Part 17

Part 17

Selama makan siang itu, aku hanya menjadi pendengar di antara Mbak Tasya yang bercerita dan mendapatkan sahutan dari Bu Widya dan Pak teguh. Mataku sesekali melirik ke arah Mas Arya yang terlihat sangat menikmati makanannya.

“Ar, nanti kamu anterin kakak ke mall, ya? Udah janjian ama temen lama di sana.”

Mas Arya terlihat keberatan.

“Antar saja, Ar. Kasihan kakakmu, dia sudah lama gak bawa mobil sendiri di Jakarta. Mumpung ada di sini,” sahut Bu Widya. Mas Arya terlihat menarik napas berat tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Kamu jadi kitu ‘kan, Ra?” Mbak Tasya mengedipkan sebelah matanya. Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, sekalian jalan-jalan aja, Ra.”

Pak Teguh mendukung.

“Kalau tau Ira ikut, baru senyum tuh si Arya,” seloroh Mbak Tasya, membuatku reflek melihat ke arah Mas Arya. Dia berdehem. Kemudian gegas beranjak dari kursi makan.

.

Aku duduk di kursi penumpang, berdua dengan Mbak Tasya. Mas Arya mengemudi dengan fokus. Sesekali mata kami bertemu pandang lewat kaca spion di atas dashboard mobil.

Sepanjang perjalanan Mbak Tasya banyak bercerita tentang masa kecilnya dengan Mas Arya. Tawa sesekali tidak bisa kutahan saat Mbak Tasya menceritakan tingkah Mas Arya kecil yang katanya sangat cengeng. Mas Arya sepertinya malas untuk menyahuti perkataan kakaknya.

Tiba di sebuah mall besar, Mbak Tasya langsung menghubungi teman lamanya. Kami menunggu di sebuah food court. Tiga gelas jus buah terhidang di depan kami. Mbak Tasya melambaikan tangan saat seorang wanita cantik berpakaian casual yang menuntun seorang balita menghampiri kami.

“Ini Arya, bukan?” tanya wanita yang memperkenalkan dirinya bernama Saskia itu.

“Iya. Ganteng, ‘kan dia sekarang?”

“Huum. Ini calon atau istrinya Arya, Sya?”

Aku dan Mas Arya saling berpandangan. Mbak Tasya malah terkekeh.

“Baru calon, Sas,” jawab Mbak Tasya. Membuatku menjadi salah tingkah.

“Ini anakku, Sya.”

Gadis kecil dengan poni lucunya itu mencium tangan kami bergantian. Namun, saat giliran mencium tanganku, gadis kecil bernama Vania itu malah ingin digendong olehku. Tentu saja aku kaget sekaligus senang.

Aku bisa melihat jika Mas arya tidak nyaman berada di antara kami, para perempuan.apalagi Mbak Tasya asyik bercengkrama terus dengan temannya itu. Ponsel yang tadi dipegang, kini disimpan ke dalam saku celana oleh Mas Arya. Wajahnya terlihat bosan.

“Eh, kalo kalian bosen, jalan-jalan aja sana. Kita masih banyak urusan ini. Ajak Ira keliling mall aja, Ar,” usul Mbak Tasya.

Mas Arya mengangguk, kemudian berdiri dari kursi yang sedari tadi didudukinya.

“Yuk, Ra!” ajaknya sambil tersenyum.

Aku mengangguk dan mengikutinya berdiri.

“Adek mau ikut jalan-jalan aja sama tante cantik, Ma,” rengek Vania sambil menarik tanganku agar mengajaknya.

“Boleh ‘kan, Ar?” Mbak Saskia seperti sedang memohon.

“Iya, Mbak.” Mas Arya terlihat pasrah.

Gadis berusia empat tahun itu berjingkrak gembira. Meraih tanganku agar menuntunnya.

.

Aku, Vania, dan Mas Arya berjalan beriringan. Tanganku dan Mas Arya masing-masing menuntun sebelah tangan Vania.

Saat melewati tempat bermain anak, Vania menunjuk ingin bermain mandi bola di sana. Mas Arya tersenyum dan meng-iyakan keinginan gadis kecil itu.

Vania masuk sendirian ke dalam wahana yang tidak terlalu luas itu. Aku dan Mas Arya duduk di tempat yang sudah disediakan untuk para orang tua yang menunggui anak-anaknya bermain di dalam.

Aku memandang Vania yang terlihat senang, kemudian melihat ke arah Mas Arya saat mendengarnya berdehem cukup keras.

“Ra!”

“Ya, Mas?”

“Kamu suka anak-anak?”

Aku tersenyum.

“Iya.”

“Kamu anak tunggal?”

“Iya, Mas.”

“Hmm ... pantes.” Aku hanya tersenyum.

“Seneng banget kayaknya kalau kita punya saudara,” ujarku sambil kembali melihat ke Vania. Kemudian membalas lambaian tangannya.

“Kamu bisa jadi saudaranya Kak Tasya, Ra.”

Aku memandangnya dengan alis bertaut. Mas Arya memalingkan wajahnya. Menggaruk lehernya kemudian.

“Ah, itu gak mungkin kan, Mas.”

“Bisa aja.”

Wajahnya terlihat mencurigakan.

“Ira sama Mbak Tasya ‘kan beda ayah beda ibu, Mas. Jadi, gak mungkin jadi saudaranya Mbak Tasya,” tuturku yakin.

“Kamu belum tahu. Ada caranya.”

“Caranya gimana, Mas?” Aku penasaran.

“Caranya ....”

“Tante, Vania mau ke Mama lagi. Ayo!”

Ternyata Vania sudah selesai bermain dan sudah berdiri di depanku.

Mas Arya mengusap wajahnya kasar. Menatapku seperti orang yang ... kesal. Dasar aneh!

.

“Maaf, Pak, Bu. Bisa minta waktunya sebentar?”

Seorang pria menghampiri kami saat sedang berjalan menuju food court. Dia memegang sebuah kamera. Mas Arya dan aku saling berpandangan tidak mengerti.

“Kalian ini sepertinya pasangan muda yang sangat berbahagia. Putri kalian juga sangat cantik.”

Aku langsung melihat ke arah Mas Arya yang sedang menggendong Vania di tangannya. Dia juga terlihat sama terkejutnya. Pria tadi meneruskan kalimatnya. Mungkin dia menyangka kami ini ....

”Kami sedang mencari foto model untuk produk perawatan bayi dan balita. Stand kami yang itu,” katanya sambil menunjuk sebuah stand produk yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.

“Tapi, kami ....”

“Kalau cuma difoto saja, silakan,” potong Mas Arya membuat kalimatku menggantung.

Mas Arya menarik tanganku mengikuti langkah pria yang sepertinya seorang photograper itu. Mas Arya diarahkan untuk merangkul bahuku dengan sebelah tangannya yang tidak menggendong Vania. Aku gugup.

“Maaf, Bu. Bisakah ekspresinya terlihat santai saja? Seperti Bapak dan Adeknya itu.” Arahan photograper itu membuat Mas Arya dan Vania terkikik. Aku menarik dan mengembuskan napas yang tiba-tiba terasa sesak.

“Pakai HP saya juga, Mas.”

Mas Arya menyodorkan ponselnya pada pria itu.

“Baik, Mas.”

Entah berapa kali Mas Arya melihat ke arahku sambil tersenyum. Senyum terbanyak dan terlebar yang pernah kulihat sejak mengenalnya sebulan lalu.

Setelah acara foto-foto itu selesai, aku baru menyadari bahwa Mbak Saskia dan Mbak Tasya sudah berdiri di depan kami. Agak jauh. Mereka melambaikan tangan sambil tersenyum.

.

“Kalian serasi banget tadi, semua orang pasti nyangka kalian keluarga kecil yang sangat bahagia,” ujar Mbak Tasya saat kami telah berada di mobil. Wajahku jadi terasa panas. Mas Arya ... tersenyum. Aneh, biasanya dia akan membalas celaan dari kakaknya itu. Ini malah ....

Mobil berhenti di halaman. Namun, di sana sudah ada satu mobil asing di dekat mobilnya Pak teguh. Mungkin tamunya keluarga ini. Mas Arya dan Mbak Tasya sama-sama terlihat heran, tapi tidak terlalu penasaran sepertinya.

“Untunglah kalian pulang tepat waktu, baru saja papi mau telepon.” Pak Teguh menyambut kami saat kami baru saja sampai di ruang tamu.

Selain Pak Teguh dan Bu Widya, di sana ada juga seorang wanita dan pria setengah baya mungkin seumuran dengan Pak Teguh. Ada pria muda yang kuingat sebagai temannya Mas arya. Satu lagi, gadis yang menutup wajahnya sambil terisak.

Gadis muda itu muka tangan yang meuntupi wajahnya. Dia ... Nayla?

“Kak Arya!”

Nayla langsung berdiri dan berlari ke arah Mas Arya, kemudian ... memeluknya. Mas Arya terlihat sangat terkejut. Dia menatap ke arahku.

Mengapa ada rasa panas kurasa di wajah?

Aku segera memalingkan wajah, dan melangkah cepat menuju belakang. Suara marah Mas arya masih bisa kudengar.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!