Part 12

Part 12

Setelah keluar dari toko pakaian, Mas Arya mengajakku untuk makan dahulu.

Tapi saat sudah berada di depan pintu sebuah restoran siap saji, tiba-tiba Mas Arya menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam ke depan.

Tertuju pada sebuah meja. Ada seorang wanita, pria, dan seorang anak perempuan yang masih kecil. Sepertinya mereka satu keluarga. Tapi mengapa Mas Arya terlihat marah?

Wajahnya tampak menegang.

“Kita makan di rumah saja,” ajaknya sambil memutar badan, meninggalkan resto.

Aku hanya mengangguk dan mengekor dibelakangnya.

Selama perjalanan Mas Arya terdiam. Tampak gurat kemarahan di wajahnya belum menghilang.

Mungkin orang-orang di resto tadi orang yang dikenalnya.

.

Mas Arya langsung menurunkan kantong-kantong belanjaan dari bagasi mobil. Menaruhnya di teras.

“Bawa semua ke dalam. Aku ada perlu dulu,” katanya sambil berjalan ke arah mobil dan masuk kemudian.

Kuangkat dua kantong belanjaan dulu, nanti bisa bolak-balik yang sebagiannya lagi.

Saat melewati ruang makan, aku kaget. Ada makanan yang sudah tertata di atas meja. Siapa yang masak?

“Udah pulang, Ra?” Aku menoleh ke arah dapur. Terlihat Bu Widya tersenyum sambil menghampiriku.

“Eh, iya, Bu. Kok, Ibu udah masak?”

“Iya. Tadi pulang dulu. Katanya Tasya mau datang, tapi baru saja dia nelpon lagi. Katanya gak jadi hari ini, masih ada pekerjaan suaminya yang belum selesai,” terang Bu Widya dengan wajah kecewa.

“Oh, gitu ya, Bu?” gumamku.

“Mana Arya, Ra?” tanya Bu Widya.

“Tadi katanya ada urusan dulu, jadi langsung pergi,” jawabku sambil membawa kantong berisi sayuran ke dapur. Bu Widya hanya ber-oh ria.

.

Kembali ke teras untuk mengambil kantong belanjaan, ada mobil yang memasuki halaman. Setelah terparkir sempurna, pintu bagian kemudi terbuka. Aku masih terdiam.

“Kak Ira ...,” sapa wanita berkaca hitam besar.

Dia melangkah mendekatiku. Rambut panjangnya dikucir kuda, menampakkan leher jenjangnya.

Setelah tepat berada di depanku, barulah aku mengenali wajah gadis cantik yang kini telah melepas kacamata yang menutupi hampir separuh wajahnya itu.

“Nayla?” Aku menyambut pelukan hangatnya.

“Orang rumah pada keluar, Kak?” tanya Nayla sambil mengikuti langkahku ke dalam rumah.

Setelah sampai di dapur, Nayla berlari dan memeluk Bu Widya yang juga menyambutnya.

“Tumben ada rumah, Tan?” tanya Nayla sambil mengikuti bu Widya duduk di depan meja makan.

“Iya, ini lagi mau makan di rumah aja, Nay. Kamu belum mulai masuk kuliah lagi?”

“Belum, Tan. Masih libur.”

Aku menaruh dua gelas berisi jus jeruk di depan Nayla dan Bu Widya.

“Nay, kamu temenin tante makan siang ya?” tawar Bu Widya.

“Boleh, Tan. Kebetulan Nay belum makan ... hehee ....”

“Kamu juga, Ra. Makan bareng kita di sini, ya?” Bu Widya memintaku sambil tersenyum seperti biasa. Aku pun mengangguk.

“Kak Ira duduknya deket Nay, sini.” Nayla menggeser kursinya.

Kami makan siang sambil berbincang, sesekali tertawa. Membuat suasana terasa hangat dan nyaman.

Bu Widya sepertinya sangat menyukai Nayla..

.

“Nay, tante harus balik lagi ke butik lagi. Kalau mau masih main di sini, sama Ira aja, ya?” ucap bu Widya sambil meraih tas tangannya.

“Nay masih mau di sini sama kak Ira, Tan.”

“Oke. Tante berangkat dulu, ya.”

Bu Widya menepuk bahu Nayla.

.

Setelah Bu Widya berangkat, aku kemudian membereskan meja dan mencuci peralatan makan yang sudah digunakan.

Nayla setia menemaniku sambil terus bercerita tentang kegiatannya di rumah dan di kampus.

“Kak Ira gak apa-apa kan kalo Nay di sini agak lama?”

“Ya enggak, lah, Nay. Justru kak Ira jadi ada temennya,” ujarku sambil menaruh piring ke rak.

“Kak, Nay bosen di rumah. Gak betah,” keluhnya sambil mentapku dengan mata yang sendu.

“Emang kenapa, Nay?”

“Mama sama papa jarang banget ada di rumah. Sepi,” lanjutnya.

“Main ke sini aja kalo kesepian, Nay.”

“Iya, maunya tiap hari ke sini. Ngobrol sama Kakak,” katanya sambil tersenyum.

Nayla kemudian berlanjut cerita tentang keadaan rumahnya yang membuatnya tidak betah.

.

.

Setelah puas berbincang, Nayla kemudian pamit.

Tinggal aku sendiri lagi di rumah. Semua pekerjaan sudah selesai. Aku pun duduk santai di atas ranjang.

Ada tiga paper bag yang berisi pakaian yang tadi kubeli di mall. Tapi, saat membuka salah satu kantong, aku terperanjat. Isinya hanya pakaian dalam wanita. Apa aku salah mengambil paper bag tadi?

Tapi bukankah mas Arya yang tadi mengambil semua kantong dari tangan kasir? Jangan-jangan ini milik Mas Arya?

Tapi ....

Ada satu chat masuk ke ponsel. Kubuka, ternyata dari nomor baru.

[Ra, jangan lupa bereskan kamar saya]

Kulihat foto profilnya, hanya foto punggung yang sedang berdiri membelakangi. Sepertinya aku tahu ini punggung siapa.

[Mas Arya?] tanyaku meyakinkan. Takut salah.

[iya]

[baik, Mas. Ira bersihkan kamarnya sekarang] balasku kemudian, mengakhiri chat.

Kusimpan dulu kantong yang membuatku bingung. Nanti saja kutanyakan pada mas Arya jika pulang.

.

Kudorong pintu kamar mas Arya, ternyata tidak dikunci.

Tampaklah hamparan pakaian dan berbagai benda yang membuat kamar majikanku ini layaknya kapal pecah.

Dasar jorok. Eh.

Mulai dari lantai, ranjang, sofa, sampai nakas yang dipenuhi berbagai benda.

Menyingsingkan lengan baju kaos, kemudian mulai memunguti satu per satu pakaian yang tercecer. Menaruhnya dalam wadah baju kotor, menyedot debu di lantai, kasur dan sofa.

Dua jam, aku berkutat di kamar sang bujangan. Awalnya memang agak risih, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah tugasku.

Setelah selesai menata barang dan membersihkan lanati, aku segera turun dari lantai dua sambil menenteng wadah cucian yang terisi penuh.

Padahal, aku setiap hari mencuci pakaian, mengapa dia harus menimbunnya di kamar?

Aku menggeleng.

Mungkin karena dia sibuk, tidak sempat membawa pakaian kotornya ke ruang cuci.

.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!