Sayup terdengar adzan subuh berkumandang, nilai plus dari rumah yang Freya sewa, posisi masjid tidak begitu jauh dari sana. Tak hanya Adzan yang berkumandang, bunyi alarm ponsel Freya juga ikut membuyarkan tidur si empunya. Dengan berat Freya mencoba meraih ponsel dan mematikannya. “Ya Tuhan, baru juga merem…”
Freya berusaha bangun, dia terbelalak. Dia sadar, semalam Adnan ngotot tidur dengannya. Freya memeriksa keadaannya, sepertinya Adnan menepati janjinya tidak melakukan hal yang bisa menghina dirinya. Freya mengamati wajah teduh Adnan yang sekilas terdengar dengkur halus dari bibir tebalnya. ‘Dia masih seperti Adnan yang aku kenal… Tampan dan manis…’
Freya menunduk menyembunyikan rona wajahnya yang mencuat saat perlahan dia mencoba mengusap membangunkan mantan suaminya. Freya kembali mengingat masa lalunya, setiap hari Adnan akan mengomel jika istrinya tidak memeluknya saat membangunkannya. Freya sungguh merasa bahwa justru bayi besarnya yang banyak rewel dibanding anak mereka.
“Heh…” Freya menahan kekehan setelah menyentuh pipi mulus mantan suaminya.
“Kamu bilang jangan ngelakuin hal yang enggak-enggak, ini kamu lagi godain aku, kah?”
“Aaargh!”
Freya terkejut saat Adnan tebangun dan mencengkram tangannya, pria itu juga menghilangkan jarak keduanya berakhir dengan berpelukan mesra.
“Bangun, Ba! Shalat…” Freya akhirnya bangkit melepaskan pelukan Adnan yang hangat. Pria itu lantas tersenyum cerah secerah awal pagi ini. Freya sendiri bangkit segera dan menuju kamar mandinya. Dia berusaha menyembunyikan rasa malu dan rona wajah yang terus membuatnya merasa malu akan tingkah plin-plannya.
Adnan bangkit memperhatikan wanitanya. “Kita pelan-pelan saja, Freya… Aku yakin, kita akan rujuk kembali!”
***
Jika harus sakit, biarkan ku sakit… Jika harus nangis, biarkan ku menangis… Jika harus jatuh untuk bisa bersamamu… Biarkan ku jatuh sampai lebam…
Freya kembali berkutat dengan wajan di depan kompor yang menyala. Dia tengah mempersiapkan sarapan pagi untuk keluarga kecilnya.
“Adnan!” Freya memekik lirih saat kedua tangan Adnan melingkar di perutnya. Suatu kebiasan lain yang selalu Adnan lakukan jika istrinya tengah memasak. Terkadang, Freya selalu merutuk kesal berujung mengetuk spatula ke arah suaminya. Hal itu justru bisa membuat kelakar seisi rumah.
“Aku terbiasa seperti ini, kamu harusnya paling tahu, bukan?”
Freya mematikan kompornya, urusan dia dengan nasi goreng telah selesai, dia berbalik badan dan bersiap merutuk. Namun… Satu kecupan singkat dari bibir Adnan membuat Freya sukses terdiam seketika.
“Hehe… Aku bangunin anak-anak ya? Kita ke kebun binatang yuk!”
Freya tidak menjawab apapun, kedua netranya tengah berembun. Adnan seolah tengah menarik ulur perasaannya. Pria itu menghilang di balik pilar dan terdengar riuh dari kamar depan.
“Ya Tuhan, aku bisa kembali jatuh di lubang yang sama!” lirih Freya segera mengusap air matanya.
Kali ini, Adnan membantu semua hal di rumah. Tidak seperti sebelumnya, jika belum disuruh istrinya, pria itu lebih memilih menggenggam ponselnya untuk menonton bola atau memainkan game online kesayangannya. Adnan dengan telaten membantu anak-anak dari mulai memandikan, memakaikan baju, membersihkan dan merapikan setiap ruangan. Bahkan, dia bersiap mencuci piring tanpa diperintahkan Freya.
“Kakak bahagia sekali, bangun tidur, Kakak masih lihat Baba dan Buna sama-sama!”
Jerit batin Freya semakin tidak karuan, melihat antusias Aluna seperti tengah di perdaya oleh mantan suaminya. Freya mendekat dan hanya merespon dengan senyuman. “Bolehkan Baba tinggal serumah lagi sama kita, Buna?”
Adnan menghentikan suapan nasi goreng kesukaannya. Dia menatap Freya yang sudah mengatupkan bibirnya rapat. Mungkin sebentar lagi akan badai, karena istrinya sudah terlihat akan menangis saat ini.
“Kak, Baba masih kerja di Jakarta. Nanti, kalau Bos Baba setuju, Baba pindah kantor kesini, ya? Baru deh kita bisa serumah lagi…”
Rasanya Freya tengah menerima kekalahannya. Namun, sisi hati yang masih merasakan trauma menolaknya. Keempatnya akhirnya menyantap sarapan sebelum bertolak menuju kebun binatang di tengah kota. Selama mereka menghabiskan akhir pekan, tak pernah luntur tawa dari wajah kedua anaknya.
“Kamu bisa lihat sendiri, anak-anak ingin kita kembali bersama…” Adnan memulai perbincangan saat kedua anak mereka tengah berlarian kesana kemari.
“Aku yakin kamu yang mencuci otak mereka!” umpat Freya tidak menerima.
“Astagfirullah… Kamu ini ngikutin siapa sih? Ampe bisa kayak gitu mikir sama omongannya?” Adnan menoleh dan menatap tidak percaya pada istrinya. Tidak hanya tampilan luar saja yang berbeda, rasanya ucapan Freya pun semakin terasa berani dan berbeda.
“Maaf…” Freya menundukkan pandangan, dia sendiri menyadarinya.
Tak ada lagi perkataan yang membuat mereka berbincang panjang. Hari sudah menjelang sore, mereka memilih pulang kembali kerumah, mengingat kondisi putra putri mereka yang terkapar tertidur pulas di bahu masing-masing.
"Frey...." Adnan menarik lengan Freya.
“Aku bersih-bersih dulu!”
Freya mencoba menjauhi Adnan sebisanya setelah berada dirumah. Dia tidak ingin menyerah sekarang. Sia-sia sudah setahun dia mencoba hidup jauh dari Adnan. “Aku mohon hati… Kita pasti bisa melewatinya! Mungkin, akan ada wanita lain yang bisa membahagiakannya selain aku yang bodoh ini… Huhu!”
Freya menenggelamkan diri dalam bantal dan kembali terisak pilu disana. Sedangkan Adnan, dia bersimpuh menopang tubuhnya di pintu kamar yang Freya tutup sekarang. “Aku akan selalu sabar menunggumu, Freya… Jangan ajarkan aku untuk melepaskanmu, karena aku tidak pernah bisa melakukannya. Bahkan, untuk sekedar melupakan dan membencimu sekalipun aku tak bisa!”
Freya semakin terisak kencang, dia bisa dengan jelas mendengar bagaimana Adnan menyinggung dirinya di balik pintu. Dia tidak mungkin mengakui bahwa akar permasalahan mereka adalah terletak di keuangan Adnan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bisa lepas dari gali lobang tutup lobang saja sudah bersyukur, apalagi Freya merupakan wanita yang mudah merasa kasihan.
Dalam benak Freya, dia tidak ingin membebani suaminya. Padahal, sebelumnya apapun yang jadi keinginan Freya dan kebutuhan pribadinya tercukupi dari gaji yang didapatkan saat dia bekerja. Terlihat egois memang, tetapi Freya tipikal wanita yang lebih senang memiliki hasil dari jerih payahnya sendiri. Sayang, pandangan orang terhadap pekerjaannya yang harus meninggalkan buah hati membuat Freya dilanda rasa bersalah meninggalkan Aluna pada mertuanya. Setelah Freya berhenti bekerja, maka runtuh seluruh pertahanan yang selama ini terlihat baik-baik saja. Di lain sisi, Freya memiliki kelemahan besar. Dia tidak bisa berkomunikasi yang baik dengan suaminya. Perasaannya terlalu takut untuk mengutarakan semua keinginannya pada suaminya. Padahal, Adnan sendiri tidak sekasar atau sekeras yang Freya bayangkan. Pria itu sudah cukup dengan menjadi pria yang tidak pernah mengeluh hal apapun dan tidak menuntut apapun. Kecuali, kata candaan yang selalu keluar tanpa sadar yang berakhir melukai hati istrinya tanpa disadarinya. Freya lebih memilih diam dibanding bertengkar.
Freya kembali ingat, Adnan lebih senang dengan ponselnya. Baginya, apa itu pillow talk dengan pasangan? Bagi Adnan semua hal itu biasa, yang penting bersama-sama istrinya, mau itu hidup bersama atau tinggal bersama. Hal itu benar-benar membuat kesabaran Freya habis rasanya.
“Aku harus bagaimana sekarang?” lirih Freya di sela isak tangisnya.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Nur hikmah
uuh.....q thi deritamu frey
2022-03-13
2