Tidak ada lagi hal yang ingin keduanya katakan. Freya berjalan lebih dulu memasuki ruangan diikuti Bram mengekor memberi jarak di belakang wanitanya. Selama perjalanan itu, keduanya seolah bertaut dalam pikiran yang sama yang merasa tidak nyaman satu sama lain.
Freya menuju meja kerjanya dalam diam, kedua rekannya ingin berbincang. Namun, keduanya mengurungkan niat mereka saat bos kembali di belakang Freya. Melihat raut wajah keduanya, baik Seilla maupun bu Linda jelas memiliki pemikiran mereka masing-masing.
“Shalat bareng gak, Tsay?” tanya Seilla mencairkan suasana saat bos mereka sudah memasuki ruangannya.
“Duluan…” sahut Freya lirih.
“Emang tadi makan kemana?”
“MTC!”
“Owh… Jadi— udah fix nih?”
Freya menoleh dengan mengerutkan keningnya. “Maksud kamu?”
“Kalian pasti ada udang dibalik bakwan. Ga mungkin gak ada apa-apa!”
Penjelasan Seilla membuat tubuh Freya terpaku dengan wajah yang membuat Seilla ingin terbahak sekarang.
“Hahaha… Kamu tuh lucu!” kelakar Seilla membuat Freya tersadar dan memukul rekannya dengan sling bagnya.
“Aaarkk, sakit Freyaaa!” pekik Seilla saat rekannya benar-benar memukulnya tak berbelas kasih.
“Rasakan! Huh–” Freya berbalik badan dengan ekspresi wajah yang mengerucut serta merona dalam waktu bersamaan. Tidak mungkin dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh temannya barusan.
Di dalam ruangan Bram, pria itu bisa mendengar keributan yang dilakukan oleh bawahannya. “Freya ini benar-benar lucu, membuat orang-orang senang berada didekatnya.” Bram membayangkan kembali saat-saat kebersamaan mereka semalam. Pria itu lantas merona serta menggosok wajahnya kasar. “Aarghh, kapan kamu mau jadi pasanganku, Freya!”
Betapa mudahnya kau buat pipi merona, jantungku terpompa setiap kita berjumpa… Tak pernah ku rasa tak berdaya, tanpa bual kata-kata, hatiku terbaca hatimulah yang ku puja…
Seilla telah selesai dan bergantian melakukan ibadah dengan Freya. Setelah kepergian Freya, bu Linda mendekat memperingati bawahannya. “Kamu seneng bener godain Freya, kamu gak takut kalau Si Bos ikut denger? Kasihan dia…”
“Isshh, Ibu malah nakutin aku!” Seilla menggerutu di depan atasannya tanpa malu. “Abisnya— sumpah demi apapun aku tuh penasaran banget ama mereka tuh!” Seilla merubah raut wajahnya semakin antusias untuk membahas hal ini dengan atasannya langsung.
“Eh, Pak Bram di ruangannya ya?” Seilla menoleh pada ruangan atasannya dengan perasaan was-was.
“Enggak, kalau ada aku mana berani ngomong kayak gini!” Bu Linda dengan santai kembali ke meja kerjanya dan bersiap kembali bekerja seperti biasa. Divisi mereka salah satu divisi yang paling sibuk di kantor.
“Baguslah… Ngomong-ngomong, rumor mereka makin kesini makin kesana… Aku sebenernya kasihan ama Freya… Tapi, ya—”
“Namanya hidup pasti ada aja gunjingan, kalau laundry pastinya banyak cucian!” timpal bu Linda tanpa aba-aba.
“Aiiih Ibu maaah!” Seilla mendengus kesal dengan jawaban santai atasannya. Bu Linda terlihat cekikikan senang. Jika Seilla senang menggoda Freya, maka bu Linda siap memberikan serangan balasan membantu Freya membalaskannya pada Seilla.
“Tau gak, Bu…”
“Enggak!”
Seilla mengepal di depan dada dengan kesal membuat bu Linda semakin terbahak senang. “Gosip mereka sampai merendahkan Freya loh!”
“Eh, masa iya sih?” Raut wajah bu Linda mendadak berubah cepat penuh iba.
“Aku gak tahu siapa yang nyebarin, katanya semalam mereka begitu dekat. Ada yang bilang mereka kelewatan batas di kawasan kantor!”
Bu Linda menghentikan aktivitasnya, dia menatap serius Seilla yang ikut terlihat murung. “Sudahlah, itu urusan mereka… Kita jangan sampai kena dosa jariahnya. Kita berdua jelas sangat mengenal Freya, dia tidak mungkin seperti itu.”
Seilla mengangguk perlahan mengerti. “Lagian, aku yakin, semua ini dilakukan sama orang-orang yang iri sama Freya. Cuma dia yang bisa bikin Pak Bram sedekat itu sama seseorang!”
“Iya kamu bener, dah kerja!” Bu Linda mengakhiri perbincangan mereka dan kembali kerutinitas keduanya.
***
Waktu bergulir dengan cepat, semua orang tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bram keluar dengan wajah kusutnya, nada suara tinggi dan berat memenuhi ruangan.
“Seilla, kamu buatkan saya tabel pendanaan lembur karyawan IT selama bulan terakhir!”
“B-baik, Pak!” Tanpa perlu bantahan Seilla dengan cepat menyanggupi.
“Serahkan besok siang paling lambat!” sambung Bram membuat Seilla tersenyum canggung, sedangkan Freya membuka mulutnya lebar saat terasa bosnya pilih kasih dengannya. Mati-matian Seilla tidak terbahak saat ini. Dia bisa melihat betapa rekannya ingin merutukinya. Tidak hanya keduanya, Bram sendiri berbalik dengan senyuman lebarnya. Mengusili Freya menjadi kesenangan seluruh divisi keuangan saat ini.
“Dia sungguh pilih kasih!” rutuk Freya menatap tajam Seilla.
“Ahahaha… Selamat, aku bisa pulang on time hari ini… Uhuuuy, gak kayak sebelah malah di suruh lembur…”
Plaaak!
“Aaarkk!” Seilla mengaduh saat dengan cepat Freya memukul bahunya dengan berkas laporan.
Di dalam ruangan Bram cekikikan tanpa bisa diketahui siapapun disana.
Keduanya berhenti bertingkah saat pintu ruangan terbuka dengan kasar dan muncul seorang wanita cantik dengan gaya mahalnya di ruangan mereka.
“Abrahaaam!”
Tanpa permisi, tanpa basa-basi, wanita cantik dan mahal itu memekik memanggil bos mereka.
Baik Freya maupun kedua rekannya yang lain tidak mengeluarkan suara apapun, bahkan untuk sekedar mengingatkan sopan santun wanita itu. Tiba-tiba Bram keluar dengan wajah pucatnya.
“Lusi?”
“Honeeey, long time no see!”
Tanpa di duga, wanita yang di panggil Lusi oleh Bram berlarian kecil merentangkan tangan dan memeluk Bram tanpa permisi.
“Jaga sopan santunmu!” Dengan cepat Bram menghardik dan melepaskan pelukan wanita yang sudah beberapa tahun ini selalu mencoba mendekatinya.
Freya menelan ludah dengan pandangan yang sulit diartikan, sisi lain hatinya terasa nyeri. DIa menunduk menyembunyikan senyuman yang menunjukkan mengolok pada bosnya.
“Kamu jahat! Aku kan merindukanmu, Sayang!”
“Lusi!”
Bram dengan cepat menarik tangan Lusi menuju ruangannya membuat ketiga wanita disana seolah tengah menonton sebuah drama. Freya semakin tertunduk dengan kekehan membuat Seilla tersadar dan menoleh ke arah rekannya.
“Lu cemburu ya?”
“Hah?” Freya menoleh ke arah temannya. “Cemburu? Sorry ye—” Freya menjawab cepat dengan nada ketusnya.
“Hi ilih, gak usah bohong… Keliatan!”
“Dari mana?” hardik Freya membantah perkataan temannya.
“Ngapain nahan ketawa? Gila?”
Freya bersiap melempar berkas membuat Seilla bersiap menghindar dengan ekspresi menjulurkan lidahnya.
“Huusshh, kalian ini!” Bu Linda sampai harus melerai keduanya.
Freya berbalik kembali seolah sibuk memperhatikan komputernya. Padahal, wanita itu tengah mencuri pandang ke arah ruangan tuannya. ‘Cemburu? Haruskah? Sejak awal semua memang hanya harapan belaka!’
Freya kembali menoleh pada rekannya. “Ngomong-ngomong, itu siapa?”
“Cieee—” Seilla kembali menggoda membuat Freya merasa menyesal bertanya barusan. “Hihi… Kalau gak salah ingat, dia adalah anak dari petinggi perusahaan. Dulu dia juga sering mampir kesini. Cuma—”
“Cuma apa?”
Freya mendadak penasaran ada kisah apa di balik bosnya dan wanita cantik menghebohkan barusan.
“Cuma penampilan dia sedikit berbeda dari sebelumnya, tapi, ya— pongahnya tetap sama!” terang Seilla menaikan kedua alisnya menjelaskan pada Freya yang mendadak terdiam sekarang.
“Owh…” sahut Freya terdengar datar dan biasa.
“Oh doang?” tanya Seilla memastikan.
“Terus? Harus bilang, wow?!” sambung Freya kini membuat Seilla terlihat kesal.
***
Di ruangan Abraham, keduanya tengah berbincang cukup serius.
“Ada apa kamu kemari dan membuat keributan seperti tadi?” tanya Bram ketus.
“Ck, siapa yang bikin ribut? Aku kan cuma cari kekasihku!” Lusi berujar santai duduk di kursi tamu.
“Aku bukan kekasihmu!” Bram menekan katanya dengan tatapan tajam tepat di dua manik netra Lusi yang bening.
“Haha… Kamu masih sama, dingin dan kejam!” kelakar Lusi tidak mempermasalahkan penolakan Bram yang kesekian kali diterimanya. “Inget umur Bram, nanti gak ada yang mau sama kamu loh!”
“Kamu gak perlu khawatir, aku sudah punya calonku sendiri!”
Braaak!
Tanpa disangka, kalimat barusan langsung menyulutkan emosi Lusi. “Siapa?!”
“Kamu tidak perlu mengetahuinya!” balas Bram ketus dan dingin.
Bunyi ketukan pintu membuyarkan perbincangan keduanya. “Masuk!”
“M-maaf, saya mengganggu—” Freya memberanikan diri mengunjungi bosnya saat tengah menerima tamu.
“Sudah tahu ganggu kenapa gak pergi aja!” Lusi yang sedang dalam suasana hati yang buruk mencerca Freya seketika membuat atensi Bram terpecah.
“M-maaf,” ucap Freya menundukkan pandangan dan bersiap kembali ke meja kerjanya.
“Tunggu, Frey!” Bram bangkit menghentikan langkah kaki asistennya.
Lusi tertegun sejenak, untuk pertama kalinya Bram terlihat memiliki nada suara yang berbeda. Bram mendekati Freya yang mengikuti perintahnya berdiri di ambang pintu.
“M-maaf, Pak… Saya ingin menyerahkan laporan yang anda minta siang tadi. Saya tidak mau disuruh lembur lagi!” ketus Freya terlihat begitu kesal pada pria di hadapannya.
“Pppfft!” Bram menahan kekehan dan mengambil berkas yang ada di tangan Freya. “Makasih ya, Frey… Aku tidak akan menyusahkanmu lagi kedepannya!” bisik Bram membuat Freya membulat sempurna.
‘Hah? Bram berkomunikasi dengan wanita itu? Dia juga tersenyum? Sungguh di luar kebiasaannya!’ batin Lusi merasa ada yang janggal dengan hubungan Bram dan asistennya.
“Kalau begitu saya undur diri, mengingat ini sudah jam pulang kantor!” Freya berbalik dan bersiap meninggalkan ruangan Bram.
Ingin rasanya Bram menghentikan kembali langkah kaki Freya dan memelas untuk lebih lama dengannya. Sayangnya, seruan Lusi membuyarkan keindahan pandangan Bram saat ini.
“Aku tidak menyangka kamu begitu dekat dengan karyawanmu? Sepertinya dia orang baru?” Lusi mendekat ke arah Bram yang masih tidak bergeming di depan pintu.
“Bukan urusanmu!” Bram menoleh dan mengabaikan keberadaan Lusi yang mendekatinya.
“Bram!”
“Pulanglah… Ini sudah jam pulang kantor, kamu datang di waktu yang tidak tepat. Lagian—”
Bram menoleh pada wanita yang sudah terobsesi dengannya. “Perasaanku tidak berubah sedikitpun… Aku tidak bisa menerima perasaanmu!”
Lusi mengepalkan kedua tangannya erat, emosinya seolah ingin meledak. “Heh, aku tidak percaya kamu tidak memiliki perasaan apapun padaku, Bram!”
“Keluar kataku!” Bram setengah berteriak mengusir Lusi yang bersikukuh disana. “Kita tidak akan pernah mencapai sepakat sampai kapanpun!”
Bram sudah merapikan meja kerjanya, dia mengambil kunci mobil di atas meja dan bersiap keluar dari sana. “Jika kamu masih ingin disini silahkan, aku pamit!”
Lusi membuka mulutnya lebar, selama ini tidak ada yang berani mengabaikannya jika bukan Abraham!
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments