Aku sedang asyik menulis di blog ketika terdengar bunyi mobil memasuki halaman rumah. Aku mengangkat kepala dan menatap jendela dengan bingung. Jarum pada jam tangan menunjukkan pukul lima tiga puluh. Belum saatnya bagi Hendra untuk pulang. Setelah mematikan laptop, aku keluar dari ruanganku dengan kening berkerut.
Di dekat pintu depan, Abdi sudah berdiri dan bersiap untuk membukakan pintu. Papa dan Mama masuk dengan wajah bahagia. Aku segera berjalan mendekati mereka.
“Papa! Mama!” ucapku senang. Ini kejutan yang menyenangkan. Aku memeluk mereka secara bergantian lalu menggandeng tangan Mama menuju ruang duduk.
“Kita baru bertemu dua malam yang lalu dan kamu sudah merindukan kami?” goda Mama. Aku hanya tertawa kecil.
“Aku akan selalu merindukan papa dan mamaku,” ucapku dengan manja.
Yuyun membukakan pintu ruangan untuk kami. Aku berterima kasih kepadanya. Tanpa mengatakan apa pun mengenai menyediakan makanan kecil, dia pasti sudah mengerti. Papa dan Mama duduk berdampingan di sebuah sofa, sedangkan aku duduk di seberang mereka. Yuyun datang beberapa menit kemudian membawa minuman dan makanan ringan. Benar, ‘kan?
“Yun, tentang makan malam kita,” ucapku khawatir. Sudah terlambat untuk mengubah menu, tetapi masih bisa menambahnya dengan menu makanan yang lain.
“Semua sudah disiapkan, Nyonya,” ucap Yuyun dengan senyum manisnya. Aku menatapnya dengan terkejut. Bagaimana bisa?
“Oh.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Yuyun pamit dan meninggalkanku bertiga saja dengan kedua orang tuaku. Bagaimana dia bisa tahu bahwa Papa dan Mama akan datang berkunjung?
“Sepertinya Nak Hendra tidak menyebut mengenai kedatangan kami,” ucap Mama penuh arti. Ooo, jadi begitu. Dia yang mengundang Papa dan Mama datang ke sini.
“Dia tidak pernah memberitahuku apa pun karena dia suka memberiku kejutan.” Kemudian aku tersenyum. Dia sudah memberiku banyak kejutan hanya dalam dua hari saja.
“Aku senang melihat kalian bahagia.” Mama tersenyum. Dia menoleh ke arah Papa yang juga terlihat bahagia. Kalimat itu merusak suasana hatiku.
“Mama tahu benar bahwa hanya dia yang bahagia,” ucapku tidak senang.
“Ara,” protes Papa.
“Pa ….” Mama menyentuh tangan Papa. Pria yang hampir selalu berdebat denganku itu kembali duduk dengan santai. “Setidaknya Nak Hendra memperlakukanmu lebih baik daripada Aldo, Ara.”
“Kita tidak akan pernah tahu, ‘kan, Ma. Aku tidak menikah dengannya.” Aku mengangkat kedua bahuku sambil membuang muka. Tidak mau mereka melihat mataku yang memanas dan berair.
“Aku tahu. Insting seorang ibu, Nak,” ujar Mama lembut. Insting? Mendengar kata itu, aku kembali mengangkat kepalaku dan melihat ke arah Mama.
“Jadi, karena insting itu juga Mama memaksaku supaya aku menikah dengan Hendra?” tantangku. Untuk hal yang satu itu, aku masih belum bisa memaafkan mereka.
“Aku tidak memaksamu. Dalam hal itu aku bertengkar dengan papamu,” ucap Mama dengan tegas. Aku melihatnya sesaat sebelum membuang muka lagi karena mataku kembali berair.
“Aku tidak percaya,” gumamku pelan, tetapi cukup keras sehingga mereka pasti bisa mendengarnya.
“Kamu sudah menikah dengannya. Kamu percaya atau tidak, itu sudah bukan masalah lagi untukku,” ucap Mama dengan nada serius. Tatapannya melembut melihatku berubah sedih. “Apakah seburuk itu menikah dengan Mahendra?”
“Tidak. Dia mencintaiku. Tapi aku tidak mencintainya. Di situlah masalahnya.”
“Beri dia kesempatan, Nak. Walaupun dia bukan Aldo, dia bukanlah pilihan yang buruk.”
“Aku tahu.” Aku memilih untuk tidak terus mendebat mereka. Sudah tidak ada gunanya lagi. Apa pun yang akan aku katakan, mereka hanya akan membela Hendra. Aku juga tidak bisa mengatakan hal yang buruk mengenai suamiku, karena dia adalah pria yang baik.
“Nah, kalian sudah menikah selama enam tahun, apa kamu sudah punya kabar bahagia untuk kami?” tanya Mama penuh harap. Dadaku terasa nyeri mendengar pertanyaan itu. Aku tidak akan pernah punya kabar bahagia mengenai cucu untuk mereka.
“Belum, Ma. Kalau Mama bertanya tentang cucu, aku belum hamil.” Tentu saja maksud Mama adalah cucu, tetapi aku berpura-pura tidak mengerti agar tidak ketahuan berbohong. Wajah Mama segera berubah sedih.
“Bukankah ini sudah saatnya untukmu memeriksakan diri? Mungkin dokter bisa membantu mencari tahu apa yang membuat usaha kalian belum juga membuahkan hasil,” ucapnya memberi saran. Aku tidak membutuhkan dokter karena aku sendirilah yang menyebabkan aku belum juga hamil.
“Baik, Ma. Aku akan diskusikan dengan suamiku.” Aku menurut. Lebih baik aku tidak membantah agar topik pembicaraan segera diganti.
“Tidak perlu didiskusikan lagi. Kalian perlu segera melakukannya,” desak Mama. Aku tersenyum mendengarnya.
“Baiklah. Apa pun asal Mama bahagia.”
“Itu baru putriku,” ucap Mama senang. Aku kemudian mengalihkan pandangan kepada Papa. Keningku berkerut melihat dia seolah-olah sedang tidak berada di sini bersama kami.
“Ada apa, Pa? Papa kelihatannya sedang banyak pikiran,” tanyaku khawatir.
“Aku tahu aku tidak bisa menyembunyikan apa pun darimu.” Papa tersenyum sambil menggeleng pelan. Tetapi aku tidak tertipu dengan senyumnya itu.
“Kalau ada masalah, dengan senang hati aku akan coba bantu,” kataku menawarkan diri.
“Ini bukan jenis masalah yang bisa kamu bantu.” Papa mengangkat kedua bahunya. Aku menelengkan kepalaku. Hanya ada satu hal yang tidak akan bisa aku tawarkan kepadanya.
“Maksud Papa, ini tentang uang?” tanyaku berhati-hati.
“Iya.” Papa mendesah pelan. “Rumah kita akan dilelang bulan depan.”
“Apa? Tapi mengapa?” tanyaku terkejut. Aku menatap mereka berdua secara bergantian.
“Kami terpaksa melakukannya bertahun-tahun yang lalu untuk membiayai kuliahmu dan Zach. Pendapatan kami berdua tidak cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan kita dan nenekmu yang sakit-sakitan. Walaupun Mama telah meninggal, kami masih punya banyak utang untuk dilunasi. Jalan keluar satu-satunya adalah dengan menggadaikan rumah.”
“Mengapa Papa dan Mama tidak bilang? Aku tidak akan mau melanjutkan pendidikan kalau kita tidak punya cukup uang,” protesku.
“Tidak, Ara. Pendidikan sangat penting untukmu dan Zach. Sudah menjadi kewajiban kami untuk membiayainya. Kami tidak keberatan dan tidak menyesali keputusan itu. Hanya saja, sesuatu terjadi selama delapan tahun terakhir sehingga kami tidak bisa membayar tagihan bulanan rumah dengan teratur.” Papa melihat ke arah Mama, meminta izin untuk melanjutkan ceritanya.
“Ada apa, Pa? Katakan kepadaku. Apa yang telah terjadi selama delapan tahun terakhir?” tanyaku tidak sabar.
“Mamamu punya masalah jantung. Beberapa tahun terakhir ini, mamamu menjalani rawat jalan. Obat yang harus dikonsumsi mamamu tidak murah dan beberapa perawatan serta obatnya tidak ditanggung oleh asuransi. Jadi, kami harus memilih antara pendidikan Zach dan biaya pengobatan dengan biaya tagihan. Kami memilih untuk mengabaikan biaya tagihan rumah.”
Aku merasakan lantai yang aku pijak bergoyang. Mama sakit jantung dan aku tidak pernah tahu? Bagaimana mungkin aku tidak pernah tahu? Kelihatannya Mama baik-baik saja. Memang sejak menikah, aku tidak tinggal bersama mereka lagi, jadi aku tidak bisa melihat perubahan pada dirinya.
Kalau pun kami bertemu seperti ini, Mama selalu terlihat ceria sehingga jika tidak diperhatikan baik-baik, aku tidak akan tahu ada yang berubah pada dirinya. Tidak pernah sekalipun aku mendengar Mama mengeluhkan kesehatannya.
Zach juga sangat sibuk sejak dia menyelesaikan kuliahnya dan langsung bekerja. Firma hukum di mana dia bekerja, juga perusahaan Hendra, tidak pernah membiarkannya bersantai. Adikku belajar dengan cepat dan itu artinya dia memberikan hampir seluruh waktunya bagi pekerjaan. Dia tidak punya waktu untuk dirinya sendiri, apalagi untuk memerhatikan orang tua kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
gemini_20
zahra egois skali,hanya memikirkan prasaannya sj,tdk peduli ketulusan suaminya,buat apa tampan tp tdk setia za..
2021-11-07
3
Pangeran Matahari
semangat thor... jgn lupa folback nya
2021-11-04
3