang piutangmu dengan pak Dasim, nanti harus kamu selesaikan sensiri,” tegasku. Biarlah nanti saja kuberi tahu kalau utangnya sudah kulunasi.
“Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”
Dia tampak terharu dengan mata yang berbinar. Ini hanya naluri kemanusiaan yang membuatku bersedia menolongnya.
“Ar, maaf aku tidak bisa pulang ke Jakarta sekarang. Saudaraku yang ada di sini katanya sakit. Kamu gak apa- apa kan nyetir sendiri?”
“ It’ s oke.” Aku santai menanggapinya.
“ Sorry, ya, Bro” Rendy menepuk bahu, tersenyum ke arah wanita di sampingku. Kemudian ia pun berlalu.
Aku segera masuk, duduk di belakang kemudi, tapi kenapa gadis itu diam saja? Bukannya cepat masuk. Ku buka kaca pintu mobil, melongokkan kepala.
“ Ayo masuk!” Aku berseru.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa buka pintu mobilnya.”
Ia sepertinya malu, nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tertutup jilbab.
Yassalaam ... masa iya, tidak pernah naik mobil? Aneh.
Akhirnya aku pun keluar, memutar depan mobil dan membukakan pintu untuknya. ‘Silahkan, Tuan Puteri’ dalam hati. Kok, malah jadi romantis, sih? Eh.
Baru saja duduk dan memasang sabuk pengaman, dia berdehem.
“Hmm ... maaf, Pak. Barang-barang saya masih ada di rumah. Kalau bisa nanti mampir dulu ke rumah.” Ia tampak ragu meminta.
Belum juga jalan, sudah minta mampir. Aku hanya mengembuskan napas kasar.
___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Candy Tohru
dimaklumi ya, Pak Arya 🤭
2021-03-15
0
Fatma Qistina
haha
2020-04-29
1