Makan siang bersama kedua mertuaku adalah hal yang paling menyenangkan bagiku. Mereka adalah pasangan yang mudah disenangkan, tidak banyak menuntut, dan suka membicarakan hal-hal ringan di meja makan. Hanya bersama mereka, aku tidak segan untuk bicara sambil makan.
Dari pakaian koleksiku, aku memilih memakai baju terusan resmi berwarna biru gelap. Aku mengikat rambut dengan rendah di belakang kepala menggunakan penjepit rambut berwarna putih. Supaya aku tidak terlalu pendek saat berdiri di samping suamiku, aku memakai sepatu hitam berhak tinggi. Puas dengan penampilanku di cermin, aku mengambil tas sandang dan bergegas menuju garasi.
Setelah satu jam lebih bergelut dengan kemacetan lalu lintas, aku tiba di restoran tujuan. Aku memarkirkan mobil tepat di samping mobil milik ayah mertuaku. Melihat mobil Hendra berada tidak jauh dari mobilku, maka aku adalah orang terakhir yang ditunggu.
Masuk ke dalam restoran, aku melihat suamiku berdiri di dekat meja kami. Aku tersenyum dan mendekatinya. Ayah dan ibu mertuaku juga ikut berdiri. Mama yang pertama mendekatiku. Wanita itu mencium kedua pipiku lalu tersenyum bahagia. Papa mencium kedua pipiku sambil mengucapkan selamat. Aku berterima kasih kepada mereka. Kedua mertuaku duduk, aku menerima uluran tangan suamiku. Dia menunduk untuk mencium pipiku.
“Aku sudah merindukanmu,” bisiknya dengan mesra. Aku menyentuh tangannya yang menyentuh lenganku dengan tanganku yang bebas.
“Aku juga,” jawabku pelan.
Dia menolongku duduk lalu dia sendiri duduk di sisiku. Kami memesan makanan untuk kami nikmati bersama. Aku dipersilakan memilih salah satu menu utama kami dan Hendra menu utama lainnya. Mama menambahkan dengan beberapa menu sampingan. Papa terlihat begitu ceria mendengarnya. Aku tersenyum geli. Papa begitu suka makan, dia tidak keberatan sekalipun itu bukan masakan istrinya. Semua jenis makanan akan membuat suasana hatinya bahagia.
“Jadi, bagaimana rasanya menikah dengan putraku selama enam tahun ini, Zahara?” tanya Papa penuh arti. Dia melihatku kemudian melirik putranya.
“Serangan pertama dimulai.” Hendra tertawa kecil. Aku tersenyum mendengarnya, teringat dengan jawabanku setahun yang lalu.
“Bahagia, Pa. Hendra suami yang baik,” jawabku dengan jujur. Hendra menyentuh tanganku yang ada di atas pangkuanku.
“Kamu tahu bahwa kamu tidak perlu khawatir menceritakan apa pun kepada kami. Kami selalu berada di pihakmu,” ucap Papa meyakinkanku. Aku tertawa kecil.
“Terima kasih, Pa,” ucapku senang.
“Aku melihat akhir-akhir ini dia tidak punya banyak waktu untukmu. Kamu yakin bahwa kamu baik-baik saja?” tanya Mama. Kali ini Hendra yang tertawa kecil.
“Serangan kedua.” Dia duduk bersandar tanpa melepaskan pegangan tangannya dariku.
“Aku baik-baik saja, Ma. Walaupun dia sedang keluar kota, dia tidak berhenti bersikap seolah-olah dia ada di dekatku.” Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Maksudmu dengan panggilan teleponnya hanya untuk memastikan kamu sudah makan dan tidak lupa dengan jadwal harianmu?” goda Mama. Aku tertawa geli saat mengiyakannya.
“Nak, kamu perlu belajar memercayai istrimu sendiri. Zahara sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya. Dia bukan lagi anak berusia lima tahun yang harus diingatkan tentang makan,” ucap Papa mengingatkan.
“Memangnya Papa lebih baik dalam memperlakukan istri?” tantang Mama. Hendra tertawa penuh kemenangan mendengarnya. Aku memukul tangannya agar dia tidak terus mengejek orang tuanya. Tetapi dia terus saja tertawa.
“Setelah tiga puluh lima tahun kita bersama? Tentu saja,” ucap Papa penuh percaya diri.
“Sesekali aku juga ingin diperlakukan seperti anak kita memperlakukan istrinya.” Mama melihat ke arahku penuh arti. Aku hanya tersenyum.
“Maksud Mama dengan menanyakan apakah Mama sudah makan atau belum?” tanya Papa dengan nada sarkas. Mama hanya cemberut mendengar pertanyaan itu. Papa mengerang pelan. “Sekarang apa lagi salahku? Aku hanya bertanya.”
“Kamu menganggap keinginan itu sebagai sikap yang kekanak-kanakan ‘kan?” ucap Mama kesal. Papa menoleh ke arahku dengan tatapan memohon.
“Zahara, tolong aku,” ucapnya frustrasi. Aku tersenyum, kemudian meraih tangan Mama yang ada di hadapanku dengan tanganku yang bebas.
“Ma, Papa memerhatikan Mama dengan cara yang berbeda. Papa bukan Hendra, wajar saja kalau Papa tidak melakukan hal yang sama. Apakah Mama ingat waktu ulang tahun Mama, Papa tidak menghadiri rapat direksi demi menghabiskan satu hari bersama Mama? Atau saat Mama sakit, Papa memasak untuk Mama dan tidak beranjak dari sisi Mama?” bujukku. Mama mendesah pelan.
“Kamu beruntung menantu kita tahu bagaimana membujukku untuk memaafkanmu,” ucap Mama kepada Papa. “Kalau tidak, kamu sudah tidur di kamar tamu malam ini.”
“Terima kasih, sayang.” Papa mencium pipinya, lalu mengerlingkan matanya ke arahku.
“Bagaimana denganmu, Nak?” Mama melihat ke arah putranya. “Bagaimana rasanya menikah dengan menantuku selama enam tahun ini?”
“Bahagia, Ma. Dia menyempurnakan hidupku,” ucap Hendra penuh sayang. Dia meremas pelan tanganku. Aku tersenyum kepadanya.
“Aku harap kalian akan terus merasakannya hingga tua nanti. Perjalanan kalian masih panjang dan aku harap kalian terus memilih untuk menghadapi masalah bersama-sama. Jangan berjuang sendiri,” ucap Papa dengan serius. “Kerja sama tim tetap yang terbaik.”
“Karena Papa yang mengatakannya, aku percaya,” kata Hendra.
“Kalau kamu pikir pernikahan kami baik-baik saja, aku beritahu, aku pernah berulang kali hampir menceraikan mamamu,” ucap Papa masih dengan nada serius. Suamiku membulatkan matanya.
“Begitu juga aku terhadap papamu,” timpal Mama.
“Bagaimana mungkin? Aku selalu melihat Papa dan Mama baik-baik saja. Belum pernah pisah ranjang, tidak pernah saling berteriak, memukul, atau melempar barang. Apa yang tidak aku ketahui di sini?” tanya Hendra heran.
“Nak, pertengkaran suami istri hanya untuk suami istri. Kami tidak akan pernah melakukannya di depanmu. Aku bersyukur mamamu tidak pernah meninggikan suaranya setiap kali marah kepadaku di depanmu. Aku juga belajar untuk melakukan hal yang sama.” Ada nada bangga di dalam suara Papa. Aku tersenyum mendengarnya.
“Kami ingin memberi lingkungan yang sehat untuk pertumbuhanmu. Kami tidak mau melihatmu tumbuh dengan melihat pertengkaran sepele antara kedua orang tuamu ini,” tambah Mama. “Aku harap kalian melakukan hal yang sama terhadap anak-anak kalian nanti.”
“Kami akan berusaha, Ma,” janji Hendra.
“Aku yakin kami bisa. Hendra selalu mengalah bila kami bertengkar. Dengan begitu pertengkaran kami tidak semakin runcing,” ucapku menambahkan.
“Hendra selalu mengalah?” ucap Papa dan Mama hampir bersamaan. Mereka menatapku terkejut sekaligus terlihat menahan tawa. Hendra memejamkan matanya. Aku melihat ke arah suamiku lalu ke arah mertuaku dengan heran.
“Iya. Ada apa? Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?” tanyaku bingung. Papa dan Mama saling bertukar pandang lalu tertawa.
“Aku pantang menyerah bila sedang berdebat,” ucap Hendra menjelaskan.
“Tapi, apa yang kamu lakukan kepadaku ….” Aku tidak melanjutkan kalimatku.
“Aku tahu.”
“Selamat, Zahara. Kamu berhasil menjinakkan putra kami,” ucap Mama geli.
Hendra selamat dari rasa malu yang berkelanjutan karena makanan pesanan kami datang. Air liur kami terbit melihat makanan lezat yang diletakkan di depan kami. Dengan lahap, kami makan sambil sesekali memberi komentar terhadap makanan yang kami nikmati.
Aku berterima kasih setiap kali suamiku menyendokkan lauk, sayur, atau nasi ke atas piringku. Papa dan Mama tersenyum melihatnya. Mama tersenyum bahagia ketika Papa meniru Hendra dengan menyendokkan sayur ke atas piringnya. Aku menyikut lengan suamiku agar melihat adegan itu juga. Kami tersenyum penuh arti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments