NovelToon NovelToon

Pahlawanku Cintaku

Part 1

#BAWA_AKU_BERSAMAMU

Part 1

Aku baru saja selesai menunaikan salat Zuhur, saat ponsel di tas berdering. Ternyata Mang Tardi yang menelepon.

“Ra, kamu pulang sekarang, ya!” kata Mang Tardi terdengar panik di seberang telepon.

“Ada apa, Mang?” tanyaku, perasaan ini jadi tidak enak.

“Apa Bapak sakit lagi, Mang?” tukasku, curiga sekaligus cemas.

“Maaf, mamang tidak bicara di telepon. Pokoknya kamu pulang sekarang, Ra.”

“Baik, Mang.” Ku tutup telepon.

Dengan langkah tergesa dan jantung yang berdegup kencang, kuketuk pintu ruang personalia. Setelah dipersilahkan masuk, kubuka pintu perlahan.

“Maaf, Bu. Saya mau minta ijin pulang cepat,” ucapku ragu saat mengutarakan niat kedatangan ke ruangannya. Karena ini baru jam istirahat makan siang.

“Memangnya ada apa? Kamu sakit, Ra?” Bu Tuti terlihat heran karena tidak biasanya aku pulang sebelum waktunya.

“Enggak, Bu. Tapi Mamang saya baru saja menelepon, menyuruh saya pulang sekarang juga. Sepertinya Bapak saya sakit, Bu,” jelasku.

“Baiklah, silahkan saja kalau memang mendesak,” jawabnya tersenyum ramah.

“Terima kasih, Bu.” Aku pun pamit dan bergegas pulang.

.

Satu jam perjalanan yang kutempuh terasa amat lama.

Hingga akhirnya angkot yang kutumpangi berhenti di seberang rumah. Akupun turun.

Deg!

Kakiku lemas, pandangan mengabur. Mengapa banyak orang di rumah? Apa itu bendera kuning?

Mamang berlari ke arahku. Tapi mengapa aku tak bisa menggerakkan lagi kaki? Seolah tertancap begitu saja. Tubuh kaku, tak bergerak.

Rasa sakit terasa merenggut kekuatan untuk tegak berdiri.

Aku limbung. Gelap semua.

“Ra, bangun, Nak,” isakan kudengar saat mengerjapkan mata, bersamaan dengan aroma kayu putih yang menyengat.

Bi Asih terisak disampingku, mengelus kepala. Samar terdengar suara orang-orang mengaji di luar kamar.

“Ra, bapakmu sudah berpulang. Sabar ya, Sayang.”

Jleb!

Innalillahi ... Yaa Rabb!

Air mata langsung mengalir deras. Dada terasa sangat sesak. Aku segera bangkit, tak peduli dengan kepala yang pusing.

Luruhlah air mata, lemas setiap sendiku.

Bapak ... terbaring kaku di tengah rumah, tertutup kain hijau. Bi Asih memelukku, mengusap punggung di sela isak tangisku yang menjadi.

Bapak, satu-satunya orang paling berharga dalam hidupku. Telah pergi.

***

Hari sudah beranjak senja ketika semua proses pemakaman Bapak selesai. Mata menerawang langit yang mulai jingga. Duduk di kursi teras, ditemani sesal tiada tara.

“Ra, kamu sudah makan?” Mamang duduk di sebelah. Aku hanya menggeleng.

"Mang, sebenarnya apa yang terjadi dengan Bapak?" Kutatatap wajah saudara kandung Bapak satu-satunya itu.

Menunggu jawabannya.

Mang Tardi menghela napas berat.

"Waktu istirahat Duhur, mamang sama bibimu ke sini niatnya mau nengokin bapakmu. Mamang heran karena bapakmu tidak juga membuka pintu. Waktu masuk ke kamar, bapakmu tertidur di kasur, masih memakai sarung. Kami kira bapakmu hanya pingsan, karena tubuhnya masih hangat. Bibimu memanggil mantri. Tapi ternyata ...." Suaranya tercekat. Mamang mendongak, menahan air mata yang siap meluncur.

Aku tak bisa menahan isak.

"Berarti tidak ada siapapun saat Bapak sakaratul, Mang?"

Oh Allah, ampunilah hamba-Mu ini yang lalai menjaga orang yang teramat berharga dalam hidupku.

"Kenapa mamang datang terlambat? Maafkan mamang, Ra."Sesal begitu kentara di matanya yang memerah.

"Enggak, Mang, Ira yang salah. Seharusnya Ira yang menyesal tidak menemani di saat-saat terakhir Bapak." Aku menutup wajah yang dipenuhi air mata.

"Kamu yang sabar, ya, Ra. Kamu harus kuat. Masih ada mamang dan bibimu. kalau ada apa-apa jangan sungkan beritahu kami,ya?"

"Terima kasih, Mang."

****

Aku tidak bisa ijin terlalu lama. Hari ketiga setelah kepergian Bapak, aku mulai kembali bekerja. Selanjutnya pulang-pergi setiap hari sampai empat puluh hari Bapak.

--------

Tiga bulan telah berlalu.

Sekarang di sinilah aku, terpengkur di samping nisan Ibu dan Bapak. Hanya do'a tanda kasihku dan mengunjungi peristirahatannya sebagai obat rindu yang tak pernah surut.

Aku kembali terbiasa pulang sebulan sekali, setiap kali gajian. Hari ini adalah hari pertama libur panjang sebelum lebaran. Seminggu lagi Idul Fitri datang. Entah akan seperti apa lebaran kali ini.

Setelah sahur yang ditemani air mata dan kesunyian,aku bergegas ke kamar mandi untuk sholat subuh. Setelahnya, membersihkan rumah yang hanya dihuni oleh debu dan kekosongan.

Hari masih pagi, ketika ada yang mengetuk pintu tanpa henti.

Tok, tok, tok !

Aku taruh sapu yang sedari tadi kuayunkan.

Kulepas sapu yang sedari tadi diayunkan. Berjalan, kemudian membuka pintu, dan ....

“Juragan Dasim?” Aku heran. Ada perlu apa teman Bapak itu datang ke rumah pagi-pagi seperti ini.

“Boleh saya masuk, Ra?”

“I-iya, silahkan juragan.” Kubuka pintu lebih lebar.

Setelah duduk di kursi, langsung saja kutanyakan maksud kedatangannya.

“Sebenarnya, ada perlu apa Juragan pagi-pagi ke sini?”

“Saya ingin memberikan ini,” katanya sambil menyodorkan sebuah map ke hadapanku.

Kubaca setiap kata di kertas yang membuatku kaget sekaligus bingung.

“Jadi Bapak saya punya utang sama Juragan?” tanyaku, ingin memperjelas.

“Iya. Hari ini adalah jatuh tempo utang bapakmu.” Dia menyeringai, membuatku semakin bergidik.

“Kenapa selama tiga bulan ini Juragan tidak menagih kepada saya?”

“Kalau saya tagih, saya tidak bisa menyita jaminannya atuh,” selorohnya, semakin lebar saja senyum liciknya. Astaghfirullah.

“Jadi, Juragan akan menyita rumah ini hari ini juga?”

“Oh tidak. Saya tidak butuh rumah butut ini. Sebagai ganti jaminannya, kamu yang saya sita, Ira.”

Aku sontak menutup mulut. Segera kuperlihatkan surat perjanjian utang kepadanya.

“Tapi di sini kan jaminannya rumah ini?”

“Coba lihat catatan tambahan paling bawah di surat itu”. Dia menunjuk pojok bawah kertas.

‘Jaminan bisa berubah sesuai dengan kondisi dan waktu yang tidak terduga’

“ Sudah, gak usah bertele-tele. Sekarang juga kamu ikut saja.”

Juragan Dasim merebut kertas yang sedari tadi kupegang dengan gemetar.

“Tapi ....”

Belum sempat aku kembali bertanya. Tiba-tiba masuk dua orang yang kukira anak buah Juragan Dasim. Mereka segera mencengkram kedua tanganku, sesuai perintah Juragan mereka.

Aku terus berusaha meronta, melepaskan tangan dari dua orang yang bertubuh tinggi itu. Mencoba memelas bantuan kepada para tetangga yang keluar rumah mereka, melihatku yang diseret. Tapi mereka hanya berdiam, tak berani mendekat.

Hanya tatapan iba yang mereka tampakkan.

Oh Allah .... Cobaan apa ini?

Sabarkan, kuatkan hamba-Mu ini, yaa Rabb ....

Di sinilah aku sekarang. Sebuah kamar di dalam rumah Juragan Dasim.

Ke mana Mang Tahdi dan Bi Asih saat aku sangat membutuhkan pertolongan mereka. HP- ku ... tertinggal di rumah. Tak ada satu barang pun yang bisa kubawa.

Sementara di luar kamar, beberapa orang anak buahnya Juragan Dasim berjaga.

Ku tempelkan telinga ke pintu. Mencoba mencuri dengar, apa yang mereka bicarakan.

___

Part 2

Part 2

‘Katanya Juragan akan menikahi si Ira nanti malam selepas taraweh, Ja.’

Air mataku meluncur deras di pipi, sembari tangan menahan isak. Tubuh terasa lemas dan jantung yang berdebar kencang. Takut. Tolonglah hamba, yaa Allah ... tiada daya upaya aku tanpa pertolongan dari- Mu.

.

Kudengar kunci dbuka dari luar. Aku segera kembali duduk di pinggir ranjang.

Krek!

Pintu terbuka. Nampak seorang wanita muda dengan perut yang hamil besar.

Dia meletakkan sebuah nampan berisi segelas air dan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.

Tanpa menoleh, dia segera beranjak. Namun, segera kupegang tangannya sebelum membalikkan badan.

“Maaf, Teh. Boleh saya bertanya sesuatu?” Dia akhirnya menghampiriku, dengan wajah datar.

“Teteh ini siapanya Juragan Dasim?” tanyaku dengan hati-hati.

“Saya istrinya, istri ketiganya,” jawabnya, tetap dengan wajah datar, melihatku sekilas. Aku terkejut. Tapi segera kusembunyikan.

Takut ia tersinggung.

Memberanikan diri meminta bantuannya.

“Bisakah Teteh membantu saya keluar dari sini? Saya tidak mau dinikahi Juragan Dasim, Teh.” Aku mengiba, memegang tangannya.

“Tidak bisa,” ketusnya dan segera menepis tanganku. Berjalan cepat menuju pintu, dan menguncinya kembali dari luar.

Aku berusaha menahan tangis. Meredam setiap tanya. Pada Bapak.

Hanyalah do’a yang kupunya, berharapa Allah menurunkan keajaiban padaku saat ini.

Suara adzan Zuhur terdengar, aku masih menjaga puasa. Meski letih di badan menyerang, dan tenggorokan terasa sangat kering, aku bertekad untuk berusaha kuat.

Laa Haula.

Pintu kembali dibuka dari luar, wanita tadi kembali menghampiri.

“Ayo keluar, Juragan memanggilmu,” ajaknya. Dia mengantarku ke tengah rumah, aku terus mengekor.

Kulihat ada dua orang berseragam polisi tengah duduk, di sampingnya seorang pria berjas yang berhadapan langsung dengan Juragan Dasim.

“Duduk!”Juragan Dasim menarik tanganku, hingga terduduk di sampingnya.

“Begini Pak Arya, saya kan sudah bilang ini tidak ada hubungannya dengan pabrik. Ini murni urusan pribadi saya.” Juragan Dasim terlihat gugup bicara dengan pria di depannya itu.

“Saya bukannya mau ikut campur urusan pak Dasim. Tapi ini sudah menimbulkan kegaduhan yang membawa-bawa nama perusahaan saya. Mau tidak mau saya harus turun tangan.”

Pria itu tampak tegas, kuberanikan diri mengangkat kepala, melihat ke arahnya. Subhanallah .... Tampan dan gagah sekali.

Astaghfirullah. Segera kutundukkan kembali kepala. Sekilas ia pun melirik ke arahku.

“Apakah pak Arya tahu, kalau saya ada perjanjian tertulis dengan Papi anda? Bahwa beliau tidak bisa menyentuh ranah pribadi saya?”

“Saya tahu. Tapi sekarang bukan Papi lagi yang berwenang atas pabrik.” Ia menyodorkan selembar kertas.

“Mulai sekarang, sayalah direktur perusahaan. Semua perjanjian yang melibatkan Papi sebagai direktur, tidak berlaku lagi,” jawabnya dengan tenang, tanpa emosi dia melanjutkan serangannya.

“Saya tahu Pak Dasim sudah menyalahgunakan wewenang dengan menyuruh para karyawan pabrik menjadi anak buah Bapak selama ini. Tidak ketinggalan dengan penggelapan dana perusahaan yang Bapak lakukan juga, sudah saya selidiki.”

Juragan Dasim nampak gemetar dan wajahnya pucat pasi. Dia terdiam, meremas jemarinya.

“Kalau Bapak masih mau bekerja dengan saya, hentikan semua ulah Bapak ini.

Termasuk adanya laporan penculikan wanita yang dilaporkan warga ke kantor polisi.”

Pria itu berdiri tanpa menunggu jawaban Juragan Dasim.

“Baik, Pak. Tapi urusan dengan wanita ini biar saya selesaikan sendiri,” gugup Juragan Dasim, tampak ia masih mencari jalan untuk menahanku.

Hatiku ‘tak henti berdoa. Mungkinkah harus kucoba cara yang ... meski mustahil?

Bismillah.

“Juragan, saya mohon izinkan saya berbicara sebentar saja dengan ... Pak Arya,” cicitku ragu, dengan wajah memohon.

Juragan Dasim yang masih mengurut keningnya seraya memegangi kertas yang tadi diberikan oleh Pak Arya, akhirnya mengangguk tanpa menolehku.

Alhamdulillah. Semoga Engkau menolongku, Yaa Allah.

***

Ketika sudah berada di dekat mobil, aku memberanikan diri memanggil namanya. Meski kutahu, dia sama sekali tidak mengenalku.

“Pak Arya, maaf ...,” seruku. Ia menoleh, urung membuka pintu mobilnya.

Aku kembali menunduk, menelan saliva dengan berat.

Berjalan mendekatinya.

“Maaf, Pak. Kalau boleh saya mohon tolong saya.” Air mata tanpa permisi luruh di pipi, meski telah berusaha kutahan.

“Saya tidak ada urusan dengan Anda,” ketusnya.

Refleks tanganku memegang tangan kekarnya ketika ia hendak membuka pintu mobilnya kembali. Segera kulepas setelah ia membalikan tubuhnya, melihatku.

“Maaf, hanya Bapak harapan saya satu-satunya. Saya tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa membantu saya,” lirihku suara semakin bergetar, air mata secepatnya kuhapus. Dia bergeming.

“Tolong, bawa saya dari sini.”Aku mengiba. Entah apa yang kufikirkan, kata-kata itu lolos begitu saja. Dia menatapku.

Terdiam sesaat.

“Kamu kalau ikut saya paling jadi pembantu saya. Mau?” Akhirnya ia bersuara.

“Tidak apa- apa, Pak. Saya bersedia. Asalkan saya tidak dinikahi jadi istri keempatnya Juragan Dasim,” jawabku dengan memandang penuh harap padanya.

Aku tidak memiliki pilihan lain agar bisa selamat dari sini. Mungkin bila Pak Arya yang membawaku, Juragan Dasim ‘tak kan berani melawannya.

Yaa Allah, semoga ini jalan yang benar. Lindungilah aku selalu.

“Baiklah, tunggu di sini.” Dia kembali masuk ke dalam rumah Juragan Dasim.

Aku menghela nafas.

Dari pintu kemudi mobil, kulihat seorang pria yang juga berstelan rapi keluar sambil berbicara di telepon. Dia membelakangiku.

****

“Kamu boleh ikut saya. Tapi perihal utang-piutangmu dengan Pak Dasim nanti harus kamu selesaikan sendiri,” kata Pak Arya, ternyata dia sudah berada di sampingku.

Pria yang sepertinya seumuran dengan pak Arya menghampiri kami. Memasukkan telepon genggamannya ke dalam saku.

“Ar, maaf aku tidak bisa pulang ke Jakarta sekarang. Saudaraku yang ada di sini katanya sakit. Kamu gak apa-apa kan nyetir sendiri?”

“ It’s oke.” Pak Arya datar menanggapinya.

“Sorry, ya, Bro”. Ia menepuk bahu Pak Arya, tersenyum ke arahku. Kemudian berlalu.

Pak Arya segera memutari depan mobil, masuk ke dalam. Aku masih termenung. Bingung.

“ Ayo masuk,” perintah Pak Arya membuka kaca pintu mobil dan melongok ke arahku.

Mungkin karena ku masih saja berdiri mematung.

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa buka pintunya,” sahutku, menggaruk tengkuk yang ‘tak gatal. Malu.

Biasanya aku hanya naik angkot, tinggal masuk di bangku belakang tanpa harus membuka pintunya.

Pak Arya hanya menggeleng. Mungkin aneh baginya.

Dia keluar lagi dari dalam mobilnya dan membukakan pintu penumpang bagian depan. Aku mengangguk dan masuk.

Mesin mobil baru saja dinyalakan. Tapi aku segera berdehem.

“Hmm ... maaf, Pak. Bisakah kita mampir dulu ke rumah saya? Barang-barang saya masih di sana,” kataku ragu.

Meski teramat sungkan, tapi mau bagaimana lagi. HP dan pakaianku harus diambil terlebih dahulu ke rumah. Dia hanya mendengkus. Mungkin kesal.

‘Udah ditolong, ngerepotin lagi.’

Mungkin seperti itu batin Pak Arya.

Part 3

Part 3

POV Arya

Kuketuk pintu ruang kerja papi.

“Masuk!”

Suara Papi terdengar dari dalam. Ternyata Papi sedang berbicara di telepon.

Tapi tunggu, kenapa Papi tampak menahan amarah? Wajahnya nampak memerah dengan rahang mengeras, sedangkan tangannya mengepal di atas meja kerjanya.

Telepon pun diakhiri.

“Ini berkas yang Papi minta.” Kusodorkan map tebal ke hadapannya.

“Duduk, Ar!” perintah Papi, tanpa melepaskan pandangannya dari berkas yang kuberikan.

Papi memijit keningnya, tampak frustasi. Tidak biasanya beliau sepagi ini mengurus laporan, di rumah lagi.

“Ada apa, Pi?” tanyaku, ingin terobati penasaran. Kuamati terus wajah pria yang paling kuhormati itu.

“ Kamu tahu kan kalau ini adalah laporan keuangan dari pabrik cabang kita yang ada di Sumedang?”

Aku hanya mengangguk. Menunggu penjelasan selanjutnya.

“Di laporan ini, banyak sekali kejanggalan yang baru papi sadari. Selama ini papi tidak terlalu peduli dengan setiap laporan yang papi terima. Pak Dasim kepercayaan papi yang mengurus pengelolaan pabrik, sepertinya melakukan kecurangan”.

Aku masih belum berkomentar.

“Belum selesai penyelidikan papi tentang laporan keuangan pabrik, dia sudah membuat ulah yang lain. Baru saja ada telepon dari salah satu karyawan di sana, kalau pak Dasim menculik dan memaksa menikahi gadis yatim piatu,” ungkap Papi seraya mengusap kasar wajahnya. Tampak sekali kekesalan di matanya.

“Lalu, kenapa Papi tidak pecat saja dia, lalu laporkan ke polisi?” Aku mencoba memberikannya solusi.

“Tidak semudah itu, Ar. Masalah penggelapan dana masih butuh bukti yang lebih kuat. Apalagi masalah penculikan. Papi gak bisa ikut campur. Karena itu termasuk urusan pribadinya. Dulu papi pernah membuat surat perjanjian dengannya.”

“Sekarang apa jalan keluarnya, Pi?”

“Kita akan terus menyelidiki masalah penggelapan dana sampai nanti ada bukti kuat yang bisa menjeratnya. Sedangkan untuk penyelesaian masalah penculikan hanya ada satu cara.”

“Apa itu, Pi?”

“Kamu gantikan posisi papi.”

“Maksudnya bagaimana, Pi?” Aku belum mengerti.

“Kamu jadi direktur utama, gantikan papi sekarang juga. Semua perjanjian yang dulu papi tanda tangani hanya berlaku selama papi menjabat direktur utama perusahaan. Kalau papi sudah diganti, otomatis semua perjanjian itu tidak berlaku lagi.”

Aku mengangguk tanda mengerti.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang, Pi?”

“Kamu sekarang berangkat ke Sumedang. Papi akan suruh asisten papi untuk menyiapkan semua dokumen yang kamu butuhkan. Rendy akan menemani kamu nanti, dia cukup tahu tentang Pak Dasim dan keadaan pabrik di sana.”

“Baik, Pi. Aku akan bersiap-siap.” Aku beranjak dari kursi.

“Satu lagi, Ar. Dasim itu sudah punya tiga istri, kalau gadis yang akan dinikahinya itu dipaksa dan diancam Dasim, ajak dia pulang ke rumah.”

Aku mengerutkan alis, sedikit bingung dengan perintah terakhir Papi. Namun, tak urung juga aku pun mengangguk.

****

Hampir empat jam perjalanan yang aku tempuh. Selama itu pula kukumpulkan informasi terkait siapa Dasim sebenarnya. Bertahun- tahun ia menjadi orang kepercayaan Papi, mengelola pabrik yang berskala sedang di kampung halamannya.

“ Memangnya kamu belum pernah datang ke pabrik cabang ini, Ar?”

Rendy yang sedang mengemudi menolehku sejenak.

“Belum, Selama ini aku fokus mengurus pabrik cabang di Jakarta dan Tangerang. Pabrik-pabrik cabang yang ada di daerah biasanya papi percayakan ke orang asli

setempat.”

Aku masih fokus mengamati setiap lembaran yang ada di tangan.

Mobil mulai memasuki jalanan kampung yang cukup bergelombang dan banyak lubang. Tepat di halaman yang luas, mobil pun berhenti.

Sebelum membuka pintu mobil, Randy tampak mengamati wajah orang- orang yang berada di teras rumah besar itu.

“Kayaknya itu semua orang yang di sana, karyawan pabrik, Ar.” Matanya masih fokus.

“Kalau benar, berarti Pak Dasim menyalah gunakan wewenang, Ren.” Aku pun ikut melihat seksama beberapa orang di depan.

Selain mobil kami yang terparkir, ada satu mobil polisi yang juga sudah ada di sana.Beberapa pria menghampiri kami, saat turun dari mobil.

“Pak Dasimnya ada?” Rendy langsung bertanya kepada salah satu orang yang sepertinya mengenali wajahnya.

“Ada. Sebentar saya beritahukan kedatangan Bapak.”

Pria itu mengangguk dengan sopan kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.

____

Saat kami masuk, tampak pria paruh baya yang Rendy tunjuk sebagai Dasim itu sedang berbincang dengan dua polisi. Sepertinya sudah ada laporan penculikan masuk ke kantor polisi.

Kami pun dipersilahkan duduk. Rendy mengenalkanku pada pak Dasim, dia tampak sangat terkejut.

“ Ada perlu apa pak Arya jauh- jauh datang ke sini?” Terlihat dia menyembunyikan kegugupannya.

Tak lantas ku jawab. Aku hanya tersenyum dengan tenang. Aku malah coba bertanya kepada dua orang polisi tentang keperluan mereka. Ternyata benar, ada salah satu warga yang melaporkan bahwa saudaranya telah diculik oleh Pak Dasim.

Setelah mendengar penjelasan kedua polisi tadi, Rendy pamit akan menunggu di mobil. Mungkin enggan terlibat lebih jauh.

Kedua polisi itu meminta pak Dasim untuk menghadirkan gadis yang disinyalir sebagai korban penculikan. Mereka ingin memastikan kondisi korban.

Aku sedang membuka ponsel, ketika pak Dasim menyuruh seseorang untuk duduk di sampingnya. Aku hanya menoleh sekilas seorang wanita berjilbab hitam yang tertunduk itu.

“Begini Pak Arya, saya kan sudah bilang ini urusan pribadi saya. Tidak ada hubungannya dengan pabrik.” Seperti yang sudah diperkirakan, ia pasti akan memakai dalih itu.

“Saya bukannya mau ikut campur urusan Pak Dasim. Tapi ini sudah menimbulkan kegaduhan nyang membawa-bawa nama perusahaan saya. Mau tidak mau saya harus turun tangan.” Dengan tenang kupancing ia agar membawa nama Papi.

Ketika mengalihkan pandangan dari pria culas itu, tak sengaja mataku menangkap wajah wanita yang disebut pak Dasim sebagai calon istrinya itu.

Manis, wajahnya teduh meski sembab oleh jejak tangisan. Matanya membulat saat netra kami bertemu, segera ia menunduk menembunyikan wajahnya.

___

Setelah berdebat beberapa kali dan menyodorkan dokumen yang menegaskan posisiku sebagai pengganti Papi, aku segera berdiri dan pamit. Pak Dasim tampak memucat mendengar ancamanku. Dia tidak berani menatapku. Dia pikir bisa membuatku percaya dengan segala alasannya. Skakmat.

Aku berjalan menuju mobil yang terparkir. Tiba- tiba seseorang memanggil namaku dan datang menghampiri.

“Pak Arya, ma’af ....”

Aku menoleh. Mendapati seorang gadis yang tadi berada di dalam rumah.

“Ma’af, Pak, kalau boleh saya mohon tolong saya,” katanya dengan suara bergetar, menahan isak.

“Saya tidak ada urusan dengan Anda, ma’af.”

Sebelum meraih pintu mobil, ‘tak diduga tangannya yang dingin mencekal tanganku. Membuatku membalikkan badan, menatap wajahnya.

“Maaf.”

Segera ia lepaskan pegangannya.

“Hanya Bapak harapan saya satu-satunya. Saya tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa membantu saya.” Ia terisak. Kasihan, tapi aku masih bergeming.

“Tolong bawa saya dari sini.” Ia semakin memelas. Tak tega, akhirnya kubuka suara, ingat pesan Papi sebelum berangkat tadi.

“Kamu kalau ikut saya paling jadi pembantu saya. Kamu mau?” Hanya itu yang terlintas dan kutawarkan padanya.

“Tidak apa- apa, Pak. Saya bersedia, asalkan saya tidak dijadikan istri keempatnya Juragan Dasim.”

Hatiku kian iba mendengar ia terus memelas. Sesekali ia mengusap sudut matanya yang berair.

“Baiklah, tunggu di sini.”

Aku pun kembali masuk ke dalam rumah pria tua tak tahu malu itu.

“Pak Dasim, berapa utang yang harus dibayar oleh gadis itu?”

Aku langsung mencecarnya, ia tampak sangat terkejut.

“Maksudnya apa, Pak?”

Mungkin ia tak mengira bahwa aku sudah tahu dia seorang rentenir. Di kampungnya ini. Pastilah karena utang juga yang membuat gadis itu dipaksanya menikah.

“Sebutkan saja angkanya.” Kukeluarkan cek dari dalam saku jas. Tanpa harus menjawab pertanyaannya.

“ Li- lima puluh juta.” Suaranya gugup. Mukanya pias sambil menunduk.

Kutulis angka yang tak seberapa itu, menyobeknya dan mengasongkannya pada laki-laki yang lebih tua dari Papi itu. Tangannya gemetar menerima kertas yang sudah ku isi tadi.

“Bukankah jatuh temponya hari ini?” Aku terus menyudutkannya.

“Jadi, jaminannya tidak bisa disita. Saya permisi.” Aku tersenyum sinis. Pria itu terpaku, menyadari mangsanya terlepas dari jeratan.

Aku keluar tanpa menoleh lagi ke arahnya.

Gadis itu masih berdiri di samping mobil. Tubuhnya tampak kurus. Ia hanya mengenakan sendal jepit karet, celana training, baju kaos lengan panjang dan jilbab yang tampak sudah lusuh. Kasihan.

Di dekat pintu kemudi, tampak Randy sedang berbicara di telepon membelakangi gadis itu.

“Kamu boleh ikut saya. Tapi perihal utang piutangmu dengan pak Dasim, nanti harus kamu selesaikan sensiri,” tegasku. Biarlah nanti saja kuberi tahu kalau utangnya sudah kulunasi.

“Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Pak.”

Dia tampak terharu dengan mata yang berbinar. Ini hanya naluri kemanusiaan yang membuatku bersedia menolongnya.

“Ar, maaf aku tidak bisa pulang ke Jakarta sekarang. Saudaraku yang ada di sini katanya sakit. Kamu gak apa- apa kan nyetir sendiri?”

“ It’ s oke.” Aku santai menanggapinya.

“ Sorry, ya, Bro” Rendy menepuk bahu, tersenyum ke arah wanita di sampingku. Kemudian ia pun berlalu.

Aku segera masuk, duduk di belakang kemudi, tapi kenapa gadis itu diam saja? Bukannya cepat masuk. Ku buka kaca pintu mobil, melongokkan kepala.

“ Ayo masuk!” Aku berseru.

“Maaf, Pak. Saya tidak bisa buka pintu mobilnya.”

Ia sepertinya malu, nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tertutup jilbab.

Yassalaam ... masa iya, tidak pernah naik mobil? Aneh.

Akhirnya aku pun keluar, memutar depan mobil dan membukakan pintu untuknya. ‘Silahkan, Tuan Puteri’ dalam hati. Kok, malah jadi romantis, sih? Eh.

Baru saja duduk dan memasang sabuk pengaman, dia berdehem.

“Hmm ... maaf, Pak. Barang-barang saya masih ada di rumah. Kalau bisa nanti mampir dulu ke rumah.” Ia tampak ragu meminta.

Belum juga jalan, sudah minta mampir. Aku hanya mengembuskan napas kasar.

___

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!