Part 19

Part 19

Aku bergegas menuju gerbang saat terdengar suara klakson mobil, Nayla mengirim chat kalau sopirnya sudah menunggu di depan gerbang. Aku juga sudah meminta izin sama Bu Widya mau ke rumah Nayla.

“Pulangnya jangan malem-malem, ya, Ra?” pesannya saat tadi kutelepon.

Ketika keluar dari gerbang, aku tertegun.

Senyuman pria di malam resepsi Mas Arya kini menyambutku dengan berdiri di samping pintu mobilnya.

“Mas Rendy?”

Dia ‘kan kakaknya Nayla bukan sopir? Seakan mengerti dengan keherananku, dia langsung menyahut.

“Sopir gak tau alamat ini katanya, makanya aku yang jemput. Gak apa-apa ‘kan, Ra?”

“I-iya, Mas.”

“Ayo!”

Dia membukakan pintu mobil agar aku segera masuk ke jok penumpang. Aku tersenyum dan masuk. Mas Rendy langsung duduk dan menyalakan mesin mobil.

Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Dia terlihat fokus ke jalanan di depannya.

***

Mas Rendy memanggil Nayla saat kami memasuki rumah. Gadis yang memakai kaos dan celana jeans itu keluar dari kamarnya.

“Kak Ira, makasih udah mau dateng.”

“Sama-sama, Nay.”

“Kita ngobrol di kamar Nay aja, ya, Kak?”

Aku mengangguk sambil tersenyum.

“Kakak juga boleh ikut ngobrol gak, Nay?” celetuk Mas Rendy yang langsung mendapat cubitan di perut dari Nayla. Aku tersenyum melihat tingkah kakak beradik itu. Mas Rendy mengaduh sambil terkekeh.

Kami duduk di tepi ranjang tempat tidur Nayla yang bernuansa violet. Kamar yang luas dengan design minimalis nan cantik. Ada foto pernikahannya yang terpajang di atas nakas, aku melihatnya cukup lama. Memandangi dua wajah yang sedang berbahagia.

“Kak!”

Nayla menggenggam tanganku, membuatku memandang wajahnya yang kini terlihat sendu.

“Nay kenapa sebenarnya? Minta kak Ira ke sini pasti mau cerita, ‘kan?”

Dia mengangguk, wajah yang biasanya ceria itu menunduk.

“Nay?”

“Kak, Nay gak tau harus gimana sekarang.” Helaan napas kasar Nayla terdengar jelas. aku masih mendengarkan.

“Kak Arya kayaknya makin benci sama Nay. Tadinya Nay kira setelah nikah, Kak Arya bakal nerima dan sayang sama Nay.”

Aku menautkan alis, tidak mengerti dengan penuturan Nayla.

“Maksud Nay gimana? Kak Ira gak ngerti.”

Kini dia menatapku, matanya terlihat sendu.

“Sejak nikah Kak Arya belum sekali pun mau bertemu Nay. Cuma pas resepsi doank kita barengan, Kak.”

“Bukannya dia pindah ke rumah Nay, ‘kan?”

Dia menggeleng.

“Dia tinggal di apartemennya, Kak. Telepon dan chat Nay gak pernah dibales. Nay juga sekarang dikurung di rumah, gak dibolehin keluar sama Mama dan Papa. Nay juga berenti kuliah, Kak.”

Bukannya semakin jelas, aku malah semakin tidak mengerti. Ada apa dengan pernikahan mereka sebenarnya?

Aku tidak berani bertanya banyak hal, hanya menjadi pendengar Nayla yang mencurahkan rasa sepi dan bosannya setiap hari di rumah.

“Mas Rendy sesekali nemenin Nay di rumah, tapi dia gak asik. Kita malah jadi ribut kalo ngobrol, ngeledek lah, Nay malah jadi kesel kalo dia ada di rumah.”

Aku tersenyum mendengar penuturan Nayla.

“Kak Ira numpang salat Asar, ya, Nay?”

“Iya, Kak. Nay anter ke musola yang ada di bawah.”

Kami berjalan menuruni tangga, ada musola dekat dapur yang ternyata lumayan luas. Rumah mewah yang lengang, itu yang kulihat selama beberapa jam di sini. Hanya Nayla dan dua orang asisten rumah tangga. Mungkin sama Mas Rendy. Aku tidak lagi bertemu dengannya sejak tadi.

“Kak, kita ngemil dulu di depan, yuk!” ajak Nayla saat melihatku keluar dari musola.

Aku mengangguk dan mengekor di belakangnya menuju teras depan rumah. Kami duduk di kursi berbahan kayu yang mengkilap dan elegan. Ada empat kursi dan sebuah meja di depannya.

Seorang wanita berusia paruh baya menyuguhkan dua piring kue, kalau tidak salah namanya pastry atau ... entahlah. Dua cangkir teh hangat melengkapi juga.

“Makasih, Mbak,” ucapku dan Nayla bersamaan. Kami saling memandang, kemudian tergelak karena menyadari ketidaksengajaan ucapan kami.

“Ini namanya puff pastry, Kak. Cobain, enak deh.”

Aku mengangguk dan menerima piring yang diasongkan Nayla. Mencicip dan merasakan sensasi renyah dan rasa manis yang sangat pas.

“Huum, enak banget, Nay.”

Nayla tersenyum.

“Makasih, ya, Kak. Udah mau nemenin Nay sampai sore begini. Jangan kapok, ya, kalau Nay minta ditemenin lagi?”

“Sama-sama, Nay. Insya allah, Kak Ira ke sini lagi kapan-kapan kalau bisa mah.”

Kami mengobrol tentang banyak hal. Namun, satu yang belum juga dia ceritakan. Masalah sebenarnya tentang pernikahannya dan Mas Arya. Aku penasaran, tapi tidak mau ikut campur terlalu jauh, selain menjadi pendengar dan menenangkannya saat terlihat sedih.

“Mau pulang sekarang, Ra?”

Mas Rendy tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku.

“Aku sekalian mau keluar,” lanjutnya sebelum aku menjawab.

Kulihat jam yang melingkar di tangan. Sudah pukul lima sore.

“Ya, Mas. Ira pulang sekarang aja.”

“Tante Widya bisa khawatir kalo Kak Ira pulangnya kemaleman,’kan?” Nayla menyahut. Aku mengangguk dan langsung cipika cipiki berpamitan padanya.

***

“Makasih udah nemenin Nayla, Ra,” kata Mas Rendy saat kami berada di mobil.

“Iya, sama-sama, Mas.”

Dia tersenyum melirikku sekilas, kemudian kembali fokus pada kemudi.

Aku sedikit ragu mendekat ke arah dapur. Terdengar ada suara seseorang yang sedang mencuci piring. Tidak mungkin kalau itu Bu Widya, ‘kan?

Aku masih berdiri bingung. Punggung seorang wanita yang bertubuh subur memakai daster sederhana tengah membilas peralatan masak. Dia tidak menyadari kalau aku yang telah berdiri di belakangnya. Aku melangkah mendekat.

“Ibu ini siapa, ya?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya. Wanita dengan wajah bulat dan terbingkai kerudung itu tersenyum. Dia segera mengelap tangannya yang basah.

“Kamu pasti Ira, ya? Saya Bik Santi, Neng.”

Aku membuka mulut ber-oh. Segera kuraih tangannya dan mencium takzim.

“Udah lama dateng, Bik?”

“Tadi jam tiga, Neng. Kata ibu, Neng lagi ke rumah Mbak Nay, ya?”

Aku mengangguk. Ternyata dia juga kenal Nayla. Tentu saja, bukankah Nay juga sering bercerita tentang Bik Santi?

Kami kemudian masuk ke dalam kamar.

“Gak apa-apa ‘kan kalo nanti tidurnya seranjang sama bibik, Neng?” tanyanya seraya tersenyum. Dia benar-benar ramah. Sama seperti Bu Widya.

“Iya, gak apa-apa atuh, Bik. Ira malah seneng ada temennya sekarang.”

Kami berbagi cerita, saling bertanya tentang diri pribadi dan keluarga. Aku menceritakan bagaimana bisa sampai tinggal dan bekerja di rumah. Hingga Bik Santi berkata,” Mas Arya juga cerita tentang Neng ke bibik.” Aku mengatupkan mulut dan terdiam.

***

Rumah terasa hangat kembali karena kehadiran Bik Santi. Kami berbagi tugas pekerjaan, bahkan tidak jarang aku sering mengeluh karena wanita berusia lima puluh tahun itu seringkali mengambil alih tugasku.

“Neng istirahat dulu, biar bibik yang bereskan, ya?”

Dia membuatku betah di dekatnya. Tidur pun seringkali aku memeluknya. Membuatku seringkali terharu, karena mengingatkan pada Ibu. Rindu pada sosok wanita terhebatku itu sedikit terobati dengan kehadiran Bik Santi.

Ini sudah dua bulan pernikahan Nayla dan Mas Arya berjalan. Namun, setiap kali bercerita, Nayla selalu bilang kalau Mas Arya tetap tinggal di apartemennya. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya perasaan Nayla yang tidak diperlakukan layaknya seorang istri.

“Neng, anterin bubur ke apartemennya Mas Arya, ya? Katanya dia sakit.”

Aku ingin sekali menolak permintaan Bik Santi.

“Bibik agak kurang enak badan buat keluar, nanti Mang Harun anterin Neng, ya?”

“I-iya, Bik.”

Tidak enak rasanya untuk tidak menurut. Mang Harun adalah suami Bik Santi. Dia juga datang bersama Bik Santi. Namun, Mang Harun tinggal di kamar lain yang berada di samping garasi. Sikap dua suami dan istri itu benar-benar baik padaku. Aku jadi merasa dekat dengan Ibu dan Bapak.

***

Mang Harun mengantarku hingga ke depan unit Mas Arya. Kemudian kutekan bel, menunggu si empunya tempat keluar.

Wajah yang sudah dua bulan tidak kulihat itu kini menatapku. Dia tidak berkata apa-apa, hanya memandangku.

“I-ini buburnya, Mas. Bik Santi gak bisa anterin,” ujarku dengan terbata.

Entah mengapa debar jantungku terasa kencang dan ‘tak beraturan. Aku menundukkan wajah sambil mengasongkan sebuah kantong kain yang berisi setoples bubur.

Tangannya menyambut. Suaranya terdengar lemah, mungkin karena sedang sakit.

“Makasih, Ra.”

Aku mengangguk, dengan wajah masih tertunduk.

“Lihat aku, Ra.”

Kuangkat wajah dan melihat ke arahnya. Wajahnya terlihat pucat, rahang yang dulu selalu bersih, kini terlihat bercambang. Dadaku bergemuruh, saat senyum tipisnya tampak dipaksakan.

“Ira mau kembali ke mobil, Mang Harun udah nunggu,” pamitku. Namun, aku urung melangkah saat kurasakan tangan ini dicekalnya.

Aku melihat ke arah tangan kekar yang memegang tanganku.

“Maaf.”

Dia melepas tangannya.

“Ira pamit, Mas. Semoga cepat sembuh, assalamualaikum.”

Aku segera melangkah cepat meninggalkannya yang masih mematung di pintu unit. Dadaku kini terasa kembali sesak. Tatapan nanarnya sukses membuat hatiku terasa perih. Mungkin ini hanya rasa prihatin melihat kondisinya yang sakit.

***

“Mas Arya itu manja kalau lagi sakit, Neng. Jangan dipikirin,” ujar Bik Santi membuatku tersadar. Ah, kenapa aku jadi melamun tentang ... kenapa juga Bik Santi bisa tahu siapa yang sedang kupikirkan?

“Bibik tahu, kamu kepikiran Mas Arya, ‘kan, Neng?” Dia terkekeh seraya duduk di sampingku, di tepi ranjang kamar.

“Dia ... keliatannya emang suka sama kamu, Neng.”

Aneh, bukannya Bik Santi belum bertemu dengan Mas Arya? Karena suami Nayla itu belum sekali pun pulang ke rumah ini.

“Kata siapa, Bik? Itu ‘kan gak mungkin.”

Bik Santi tersenyum, menggenggam tangaanku.

“Bibik sangat kenal siapa Mas Arya. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaannya dari bibik, walaupun cuma lewat suaranya di telepon.”

Aku mengerti, mungkin Mas Arya dan Bik Santi saling menelepon.

“Bibik ngasuh Mas Arya dari bayi merah, Mbak Tasya dari umur dua taun. Ini pertama kalinya bibik pulang kampung lebih dari sebulan. Dulu, paling lama seminggu. Karna dua anak manja itu gak mau ditinggal lama-lama,” ungkap Bik Santi sambil terkekeh.

“Neng ....”

“Ya, Bik.”

“Mas Arya tidak menyukai Nayla sama sekali. Dia ... hanya suka sama kamu, Neng.”

Deg!

“Tapi ‘kan tetep saja, Mas Arya itu suaminya Nay. Harusnya dia bisa belajar dan berusaha sayang sama istrinya, ‘kan nanti jadi dosa. Lagipula, Ira juga tau diri, kok, Bik.”

Aku menunduk, rasa perih itu kini terasa kembali. Usapan lembut Bik Santi di kepala terasa menenangkan.

“Aku memang sayang sama kamu, Ra.”

Aku mengangkat wajah, seseorang kini berdiri tegap di pintu kamar.

“Mas Arya?”

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!