"Maaf. Tapi emang Mbak yang salah. Saya udah di jalur paling kiri, mepet sama pembatas trotoar. Apa Mbak gak liat ada gerobak bakso segitu gedenya di sisi jalan, masih juga ditabrak?"
"Huh, oke-oke gak usah dibahas siapa yang salah. Mau kek manapun tetep saya yang bayar. Malah nambahin pusing aja," kesal Bening.
"Bukan cuma biaya rumah sakit, Mbak harus ganti rugi dagangan saya. Termasuk benerin gerobak bakso biar saya bisa jualan lagi."
"Whaaat? Itu juga harus saya yang tanggung jawab? Kamu mau meras saya!!" Bening geram melihat Langit.
"Mbak yang udah nabrak saya sampek gerobak saya hancur, belum lagi modal dagangan saya gak bisa kembali. Tangan saya cedera berat, bisa sembuh tapi dalam jangka panjang. Saya gak bisa jualan, saya beli makan pakek uang apa? Mbak pikir, saya harus minta ganti rugi ke siapa kalo bukan ke Embak? Apa saya harus minta ganti rugi ke Pak Presiden? Bisa-bisa Mbak malah kena pidana. Urusannya makin ribet." Dialog panjang dari Langit.
"Saya gak mau ribet. Saya ganti rugi semuanya sepuluh juta, tapi deal kita gak ada urusan lagi. Gak ada pasal pidana. Gimana?"
"Dua puluh juta," kata Langit.
"Buset, banyak banget. Gerobak bakso sama motor beut baru kok mahalan benerin gerobak bakso. Kira-kira aja. Dua puluh juta itu kebanyakan!"
Keduanya terlibat tawar menawar tentang uang ganti rugi. Bagi Bening bisa saja dia mencairkan uang segitu dalam menit itu juga. Namun, Bening yang selalu perhitungan dengan semua pengeluaran begitu enggan mengeluarkan uang dua puluh juta untuk Langit. Karena baginya uang itu terlalu banyak.
Jangan sampai pria di depannya mencari kesempatan untuk memerasnya.
"Adek …." Suara sangat familiar bagi Bening mengejutkannya.
Adek adalah panggilan kesayangan Mama Has pada puteri semata wayangnya.
Mama Has memang memiliki jadwal cek-up kesehatan. Namun yang Bening tahu jadwal itu dilakukan pagi tadi, tapi kenapa justru siang ini harus bertemu dengan sang mama. Pasti urusannya tambah runyam.
"Mama …."
"Adek, jidatmu kena apa? Kenapa diperban gitu? Jangan-jangan kamu abis …." Kalimat Mama Has tak berlanjut.
Wanita paruh baya itu melirik pada pria yang ada di samping Bening. Pria dengan gips bagian tangan kirinya. Mama Has menyorot dengan kekhawatiran saat menebak apa yang terjadi.
"Iya Ma. Bening gak sengaja nabrak orang ini. Dan jidat Bening kebentur setir mobil, makanya diperban," jelas Bening sedikit takut.
Bening tahu jika mamanya sangat parno mendengar kata tabrak-menabrak atau kata kecelakaan. Mama Has memiliki cerita kurang enak tentang kata itu. Akan mengingatkan pada peristiwa duka yang dialami sang suami hingga nyawanya melayang.
Mama Has meraih dinding untuk sanggahan, lalu duduk di kursi tunggu yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Tangan kanan memegangi dada yang langsung berdebar. Lutut mendadak lemas. Begitu memang reaksinya ketika mendengar kata itu.
Bening segera ikut duduk di samping mamanya. "Ma, gak apa. Bening dan pria itu gak kenapa-napa. Cuma luka ringan aja. Mama bisa liat, tubuh Bening baik-baik saja. Juga pria itu. Cuma luka di bagian tangannya." Bening menjelaskan dengan menunjuk Langit.
"Mbak bilang gak kenapa-napa? Ini parah lho, Mbak. Kemungkinan dua bulan tangan saya baru bisa sembuh. Saya gak bisa cari nafkah. Saya gak bisa penuhin celengan ayam saya buat biaya kawinan," sahut Langit. Pemuda itu bergeser dan menatap penuh pada perempuan dengan wajah memerah karena menahan geram.
"Tangan saya ini patah, Mbak. Bagaimana saya akan berjualan untuk mencari nafkah?" sambung Langit.
"Mas bisa diem dulu, gak? Saya bakal tanggung jawab. Kondisi Mama saya sedang kurang baik, Mas jangan banyak bicara."
"Tangan kamu patah?" sela Mama Has terlihat ngeri.
"Iya Tante. Dan karna anak tante, saya gak bisa jualan lagi. Gerobak saya hancur, dagangan saya habis tercecer di jalan. Belum lagi saya butuh 2 bulanan supaya bisa beraktivitas lagi."
"Rumah kamu dimana, Nak? Nanti biar Tante yang ikut tanggung jawab. Maklum anak tante sibuk, biar Tante yang gantiin ngurus semuanya."
"Ma …." Bening menatap Mama Has dengan kernyitan di dahi. Sangat tidak setuju dengan perkataan Mamanya.
Lebih baik dia memberi uang dua puluh juta pada Langit daripada masih berurusan panjang.
"Adek, kamu gak kasihan kalo dia gak bisa nyari nafkah lagi. Mama gak tau siapa yang salah, tapi liat lukanya sangat parah, Mama gak tega. Kita kudu tanggung jawab sampek dia sembuh. Termasuk itikad baik kita untuk memenuhi kebutuhan pokoknya."
"Gak separah itu lho Ma," sahut Bening.
"Adek …!" Nada bicara Mama Has berubah, pertanda Bening tidak bisa membantah lagi.
Apalagi yang Bening lakukan selain mengembus napas kasar.
Lorong terdengar suara gesekan sepatu, ternyata Dodi dan Sarah baru datang.
"Nyonya, Nona" sapa Dodi.
"Nona baik-baik saja?" Berganti Sarah menanyai atasannya dengan meneliti perban di dahi Bening.
Bening mengangguk. "Aku baik saja. Urus biaya rumah sakit. Aku akan pulang untuk istirahat. Batalkan semua jadwal sampai besok."
"Baik, Nona," jawab Sarah.
Langit memperhatikan orang-orang berpakaian rapi itu dengan menebak orang-orang itu bukan dari kalangan biasa. Meski begitu dia tidak gentar menuntut pertanggung jawaban yang benar.
"Adek pulang bareng Mama, mobilnya biar dibawa sama anak buahmu. Sekalian kita anterin dia pulang," usul Mama Has.
"Ma, Bening pusing banget. Kita langsung pulang aja, yang luka itu tangannya. Dia bisa pulang naik angkot," elak Bening. Meski pria yang ditabrak tadi berwajah tampan, namun Bening sudah kesal lebih dulu dengan sikap Langit.
•
Tak bisa dibantah. Lagi-lagi seperti itu, hingga saat ini Bening duduk anteng di samping kemudi. Mobil itu disetir oleh supir pribadi Mama Has.
Di kursi belakang ada Mama Has juga Langit yang terlibat percakapan ringan.
Bening memegang bagian pelipis. Rasa pusing belum juga reda. Pandangan matanya melihat ke luar jendela. Mobil yang ditumpangi kembali melewati jalan terlibat kecelakaan tadi. Pentol bakso sudah tidak ada. Jalanan itu sudah bersih.
Ternyata rumah Langit tidak begitu jauh dari lokasi kejadian. Berjarak lima kilometer telah sampai pada rumah sederhana dengan cat biru langit dan halaman yang terlihat sejuk karena ada dua pohon besar di sisi sebelah kanan-kiri.
"Ini rumah saya, Tante. Mari, mampir," kata Langit menawarkan Mama Has untuk singgah ke rumahnya.
Mama Has menurunkan kaca mobil dan melihat rumah Langit. "Sejuk banget, ya. Nanti kapan-kapan Tante jenguk kamu lagi. Maaf Tante gak bisa mampir sekarang, anak tante harus istirahat," tolak Mama Has.
Keduanya sudah akrab hanya dengan berbincang singkat di dalam mobil.
Di kursi depan Bening tak berniat ikut bersuara. Wanita itu justru acuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Wayan Tangun
Mama Has... hatimu sejuk banget 💞.... #salut...
2022-06-10
0
Veyzi_hour
ya salah lah si bening org aja udah di pinggir masih aja di tabrak
2022-01-05
0
mommy Erna
baru mampir akoh nih akak Mei...🤭😍
2021-12-22
0