Part 20
Setelah kalimat aneh kudengar, Mas Arya malah mengajakku untuk duduk di kursi teras belakang. Sempat kutolak, tapi Bi Santi justru yang memaksaku agar kami berbicara berdua.
“Makasih buburnya, Ra.”
Aku melihat ke arahnya yang ternyata sedang menatapku.
“Itu Bik Santi yang masak, Mas.”
Dia terkekeh.
“Kamu kira aku gak tau bedanya rasa masakan Bik Santi sama kamu? Aku seumur hidup makan masakan Bik Santi.” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil masih terkekeh.
Aku hanya menunduk. Ketahuan sudah berbohong.
Hening.
Aku memandang ke arah tanaman sayuran yang sudah mulai berbunga. Ada tomat, cabai, dan dan sawi hijau yang sengaja kutanam. Selain karena suka, aku juga merasa perlu aktivitas lain di sela-sela waktu santaiku yang semakin banyak. Karena pekerjaan yang jumlahnya berkurang, akibat berbagi dengan Bik Santi.
“Kamu yang nanam sayuran itu, ya, Ra?”
Aku mengangguk.
“Ra!”
Aku menoleh lagi ke arahnya. Wajahnya terlihat serius.
“Aku serius dengan ucapanku tadi.”
Aku susah payah menelan saliva. Entah mengapa jantungku berdetak menjadi lebih cepat.
“Mungkin Mas Arya masih demam, ya?” tanyaku.
Dia malah kembali terkekeh. Hilanglah raut seriusnya tadi. Namun, dengan tertawa begitu wajahnya tidak lagi terlihat pucat seperti saat tadi pagi aku mengantarkan bubur.
Hening lagi.
“Ini teh hangat, Mas.”
Bik Santi menaruh dua gelas teh hangat di meja kecil yang menjadi sekatku dan Mas Arya duduk. Ada setoples biskuit juga. Aku melihat wajah wanita yang sudah kuanggap sebagai ibu itu. Dia tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya.
“Makasih, Bik,” ucap Mas Arya.
“Iya, sama-sama.”
Mas Arya segera menyeruput tehnya.
“Kamu tidak percaya dengan ucapanku tadi, Ra?”
“Hah?”
Aku malah melongo.
“Mungkin buat kamu itu terlalu cepat, tapi jujur saja ini juga pertama kali buatku ngerasain perasaan seyakin ini. padahal dulu aku butuh waktu samapi setahun buat ngakuin perasaan suka sama perempuan.”
“Ira ... gak mungkin percaya lah, Mas. Ira ini siapa,” ujarku seraya menunduk.
“Ra, lihat aku.”
Aku masih menunduk.
“Ra!”
Aku mengembuskan napas, memberanikan diri memandang wajah tampan dan maskulin di sampingku.
“Mas ‘kan suaminya Nay, kalau benar yang Mas katakan itu benar, dosa, Mas.”
Dia menggeleng dengan wajah yang terlihat kesal. Mungkin.
“Aku sama Nay pasti bakal pisah, gak akan lama lagi. Saat itu tiba, tolong ... terima aku, Ra.”
Mataku melotot. Apa yang Mas arya pikirkan sebenarnya? Aku memalingkan wajah, melihat lurus ke depan.
“Mas gak boleh bicara seperti itu. Pernikahan bukan sebuah permainan, ikatan suci yang disaksikan Allah dan para malaikat-Nya, Mas.”
Dia tersenyum sinis, sebelah bibirnya terangkat.
“Ini bukan pernikahan pada umumnya. Suatu hari aku jelasin semuanya sama kamu. Yang pasti, aku ... sayang sama kamu, Ra.”
Deg!
Semakin dalam aku menundukkan wajah. Mengapa harus menghadapi situasi rumit seperti ini, Yaa Allah ... apa aku harus menjawabnya?
Terdengar suara langkah kaki, sepertinya Mas Arya beranjak dari kursinya. Seketika kulihat kaki yang memakai sandal berhenti tepat di depanku. Kemudian dia ... berjongkok.
“Ra!”
Kediu tangan kekarnya memegang sandaran kursi yang kududuki. Tubuhnya seperti orang yang bersimpuh, sebelah lututnya menyentuh lantai.
Aku menatapnya.
“Jangan lawan perasaan kamu, Ra. Kalau memang ada setitik saja perasaan kamu untuk aku, tolong ... simpan dan jangan menolaknya.”
Tanganku seketika terasa dingin. Selain kata-katanya yang menohok, posisi kami juga saat ini teramat dekat. Bahkan aroma parfumnya bisa kucium. Membuat debar dalam dada semakin menggila saja.
Aku memejamkan mata. Berusaha meredam gejolak yang ‘tak tahu entah apa namanya. Semoga Mas Arya tidak mendengar degup jantungku ini.
“Aku ... mau ke kamar dulu. Kepalaku masih pusing, nih,” lanjutnya seraya berdiri. Senyumnya masih terkembang menampilkan lesung pipinya yang ... indah.
.
Aku masih belum memejamkan mata, padahal ini sudah hampir jam sepuluh malam. Di sampingku, Bik Santi sudah terlelap. Tenggorokan malah terasa kering. Aku turun dari ranjang, melangkah menuju dapur.
Aku mematung.
Punggung tegap itu sedang berdiri di depan meja kompor, dengan suara pisau yang beradu dengan talenan. Aku hendak berbalik, kembali ke kamar saja.
“Ra!”
Dia tersenyum.
“Bisa bantuin gak? Aku lapar, tadi tidak makan malam karena ketidura.” Dia terkekeh seraya menggaruk tengkuknya.
Aku menangguk.
“Biar Ira aja yang masakin, Mas. Ini mau buat nasi goreng, ya?” tebakku karena melihat sepiring nasi putih dan di dekatnya ada sosis, sayuran, serta kecap.
Mas Arya mengangguk, kemudian melepas aproon berwarna pink yang tadi dikenakannya. Menyerahkannya padaku.
“Aku nungguin sambil duduk, ya, Ra?”
“Iya, Mas.”
Hanya butuh waktu lima menit, sepiring nasi goreng telah terhidang di meja yang kecil yang terdapat di dapur. Segelas air putih hangat juga kuasongkan di depan Mas Arya.
“Makasih, Ra,” ucapnya.
“Ya, Mas. Ira mau balik lagi ke kamar,” pamitku seraya memegang segelas air putih.
“Mmm ... bisa temani dulu sebentar, Ra?”
Aku ragu.
“Ayolah.”
Entah magnet apa yang dimiliki Mas Arya, aku mau saja menuruti permintaannya.
“Enak, Ra.” Dia berkata sambil mengunyah. Aku tersenyum, pujian sederhana yang cukup untuk membuat hatiku berbunga-bunga.
.
[Kak, Nay mau ketemu. Bisa ke sini gak?]
Aku mengatakan isi chat yang dikirim oleh Nayla kepada Bik Santi. Dialah yang tahu apa yang terjadi di antara aku dan Mas Arya. Ah, sebenarnya tidak ada yang terjadi. Aku sama sekali tidak mau disebut menjalin hubungan, apalagi sampai disebut sebagai orang ketiga dalam pernikahan majikanku.
“Bibik, sih, gak masalah kalo Neng mau ngobrol sama Mbak Nay. Tapi, hati-hati saja, jangan samapi ada salah paham di antara kalian. Bibik tau siapa Mas Arya, dia gak mungkin berbohong tentang perasaannya sama kamu, Neng.”
Belaian tangan Bik Santi di kepalaku memberikan rasa damai. Mengapa sekarang aku merasa bersalah? Nayla pasti akan sangat kecewa jika tahu apa yang dikatakan Mas Arya kemarin.
[Ya, Nay. Kakak ke sana sekarang.]
[Kak Rendy yang jemput ke sana, Kak. Tungguin, ya.]
[Iya, Nay.]
Sejak bertemu di resepsi pernikahan Nayla dan Mas Arya waktu itu, Mas Rendy jadi rajin mengirim chat padaku. Hanya sekadar menyapa atau menanyakan kabar. Tidak lebih.
.
Nayla langsung mengajakku ke kamarnya seperti biasa. Wajahnya kini mulai terlihat ceria lagi.
“Kak, Nay sekarang ngerti dan yakin. Kenapa Mas Arya cuek sama Nay,” ujarnya sambil menatapku lekat.
Aku menautkan alis, berusaha membalas senyumannya.
“Maksud kamu gimana, Nay?”
“Kak ....”
“Hmm ....”
“Mas Arya ... sepertinya emang sayang sama ... Kak Ira.”
Deg!
“Wajahnya jangan pucet gitu, dong, Kak. Kayak lagi liat hantu aja,” ujarnya sambil terkekeh.
“Habis, kamu, sih, bicara kok aneh banget, Nay.”
Nayla meraih tanganku, menggenggamnya. Raut wajahnya kini menjadi serius.
“Kak, Nay yakin se ... yakin-yakinnya. Kak Arya suka sama Kak Ira. Nay sangat kenal Kak Arya, sejak kecil kami sudah dekat. Nay selalu nganggap Kak Arya sama dengan Kak Rendy. Tapi, sejak kami nikah, Kak Arya malah ngejauhin Nay.”
Nayla mengembuskan napasnya. Aku masih menunggunya melanjutkan curahan hatinya.
“Nay bisa liat cara Kak Arya natap Kak Ira. Waktu Nay jenguk ke apartemennya, Nay semakin yakin kalo dia suka, salah. Dia sayang sama Kak Ira. Makanya Nay suruh Kak Arya buat pulang ke rumahnya, mengatakan perasaannya sama Kak Ira.”
Tanganku terasa berkeringat. Ada kecemasan dan khawatir yang kurasakan kini. Kaget juga dengan apa yang dikatakan Nayla.
“Kak Ira mungkin gak percaya atau ngerasa gak mungkin. Tapi percaya, deh, ini yang sebenernya, Kak.”
“Nay, kalian ini suami istri. Jangan saling menyakiti dengan cara begini. Janji kalian yang diucapkan di depan penghulu itu bukan sesuatu yang bisa dianggap bercanda. Bagaimana pun perasaan Mas Arya, kalian harus berjuang dan saling mempertahankan pernikahan ini, Nay.”
Nayla menggeleng.
“Gak, Kak. Itu gak mungkin. Kami pasti akan bercerai, hanya menunggu waktu saja. Mungkin tidak akan lama lagi. Kak Ira jangan khawatir, Nay sama sekali gak marah atau benci karna Kak Arya suka sama Kak Ira. Dia ... tulus, Kak.”
Aku menunduk.
Apa yang sebenarnya kurasa sekarang?
Apakah aku ini pelakor?
Semoga saja bukan. Aku sama sekali tidak berpikir apalagi berniat menjadi pemisah Nayla dan Mas Arya. Kalau memang mereka hanya merasakan perasaan sebagai kakak adik saja, mengapa harus sampai mengucap ijab kabul yang sakral itu? Aku benar-benar merasa terjebak.
.
“Makasih, Mas,” ucapku pada Mas Rendy setelah kami sampai di rumah Bu Widya. Aku kemudian turun sambil tersenyum.
Ketika sampai di teras, aku baru menyadari ternyata ada Mas Arya yang berdiri di dekat pintu.
“Dari mana, Ra?”
“Dari rumah Nay, Mas?”
“Tadi diantar Rendy?” Aku mengangguk.
“Jangan terlalu deket sama dia, Ra.”
Langkahku berhenti saat melewatinya. Dia melangkah mendekat, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
“Dia ... cuma nganter dan jemput Ira ke rumahnya, Mas.”
Kenapa aku harus menjelaskan hal itu? Bukankah Mas Arya tidak bertanya?
“Ira masuk dulu, Mas.”
Gegas aku masuk ke dalam rumah. Perasaanku mengatakan, dia masih menatap ke arahku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments