Seperti halnya dengan Mama, Adhyana, ayah mertuaku, juga bersikap sangat baik dan sayang kepadaku. Pendapatku selalu didengar dan dipertimbangkan oleh ayah mertuaku, terutama ketika dia membutuhkan saran bagaimana menghadapi istrinya sendiri. Hal itu sering dimanfaatkan Mama untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Bila tanpa sengaja Papa marah kepadanya dan Mama tidak mau bicara, dia memberitahuku apa yang sedang dia inginkan. Bisa ditebak, Papa datang kepadaku meminta saran untuk membujuk istrinya. Aku mengatakan tepat seperti yang disampaikan oleh ibu mertuaku.
Diam-diam, aku curiga kalau sebenarnya ayah mertuaku sudah tahu mengenai kerja sama antara aku dengan Mama. Tetapi pria itu kelihatannya tidak keberatan. Apa saja yang aku katakan, pasti akan Papa kerjakan atau belikan untuk Mama. Aku sangat menyukai cara pasangan itu mengekspresikan cinta mereka. Tidak mengherankan melihat pernikahan mereka langgeng dan bahagia.
“Aku senang melihatmu bahagia, Nak,” ucap Mama bahagia.
“Terima kasih, Ma.”
“Usiamu sudah tiga puluh tahun, apa sudah ada kabar bahagia untuk kami?” tanya Mama penuh harap. Aku mengerti apa yang sedang ditanyakan oleh ibu mertuaku. Mengenai kehamilanku.
“Belum, Ma. Kalau sudah ada kabar baik, Mama akan segera kami beritahu,” jawabku yang mulai merasa bersalah harus berbohong terus untuk hal yang satu ini.
“Aku sudah rindu ingin memeluk cucuku, sayang. Aku sangat berharap tahun ini kamu hamil dan cucu pertamaku lahir pada tahun depan,” keluh Mama.
“Baik, ma. Kami akan berusaha,” janjiku untuk kesekian kalinya. Aku menelan ludah dengan berat. Kapan aku bisa mengatakan hal ini tanpa pernah merasa bersalah lagi? Sepertinya aku akan terus merasa bersalah.
“Jangan bilang Mama masih mendesak istriku untuk memberikan seorang cucu,” goda Hendra dari arah belakangku. Spontan kami melihat ke arahnya. Dia mendekati mamanya lalu mencium pipinya penuh sayang. Mama tersenyum geli.
“Sebelum aku menggendong mereka, aku tidak akan berhenti meminta,” ucap Mama bersikeras.
“Mama jangan khawatir, aku yakin istriku akan segera hamil. Sudah saatnya kami memiliki anak.” Hendra melihat ke arahku. Aku hanya tersenyum.
“Kamu janji?” ucap Mama penuh harap.
“Aku janji, Ma.” Dia mencium pipi mamanya lalu mendekatiku.
Dia belum pernah membahas anak sebelumnya. Hanya orang tuanya yang mulai mendesak kami untuk segera memberikan seorang cucu. Dia juga belum pernah menjanjikan akan memenuhi permintaan mamanya tersebut. Apakah kini Hendra sudah mulai merindukan kehadiran seorang anak dalam pernikahan kami?
“Aku senang kalian berdua memutuskan untuk bersama. Melihat kalian hidup bahagia, aku telah mendapatkan apa yang paling aku inginkan di dunia ini.” Mata Mama berbinar-binar.
“Selain seorang cucu,” goda Hendra. Mama tertawa kecil.
“Iya. Selain itu. Begitu mendapatkannya, aku tidak akan meminta apa pun lagi dari kalian,” ucap Mama berjanji sekaligus penuh harap.
Papa memanggil Mama untuk mendatanginya. Ibu mertuaku menoleh ke arah suaminya lalu menganggukkan kepalanya. Dia pamit kepada kami berdua. Kami tersenyum sambil melihatnya berjalan menjauhi kami. Aku menoleh ke arah suamiku.
“Punya anak itu tidak mudah, Hendra,” ucapku pelan. Aku merasa tidak enak melihat wajah penuh harap Mama. Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum penuh arti.
“Tapi aku menyukai prosesnya,” godanya. Wajahku memanas. “Hasilnya aku anggap sebagai bonus. Kita akan memiliki anak segera. Aku yakin itu.”
Aku menatap kedua matanya yang berbinar bahagia. Apa yang sedang terjadi yang tidak aku ketahui? Mengapa dia bisa begitu yakin bahwa aku akan segera hamil? Apakah maksudnya bahwa dia yakin karena kami akan semakin intens berhubungan intim?
“Baiklah.” Aku mengalah.
“Edu dan Helmut perlu banyak belajar mengenali kebutuhan istri mereka. Tidak seharusnya seorang suami membiarkan istrinya cemburu dengan kemesraan pasangan lain.” Dia melihat ke arah kedua pria yang disebutnya dan istri mereka.
“Kamu melihatnya?” ucapku terkejut. Aku pikir hanya aku yang melihat Lindsey dan Qiana menatap kami berdua selama kami berbincang bersama tadi.
“Kamu pikir aku tidak punya maksud lain ketika menciummu di depan teman-temanmu?” Dia mengedipkan sebelah matanya.
“Kamu tidak pernah bisa aku tebak, jadi,” ucapku pelan.
“Iya. Aku sengaja melakukannya.” Dia melingkarkan tangannya di tubuhku lalu mencium pelipisku penuh sayang. Aku memejamkan mata menikmati ciumannya itu. “Aku mencintaimu, Za. Selamanya.” Aku menarik napas panjang agar air mata tidak menetes membasahi wajahku.
“Oke, Hendra, aku sudah cukup melihat kemesraan kalian,” ucap Helmut dari sisi kiri kami. Hendra melonggarkan pelukannya dan menoleh ke arah pria itu dan istrinya sambil tertawa kecil. Tetapi tangannya masih nyaman berada di pinggulku.
“Kalian mau pulang?” tanya suamiku.
“Iya. Besok pagi aku harus keluar kota untuk urusan pekerjaan.” Helmut menjabat tangan Hendra, lalu bergantian menjabat tanganku. “Sekali lagi, selamat ulang tahun, Zahara.”
“Terima kasih. Terima kasih juga sudah datang,” ucapku senang. Aku kemudian memeluk Qiana dan berterima kasih kepadanya.
“Jangan lupa acara minum kopi kita,” kata Helmut mengingatkan suamiku.
“Aku tidak lupa,” balas Hendra.
Kami mengantar pasangan itu sampai pintu depan. Abdi membukakan pintu untuk mereka. Setelah mobil mereka pergi, Hendra mengajakku kembali ke ruang depan. Beberapa tamu juga pamit untuk pulang, termasuk kedua orang tua kami. Rumah kembali sepi tepat pada tengah malam setelah semua tamu kembali ke rumah mereka masing-masing.
“Akhirnya, hanya ada kita berdua,” goda Hendra. Aku tersenyum. Ketika dia menggandeng tanganku menuju kamar kami, aku menurut.
Hendra menutup pintu kamar dan berjalan mendekatiku. Tanpa mengatakan apa pun, dia membuka satu-persatu pakaian yang dikenakannya. Aku hanya berdiri diam di tempat mengetahui apa yang berikutnya akan terjadi. Setelah kami berdiri begitu dekat, dia melingkarkan tangannya di tubuhku dan menciumku.
Ketika suamiku menginginkan sesuatu, maka dia akan terus berusaha sampai mendapatkannya. Bila dia ingin memberi mamanya seorang cucu, dia akan terus berusaha sampai aku hamil. Tetapi aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Melihat suamiku telah tertidur lelap di sisiku, aku menatap langit-langit kamar sesaat. Aku menunggu hingga yakin bahwa dia tidak akan terbangun lagi. Perlahan aku melepaskan diri dari pelukannya, pria itu tidak terbangun atau terganggu sedikit pun. Aku mendesah lega.
Dari dalam laci nakas di sisi tempat tidurku, aku mengeluarkan satu papan obat dan mengeluarkan salah satu pil dari kemasannya. Obat itu aku masukkan ke dalam mulut, lalu aku meminum setengah isi dari gelas yang tersedia di atas nakas.
Aku menoleh ke arah Hendra. Dia masih tertidur. Papan obat itu kembali aku simpan di dalam laci dan menyembunyikannya dengan baik di antara benda yang ada di dalam. Aku menarik napas lega. Obat itu telah berhasil mencegahku hamil selama enam tahun terakhir. Obat itu juga akan berhasil melaksanakan fungsinya malam ini. Harus berhasil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Dina Wulansari
aq benci dgn wanita yg tak mau tersakiti tp menyakiti banyak orang😕😁😁
2022-10-12
1
Kevin Evander
untung aja lu udah kasi warning di awal tokoh cewenya beda
2021-11-03
3
Zahara Letto
apa jadi nya nanti ketauan hendra? takut
2021-11-02
3