Langit berpamitan setelah tadi mengobrol singkat dengan keluarga Bening. Berada ditengah-tengah keluarga itu membuat suhu badan Langit panas dingin. Apalagi waktu Bude Entin mengeluarkan kalimat-kalimat tak masuk akal juga kalimat sindiran yang membuat telinganya panas, Langit jadi mati kutu. Ingin menjawab namun segan. Mereka lebih tua dan patut dihargai.
"Rasanya malah lebih menakutkan daripada ketemu Mbak Kun semalam!" Tangan Langit sibuk memakai helm full face-nya. Pria itu bersiap meninggalkan pelataran rumah Bening.
Brak ...!
"Au' au' ...!" Langit berteriak, kepalanya hampir saja oleng ketika burung-burung dan bintang berterbangan di atas sana.
Bening yang membuat ulah tidak merasa bersalah, justru terbahak dengan gembira. Tangan jahil berapa waktu lalu digunakan untuk memukul kepala Langit yang sudah terbungkus helm malah saling beradu untuk bertepuk tangan. Seolah perbuatannya barusan sangat lucu.
"Haha ...." Masih saja terbahak. Bening lupa tujuan awal ingin menghampiri Langit.
"Ngakak aja terus! Kek gak ada dosa!" kesal Langit. Pria itu membuka kaca full face-nya dan menatap tajam Bening yang sesaat telah menghentikan tawanya.
"Abisnya kamu lucu. Dipukul gitu aja teriaknya kek ben cong Pantura. Haha ...."
"Masih lucuan Teletubbies goyangin ekornya!" balas Langit. "Ngapain sih? Aku tadi udah pamit pulang," imbuhnya.
Bening meninggalkan tawanya, wajah cantik itu berubah garang. Dia sudah ingat tujuan awal mengejar dan menghentikan Langit. "Jangan ge'er! Saya cuma mau ingetin, jangan pernah dateng lagi ke rumah saya! Setiap ada kamu, selalu aja berantakan. Selalu aja ngeselin."
"Embak Bening yang terhormat, ini terakhir saya datang. Saya juga gak mau kena penyakit berbahaya gara-gara deket sama Mbak dan keluarga mbak itu. Rasanya yang lebih ketiban sial itu saya. Semalam kehilangan ciuman pertama yang berharga. Kedua, pas jalan pulang di takutin Mbak Kun. Ketiga ini, bareng keluarga mbak, udah kek sidang eksekusi seumur hidup. Dan terakhir ini kepala saya mau pecah gara-gara Mbak pukul. Astaga ...." Langit mengomel. Pria yang biasanya tidak pernah ambil pusing, selalu ceria, tapi kali ini dibuat kesal setengah mati dengan wanita bernama Bening Agistasari.
Bening membuang muka, dia yang tadi menggebu ingin memperingati Langit justru merasa aneh saat pria di depannya itu terlihat kesal sungguhan.
"Ya udah, mudah-mudahan abis ini kita gak pernah ketemu lagi," balas Bening asal, tak tahu harus membalas seperti apa. Dia yang biasanya tak pernah memikirkan keluhan pria dihadapannya kinj sedikit aneh saat menatap Langit, ada rasa bersalah dan rasa kasihan di sorot mata itu.
Jika dipikir dengan logis, Langit bukanlah siapa-siapa, bahkan kenal dengan pria itu karena ketidaksengajaan. Namun, Langit harus terlibat dengan urusannya. Pria itu juga yang membantunya hadir di acara reuni. Dan, barusan menjadi buah bibir para keluarganya.
Bola mata Bening bergerak-gerak, berusaha tidak terpengaruh dengan wajah Langit.
"Aamiin. Apa ada lagi pesan terakhir?!" tantang Langit.
"Gak ada! Udah, pulang sana!" usir Bening.
Langit menghidupkan mesin motor maticnya, menutup kaca helm. "Saya pulang." setelah mengatakan itu Langit mulai menarik gas motor dan meninggalkan pelataran rumah mewah yang dihuni Bening dan Mama Has.
Bening masih berdiri diam mengamati punggung Langit yang mulai mengecil di pandangannya. Tak berapa lama bayangan Langit hilang di gelapnya malam.
"Adek, kok galak-galak gitu sih sama Langit."
"Huh .... Ma, ngagetin aja!" Bening memegangi dada karena terkejut. Tiba-tiba Mama Has sudah ada di belakangnya. "Kalo gak digalakin makin ngelunjak!"
"Ngelunjak gimana? Dia baik kamu bilang ngelunjak. Mama gak ngerti sama kamu, Dek. Menurut Mama, Langit baik dan sopan. Dia juga ganteng," ujar Mama Has.
Bening tertawa getir. "Baik apanya, sih, Ma? Dia ngeselin. Bikin darah tinggi. Walau dia ganteng kalo cuma tukang bakso dan suka manfaatin orang buat apa, Ma? Jangan terlalu baik sama pria modelan begitu, takutnya makin gak terkontrol sikap dia yang suka manfaatin."
"Bening ... gak semua orang harus memiliki profesi pejabat dan pegawai kantoran. Tukang bakso itu pekerjaan halal, kenapa harus dipermasalahkan? Dengan merendahkan profesi seseorang, itu sudah termasuk sombong, Dek. Dan Mama gak pernah ngajarin Adek buat sombong," ujar Mama Has menasehati.
"Mama gak pernah ngerasa dimanfaatin sama Langit. Bagi Mama dia baik banget, gak seperti pemuda lainnya."
"Kemarin dia meras Mama waktu minta tolong nemenin Bening ke acara reuni. Dia minta hp sama apa lagi? Dari situ Bening nilai dia gak baik."
Mama Has menggeleng pelan, terdengar embusan napas panjang dari mulutnya. "Adek Adek ...." Mama Has lalu tersenyum. "Gara-gara candaan kemarin kamu nilai Langit meras Mama? Kemarin Mama chat temen-temen Mama buat minta tolong sama anak bujang mereka buat nemenin kamu, tapi gak ada yang bisa. Nah, pas itu Mama cerita ke Langit, terus Langit bilang mau bantuin Mama. Bahkan pas Mama kasih amplop malah dibalikin. Langit bilang, dia mau nolong karena kamu sangat baik mau tanggung jawab waktu pengobatan di rumah sakit. Juga mau kasih kompensasi buat benerin gerobak baksonya. Gitu," jelas Mama Has.
Bening diam. Entah kenapa ada rasa bersalah yang tiba-tiba muncul dan mengganjal hati. Padahal selama ini dia selalu cuek.
"Has, Ning. Kalian malah ngobrol di luar. Kami nungguin." Bude Entin berkata di depan pintu.
"Iya, Mbak. Kami baru masuk."
Berjalan masuk ke dalam rumah pun Bening masih diam. Pikirannya masih dihantui tentang penjelasan mamanya tadi. Aakh, ngapain sih dipikirin segala!
•
Sore ini berbeda dari sore kemarin. Entah apa yang dipikirkan sampai Bening menyuruh Mang Juri untuk lewat di Jalan Lobak Kemangi. Dari jarak berapa meter telah terlihat tenda orange dipenuhi pembeli. Bening menyuruh Mang Juri untuk menepikan mobil di bahu jalan.
Langit begitu cekatan melayani pembeli. "Semuanya 55 ribu, Mas." Langit menerima uang senilai RP100.000,00, lalu menyiapkan kembaliannya RP45.000,00. "Ini kembaliannya, terima kasih."
Pria yang tersenyum ramah itu dibuat terkejut dengan sosok Bening yang berdiri diantara pelanggan lainnya.
Setelah menguasai keterkejutannya, Langit kembali menyiapkan pesanan pembeli.
Satu orang, dua orang, tiga orang dan empat orang telah mendapat pesanan mereka, kini tiba giliran pada Bening.
"Mbak mau pesen yang seperti apa? Apa pesenan rumit yang kek waktu itu? Berapa bungkus? Dua atau pesen lebih buat keluarga mbak yang semalam?" tanya Langit biasa. Seolah tidak ada apapun. Padahal Bening menahan gugup hanya sekadar minta maaf atas perkataanya semalam.
Melihat wanita itu hanya diam saja, Langit inisiatif meracik bakso untuk Bening. Walau kemungkinan salah, tapi dia menghargai kedatangan Bening. Gelagat wanita itu seolah menyirat sesuatu, Langit memasang bersikap biasa dan menunggu Bening untuk membuka suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Denie Alwijaya
aku padamu lah😊😊😊😊
2021-12-13
0
Martina Sima
sudah mulai...
2021-11-30
0
Sumi Sumi
Langitan bikin bening dag dig dug 🤣 anak
2021-11-14
2