Pov Arya
Mobil perlahan meninggalkan halaman luas rumah Pak Dasim yang asri. Mulai menapaki jalanan kampung yang berlubang di sana-sini. Hanya berjarak sekitar seartus meter saja, wanita yang duduk di sebelahku mengarahkan mobil untuk menepi di pinggir jalan. Wanita muda yang kutahu namanya Ira itu, akhirnya turun dari mobil sedang aku memutuskan untuk menunggunya saja di dalam.
Terlihat dia melangkah membuka pagar kayu sebuah rumah sederhana yang tepat berada di samping tempat berhentinya mobil. Ia masuk ke dalam rumah.
------
Teringat akan Papi yang belum kukabari sejak tadi, segera ku raih ponsel dan menekan layar untuk melakukan panggilan kepada orang yang telah memerintahkan keberangkatanku kemari. Telepon pun tersambung.
“Halo, Ar. Gimana kamu sudah selesai membereskan masalah di sana?” Papi langsung meminta laporanku.
“Alhamdulillah sudah, Pi. Pak Dasim tidak bisa lagi mengelak dengan dokumen yang tadi Papi kasih.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Lalu, bagaimana dengan nasib gadis yang akan dinikahinya itu?” Aku kira Papi hanya akan menanyakan keadaan Pak Dasim saja.
“Dia sepertinya memang dipaksa, Pi. Dia memelas untuk ikut aku ke Jakarta.”
“Seperti yang sudah papi kira. Karyawan itu memang tidak berbohong, bahwa Dasim memang sengaja menjebaknya dengan utang yang ditinggalkan orang tua gadis itu. Jadi, apakah kamu mengajaknya, Ar?”
“Sesuai dengan titah Papi tadi. Aku mengajaknya serta. Aku bilang, dia bisa menjadi pembantu di rumah kita.”
“Baiklah kalau begitu. Papi mau jemput mami kamu dulu.”
Sebelum Papi menutup sambungan, aku ingin bertanya terlebih dahulu tentang karyawan yang berani melaporkan perbuatan buruk Pak Dasim itu.
“Sebentar, Pi. Aku mau tahu cerita tentang cerita karyawan yang berani melaporkan pak Dasim itu.”
“Ceritanya panjang, Ar. Nanti saja di rumah papi ceritakan semuanya.”
“Baik, Pi.” Akhirnya telepon pun terputus.
Tidak lama setelah aku membuka beberapa chat di ponsel, Ira keluar dari dalam rumah. Ia menjinjing sebuah tas yang kutaksir berisi pakaiannya. Matanya terus saja memandangi setiap bagian rumah yang kini ia kunci pintunya itu. Aku merasakan kegetiran saat tangannya mengusap pipi yang basah oleh air mata. Tentu saja aku merasa kasihan.
Sebelum ia meminta, aku membukakan pintu penumpang dari dalam. Kemudian ia masuk dan duduk. Sekilas aku menoleh dan bertanya, “Sudah siap?” Dia hanya mengangguk.
Setelah starter ku tekan, aku kembali melihatnya sekilas. Pantas saja terasa berbeda, dia telah mengganti bajunya. Sebuah gamis anggun dan hijab yang kini kenakan.
Ketika mobil baru melaju perlahan, ia terlihat memutar badannya melihat ke belakang, menatap lekat ke arah rumah tadi yang bayangannya semakin mengecil. Aku merasa ada sesak yang ikut kurasakan. Pasti, aku juga manusia yang pernah merasakan pahitnya perpisahan.
***
Aku memang tidak hafal betul jalan yang harus dilewati, tapiu karena jalan ini tidak banyak memilki banyak persimpangan, aku tidak begitu kesulitan untuk mengingat jalan yang tadii aku lalui bersama Rendy.
Hanya keheningan yang menemani perjalanan kami. Aku sangat sungkan bila harus memulai percakapan, apalagi ini dengan orang yang baru kukenal.
Aku yang asyik berkonsentrasi dengan kemudi, tidak menyadari bila gadis di sampingku tengah tertidur. Ponsel bergetar, tertera nama Mami yang tengah menghubungi.
“Assalammualaikum, Mi?”
“Waalaikumsalam, Nak. Kamu sudah sampai mana?”
“Aku masih di Bandung, belum masuk tol, Mi.”
“Kata Papi, kamu membawa pulang gadis korban penculikan itu, Ar?”
“Ya, Mi.”
“Baguslah, kasihan dia. Kata papi kamu, dia yatim piatu. Lagipula kita juga sedang membutuhkan asisten di rumah, Ar.”
“Ya, Mi.”
“Nanti kalau sampai rumah, kamu gak usah suruh dia masak nyiapin buat buka, ya. Mami nanti beli aja di jalan sambil pulang.”
“Ya, Mi.” Aku hanya terus mengiyakan setiap titah Kanjeng Ratu di seberang telepon sana.
“Ya sudah, kamu hati-hati di jalan ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, Mi.” Kututup sambungan dan menoleh sekilas ke samping, ia masih terlelap.
***
Saat keluar gerbang tol ibukota, mobil disambut dengan kemacetan yang cukup panjang. Hampir tak bergerak kendaraan yang kami tumpangi ini. Para pengendara yang sama-sama ingin melaju membunyikan klakson mereka untuk berebut jalan.
Gadis berwajah polos tanpa sapuan make up itu terlihat menggeliat kecil, dan mengucek matanya.
“Sudah bangun?”
Aku coba mengurai sepi. Dia kembali hanya mengangguk, sambil membenahi jilbabnya. Melihat ke arahnya yang kini juga melihatku.
----
Setelah berjibaku dengan jalanan padat yang sulit ditembus, kini kami sudah memasuki kawasan perumahan. Gerbang yang dibuka mang Juki memberikan jalan bagi mobil memasuki rumah yang sedari kecil kutinggali.
Aku turun setelah mobil terparkir di depan garasi. Ira menyusul sambil menjijing tasnya.
“Ayo masuk!”
Aku mengajaknya setelah pintu terbuka. Ia tampak ragu atau mungkin takut, aku tak tahu. Sah-sah saja jika dia merasa demikian.
Aku mengantarnya menuju kamar belakang. Kamar yang biasa ditempati bik Santi. Aku juga menjelaskan bahwa Bik Santi sedang mudik.
Aku merasa sangat lelah, segera pergi ke kamar untuk membersihkan diri sekaligus beristirahat, sambil menunggu waktu berbuka.
___
Saat selesai mandi dan berganti pakaian, terdengar mami mengucap salam di pintu depan. Aku pun keluar menyambut kedatangan kedua orang tuaku.
“Kamu udah lama nyampe, Ar?” Mami berjalan ke arah dapur, dan aku pun mengekorinya.
“Baru aja, Mi. Kejebak macet tadi."
Aku berdiri di sampingnya yang kini tengah mengeluarkan beberapa bungkus makanan dan menaruhnya di meja kecil yang terletak di dapur.
“Sama, mami dan papi juga. Alhamdulillah gak kemagriban di jalan.” Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
“Oh iya, mana gadis yang kamu bawa itu?”
“Ada di kamarnya, Mi.”
“Siapa namanya?” Mami bertanya tanpa melihat ke arahku.
“Ira.”Jawabku datar.
“Arya ke kamar dulu, Mi,” pamitku.
----
Tak lama ketika baru saja menancapkan ponsel pada charger-an, azan Magrib pun menggema. Alhamdulillah.
Ketika turun ke ruang makan, Mami tengah berbincang dengan Ira yang kini telah memakai pakaian santai. Sepertinya ia menolak untuk berbuka dalam satu meja bersama kami. Mereka tidak menyadari kehadiranku, terutama Ira yang segera kembali menuju dapur tanpa menoleh ke arahku.
Aku langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Mami. Tak lama, Papi pun ikut bergabung duduk di meja makan. Setelah menikmati takjil, Mami dan Papi bersiap-siap untuk pergi taraweh ke masjid, sedangkan aku, merasa terlalu lelah untuk pergi bersama. Malam ini aku sepertinya harus tidur lebih cepat.
Sesampainya di kamar, aku segera membaringkan badan yang terasa pegal semua. Rasa penasaran sangat mengusikku. Tentang semua yang terjadi hari ini. Ahh, biar besok saja, kutanyakan pada Papi. Mataku akhirnya terpejam, menikmati saat istirahat yang sangat kubutuhkan.
***
Dering telepon membangunkanku. Kutengok jam digital di atas nakas menunjukkan pukul setengah sembilan. Ku raih ponsel dan segera kujawab panggilan masuk dari Rendy.
Rendy bertanya keadaanku dan semua yang terjadi di rumah Pak Dasim.
Kuceritakan semuanya. Termasuk Ira yang memang kubawa serta ke rumah.
“Ren, gue penasaran siapa karyawan pabrik yang di berani melaporkan kelakuan buruk Pak Dasim itu? Gue salut keberaniannya.”
“Gue juga belum tahu pasti. Tapi sepertinya papi kamu tahu semuanya, Ar. Termasuk siapa warga kampung yang melaporkan penculikan itu.”
“Ya udah, nanti gue tanya papi langsung. Oh iya, jangan lupa kita akan terus selidiki sepak terjang Pak Tua itu, Ren.”
“Oke, Ar.”
Setelah menutup telepon, aku beranjak dari tempat tidur, tenggorokanku terasa kering. Menuruni tangga menuju dapur, terdengar Mami dan Papi yang berada di ruang makan.
“Kebetulan, Ar. Kita makan bareng, ya.”
Mami langsung menyodorkan piring ke arahku.
“Ma kasih, Mi.”
Aku pun menyambutnya, lalu segera kuraih air putih yang telah Mami siapkan di depanku.
“Tadinya Mami mau bangunin kamu, tapi gak tega. Ira juga sama, kayaknya ketiduran. Mami ketuk pintu kamarnya gak bangun-bangun. Ya sudah tak tinggal makan duluan aja sama papi.”
Mami bercerita sambil menuangkan lauk ke piringku. Aku hanya tersenyum.
‘Berarti dia belum makan, donk?’ Ishh, gak usah pikiran dia, kalau lapar kan nanti juga makan sendiri.
Aku hanya menggelengkan kepalaku.
___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments