Part 11

Part 11

Pov Arya

Menikmati makan malam dalam suasana yang berbeda, setelah sekian lama. Makan malam di kursi rotan, teras dapur. Dengan piring yang berisi nasi sekaligus lauk, kuangkat dengan tangan kiri. Tangan kanan menyuapkan nasi dengan lahap.

Sementara Ira sepertinya keasyikan melihat aksi makanku.

“Belum pernah lihat orang makan, ya?” tegurku, membuatnya kaget. Kemudian dia perlahan menyantap makanan di piring yang dipegangnya.

Dia tampak risih makan berdua denganku. Lucu sekali.

“Mau Ira buatkan kopi, Mas?” tawarnya.

“Buatkan teh hangat saja,” jawabku sambil melihat ke arahnya yang beranjak menuju dapur.

Tidak lama, segelas teh yang masih mengepulkan asap terhidang di meja kecil dekatku.

“Ira permisi masuk ya, Mas,” pamitnya.

“Kamu sibuk? Kalau tidak, bisakah temani saya sebentar lagi?” pintaku.

Dia kembali duduk di kursi rotan yang hanya terhalang meja kecil di antara kami.

Hening.

Aku menatap ke arah halaman kecil yang ada di depan kami. Pikiran melayang, mengingat Salma yang kini telah benar-benar meninggalkanku. Ditambah lagi dengan sikap Nayla, anak dari rekan bisnis Papi yang tak sungkan mendekatiku saat silaturahmi di Bekasi tadi.

Salwa, mantan sekretaris pribadi sekaligus wanita yang sangat kucintai selama satu tahun ini. Dia seorang janda beranak satu, namun usianya dua tahun lebih muda dariku. Dia sangat dewasa, cantik, dan tentu saja smart.

Namun, hubunganku harus berakhir satu bulan yang lalu. Dia selalu merasa bahwa aku kurang perhatian padanya dan putrinya. Kemudian, semalam dia memberi kabar akan kembali rujuk dengan mantan suami yang sebelumnya dia benci.

Aku mencintainya, tapi tak ingin mengemis hanya untuk memintanya kembali. Meski harus merasa sakit, egoku terlalu tinggi untuk dipertaruhkan.

Nayla, mahasiswa tingkat dua yang masih sangat belia. Dia terang-terangan menyukaiku. Bahkan di depan keluarga dan saudaraku. Persis anak kecil yang menginginkan mainan. Membuatku jengah.

Ira terlihat memainkan ponsel di tangannya. Dia tidak banyak bicara. Membuatku nyaman, tidak perlu banyak basa basi saat di dekatnya.

.

Aku akan bersiap berangkat ke kantor sebentar. Mencari kemeja kesayangan di lemari, tapi tidak kutemui.

Hendak menanyakan pada Ira, tapi yang kulihat sekarang malah membuat amarahku menggelegak.

Kemeja tangan panjang berwarna biru tua kini telah hangus di tangan Ira. Entah apa yang telah dilakukannya pada baju yang menjadi hadiah ulang tahunku dari Salwa itu.

“Sa-saya minta maaf, Mas,” cicitnya nyaris tak terdengar.

Aku benar-benar kesal dengan kecerobohannya itu. Bajuku menjadi korban.

Setelah menyambar kemeja yang kini tak layak pakai itu, aku berlalu menuju kamar.

Kesal dan marah.

Kubanting kemeja di atas kasur. Kemudian menghempaskan tubuh di kursi depan meja kerja yang tadi sempat kutinggalkan.

Benar-benar membuatku kehilangan semangat untuk pergi ke kantor. Maka kuputuskan menyelesaikan pekerjaan di rumah saja.

Baru saja laptop menyala, pintu kamar diketuk dan ucapan salam terdengar dari luar.

“Apa?” tanyaku datar. Menahan amarah, agar tak lagi meledak.

Ira kemudian meminta maaf dan berjanji akan mengganti kemejaku. Dia pikir ini cuma kemeja biasa yang biasa dibeli apa?

Tapi melihat air mukanya yang memelas meminta maaf, membuatku tidak tega untuk memarahinya lagi. Lagipula, sekarang Salwa benar-benar akan pergi dariku.

Akhirnya aku meminta dia untuk membuatkan jus melon saja, sebagai permintaan maaf.

Dia malah senyum-senyum. Sepertinya lega, karena aku tidak memarahi atau meminta ganti rugi yang akan menyusahkannya.

“Malah senyum. Mau tidak saya maafin?” gertakku, yang membuatnya kaget. Dengan tergesa ia langsung menuju dapur.

.

“Ar, kamu nanti antar Ira belanja ke swalayan. Bahan masakan dan keperluan rumah yang habis,” terang Mami saat sarapan.

“Kenapa harus sama aku, Mi?” Mencoba menolak perintah sang ratu.

“Mami lagi sibuk banget, banyak orderan di butik yang harus cepat diselesaikan. Jadi, mami minta tolong ya?” bujuk Mami, membuatku bingung untuk menolak.

Aku hanya mengalihkan pandangan ke piring yang berisi roti lapis.

Ira menaruh air putih yang diminta Mami, kemudian meng-iyakan saat Mami menyuruhnya untuk berbelanja keperluan rumah.

“Ar, nanti kamu sekalin belikan pakaian untuk Ira ya?”

Aku menautkan alis. Kenapa harus membelikan pakaian segala untuk Ira?

Mami seolah mengerti keherananku.

“Kasian dia, cuma bawa baju beberapa. Pakainya itu lagi, itu lagi. Kasian Mami liatnya, Ar,” ungkap Mami.

Aku hanya mengangguk.

Tanpa kuduga, Papi menyodorkan sebuah kartu kredit.

“Pakai ini, Ar. Belikan dia pakaian yang pantas,” perintah Papi.

Kuraih kartu dari tangan Papi sambil mengangguk.

.

Aku sudah bersiap di belakang kemudi, saat Ira datang dan akan membuka pintu penumpang bagian belakang.

Aku berdehem.

“Di depan saja, Ra,” perintahku. Memang aku supirnya apa?

Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Ira memang kuat mengunci mulutnya. Tidak bicara bila tidak ditanya.

Selama berbelanja pun, aku hanya mengekoe di belakangnya, tanpa berbicara. Barulah, saat di counter sayuran, kujelaskan tentang sayuran yang biasa dibeli oleh Mami. Yaitu sayuran organik.

Aku tidak menyangka bila Ira ternyata lebih kampungan dari yang kukira. Dia sepertinya tidak tahu caranya menggunakan kartu kredit. Malah memintaku yang membayar langsung ke kasir. Dasar udik, untung cantik, eh.

Setelah belanja keperluan rumah selesai, aku teringat pesan Mami agar membelikan Ira beberapa pakaian.

Maka dengan langkah cepat, kunaiki eskalator menuju lantai atas.

Ira mengekor di belakangku.

Jujur saja, ini memang bukan pertama kalinya aku memutar-mutar mall, mengantar perempuan berbelanja. Dulu, Salwa atau pun Mami sering kuantar.

Tapi baru kali ini, ada perempuan yang hanya berputar-putar tanpa mengambil satu helai pun pakaian. Entah apa yang dicari Ira.

“Kamu sebenernya cari baju kayak gimana, sih, Ra?” tanyaku heran. Belum lagi kaki yang mulai terasa pegal. Capek.

“Ira bingung, harus beli baju apa, Mas,” jawabnya sambil menunduk.

Aku langsung menepuk jidat. Ada ya, perempuan seperti Ira?

“Aku bantu,” ketusku sambil menyeret tangannya agar berjalan cepat mengikutiku. Kalau dia hanya mengekor seperti tadi, pasti lama.

Kuambil beberapa baju kaos, celana kulot yang biasa dipakai Ira, juga beberapa gamis.

Tanpa basa basi, kusuruh Ira agar mencobanya.

Selama Ira berada di kamar pas, aku meminta SPG agar memilihkan pakaian dalam untuk Ira. Bukan ideku, tapi Mami yang menyuruh.

“Untuk istri Bapak yang tadi itu?” tanya SPG sambil menunjuk kamar pas yang dimasuki Ira.

Bingung. Kalau aku sebut dia pembantuku, bukan istri, apa yang akan dipikirkan SPG ini nanti?

Biar gampang, kuiyakan saja.

Dengan cekatan, SPG itu mengambil pakaian dalam wanita, yang aku tak mengerti ukuran atau pun modelnya itu.

Setelah selesai, aku memintanya menghitung dan memasukkan ke dalam kantong belanja.

Lagi-lagi, dia hanya mengambil tiga baju kaos dan dua celana. Mungkin dia merasa tidak enak bila mengambil banyak.

Kuberikan semua pakaian yang tadi sudah kupilih pada kasir dan menyuruhnya menjumlah harga serta membungkusnya.

“Terima kasih, Pak. Kami tunggu kunjungan Anda kembali bersama istri,” ucapan kasir yang membuat Ira melongo, dengan mata yang membulat. Mungkin dia heran sekaligus kaget.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum dingin.

---

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!