Dengan sepenuh hati, aku mencintai Papa dan Mama. Papa adalah seorang pria yang pekerja keras. Belum pernah aku maupun Zach kekurangan apa pun. Kami mempunyai tempat tinggal yang nyaman, meskipun bukan rumah yang besar dan mewah.
Setiap hari kami makan makanan yang enak. Untuk urusan sekolah, kami mengecap pendidikan di sekolah terbaik, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam hal penampilan, kami tidak pernah kalah dengan teman-teman kami.
Mama adalah seorang ibu yang baik dan penuh kasih sayang. Meskipun kami sering dititipkan karena mereka berdua bekerja, Mama selalu hadir untuk kami. Merawat kami bila kami sedang sakit, mendengarkan setiap keluhan kami, bahkan mendatangi rumah anak yang telah menyakiti kami untuk membuat perhitungan.
Pengorbanan mereka begitu besar bagiku dan Zach. Hal yang membuatku semakin menyayangi mereka. Kami belajar dengan tekun dan tidak pernah mencari masalah di sekolah. Kami juga menjaga diri dan pergaulan dengan baik sekalipun tidak selalu dalam pengawasan orang tua.
Meskipun aku begitu sayang dan menghormati mereka, tidak jarang aku kesal dengan campur tangan mereka terhadap hidup atau keputusanku. Pada saat aku berusia tiga belas tahun, mereka melarang aku pergi menghadiri acara ulang tahun teman. Hanya karena aku harus menggunakan transportasi publik dari rumah menuju rumah sahabatku itu.
Ketika berusia lima belas dan pertama kalinya mengenal cinta, Papa menyuruhku untuk memutuskan pacarku. Menurutnya, aku masih terlalu kecil untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Aku membuktikan kepada mereka bahwa aku dan Aldo bertanggung jawab dengan hubungan itu dan menjaga diriku dengan baik.
Yang tidak bisa aku lupakan adalah saat aku mempertimbangkan mengambil jurusan apa di kampus, mereka juga turut campur. Pada akhir diskusi, pilihan mereka yang dipaksakan kepadaku. Aku tidak diperbolehkan memilih jurusan yang aku inginkan. Syukur saja aku bisa lulus dan tidak menjadi gila karena mempelajari sesuatu yang tidak aku sukai.
Setelah perdebatan panjang terakhir kami dua tahun lalu mengenai perusahaan apa yang sebaiknya aku kirimi lamaran kerja, campur tangan mereka berikutnya adalah mengenai pilihan suamiku. Aku memilih Aldo, tetapi kedua orang tuaku, tidak mengherankan, menjatuhkan pilihan kepada Hendra.
“Jaga mulutmu, Ara!” Intonasi suara Papa meninggi. Aku tidak takut lagi dengan itu. Aku sudah bukan anak kecil yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan orang tuaku. Aku sudah bekerja dan bisa hidup mandiri andai mereka benar-benar mengusirku dari rumah.
“Aku tidak mencintai Hendra, Pa. Aku mencintai Aldo. Kami akan menikah. Aku tidak peduli siapa laki-laki yang datang melamarku, hanya lamaran Aldo yang aku terima,” ucapku dengan tegas.
“Dengar, Nak. Bila kamu menikah dengan Mahendra, kamu akan hidup nyaman dan aman. Dia mencintaimu dan menghormatimu. Keluarga mereka juga terkenal baik dan santun. Kamu beruntung dia memilihmu dan orang tuanya setuju,” kata Papa dengan lembut.
“Kamu akan hidup bahagia bersamanya. Percayalah. Dia bisa memenuhi semua yang kamu inginkan. Bahkan mimpimu untuk berjalan-jalan keliling Eropa bukan impian lagi. Apa kamu tidak mau mempertimbangkan semua itu?” bujuk Papa berusaha meyakinkan aku.
“Pa, pernikahan itu bukan tentang jalan-jalan atau mewujudkan mimpi.” Aku menjaga intonasi suaraku tetap tenang. Tidak ada gunanya berdiskusi dengan kepala panas. Papa akan terus memaksa bila aku terus melawan.
“Pernikahan itu mengenai bersatunya dua jiwa yang ingin hidup bersama selamanya,” lanjutku. “Itu yang aku inginkan bersama Aldo. Aku tidak akan pernah menemukan pernikahan yang bahagia bersama Hendra karena aku tidak mencintainya.”
“Cinta itu hanya masalah waktu, Ara,” ucap Papa sama sabarnya dengan tekanan suaraku tadi. “Kamu pasti akan bisa mencintai Mahendra seperti yang kamu rasakan kepada Vivaldo. Bahkan bisa jadi lebih. Kamu tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mencoba. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa Mahendra bukan pria yang tepat untukmu?”
“Bagaimana dengan Papa sendiri? Bagaimana Papa bisa tahu bahwa Mama adalah wanita yang tepat untuk Papa?” tantangku. Papa melihat ke arah Mama lalu meraih tangannya.
“Aku mencintainya,” jawabnya sambil menatap istrinya. Mama tersenyum mendengarnya.
“Dan itu yang aku rasakan kepada Aldo. Aku tidak mencintai Hendra. Karena itu aku tahu bahwa dia bukan pria yang tepat untukku,” ucapku bersikeras.
“Ara, kamu tidak mengerti. Saat ini kamu berpikir bahwa kami hanya mementingkan diri sendiri. Tidak. Kami memikirkanmu.” Papa meraih tanganku. Diskusi ini hanya sia-sia belaka.
“Kalau Papa dan Mama memikirkanku, kalian akan merestui hubunganku dengan pria pilihanku. Bukan malah memaksaku menerima pria pilihan Papa dan Mama. Kalian bahkan tidak mengenal siapa dia yang sebenarnya.” Aku berdiri dan menyandangkan tas ke bahuku.
“Maaf, Pa. Aku harus pergi. Kita tidak akan pernah satu kata bila membahas tentang Hendra. Berhenti bicara tentang dia dan lamarannya. Aku sudah menolaknya dan akan terus menolaknya. Aku tidak akan berubah pikiran hanya karena Papa dan Mama terus mendesakku menerima dia.”
“Ara,” panggilnya saat aku bergegas mendekati pintu depan.
“Sudah, Pa. Biarkan dia pergi,” ucap Mama kepada Papa.
“Tapi, Ma ....” Aku masih bisa mendengar kalimat terakhir Papa sebelum menutup pintu depan rumah.
Pria arogan itu boleh berpikir bahwa dia berada di atas angin karena kedua orang tuaku menerima lamarannya. Dia boleh menikahi mereka kalau dia mau. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menerima lamarannya.
Sudah saatnya aku bicara lagi dengan pria tukang pamer itu. Hendra harus berhenti menggunakan Papa dan Mama untuk membujukku menerima lamarannya. Cara itu tidak akan mempan sama sekali. Yang rugi hanya aku karena hubungan kami jadi rusak.
Hampir satu jam dalam perjalanan, aku tiba di depan rumah Hendra. Aku membayar ongkos ojek yang aku naiki lalu mendekati pagar raksasa yang melindungi rumah itu dari tamu yang tidak diundang. Aku menoleh ke kanan kiri untuk mencari bel tetapi tidak ada.
Seorang pria keluar dari pos satpam dan menyapaku dengan ramah. Aku menyebut namaku dan nama pria yang ingin aku temui. Setelah dia bicara dengan seseorang lewat telepon yang ada di pos jaga, pria itu tersenyum kepadaku dan pagar terbuka secara automatis. Dia mempersilakan aku masuk. Aku berterima kasih dan berjalan masuk dengan pagar kembali menutup di belakangku.
Jauh melebihi dugaanku, rumah milik keluarga Hendra sangatlah besar. Bangunannya mengikuti gaya rumah mewah yang sering aku lihat pada film Inggris kuno. Rumah yang indah. Aku harus melewati pekarangan depan yang cukup luas saat berjalan kaki dari pagar depan menuju teras.
Setelah menekan bel, seorang pria membukakan pintu. Dia mempersilakan aku masuk dengan senyum ramah di wajahnya. Bagian dalam rumah itu sama indahnya dengan bagian luar. Kami menuju sebuah pintu dan memasuki sebuah ruangan. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Dia memintaku untuk menunggu dan pria itu meninggalkan aku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
langit sore
suka sm karyamu thor.
semangat
lanjut lanjut
2022-05-25
3
ANAA K
Semangat kak
2021-11-13
4
Rina Arlita
lanjut kk😘😘😘
2021-11-02
5