~Za~
Tidak ada penyejuk ruangan di dalam rumah kami. Kedua jendela telah dibuka lebar-lebar untuk membiarkan udara segar masuk ke dalam. Tetapi tetap saja itu tidak cukup. Aku merasakan keringat turun di bagian tengah punggung dan di antara dadaku.
Kedua tanganku terasa sakit karena aku meremasnya begitu kuat di atas pangkuanku. Sofa yang biasanya nyaman itu terasa sekeras batu dan membuatku harus mengubah posisi duduk berulang kali. Aku melirik jam tangan, tidak sabar untuk segera pergi dari tempat dudukku.
Bagian belakang rok dress putih kesukaanku pasti sudah kusut karena terlalu lama aku duduki. Aku tidak punya waktu untuk berganti pakaian. Pembicaraan ini pasti akan berlangsung berjam-jam. Aku bahkan yakin riasan wajahku akan luntur dan aku harus memperbaikinya kalau masih ingin tampil sempurna pada malam ini. Rambutku juga perlu disisir kembali. Aku terpaksa menggelungnya tadi supaya tubuhku tidak berkeringat terlalu banyak.
Sudah satu jam lebih kedua orang tuaku menasihatiku tentang hal yang sama yang sudah aku dengar selama dua bulan terakhir. Aku saja sudah bosan mendengarnya, apakah mereka tidak bosan juga membahasnya terus?
Semua ini berawal dari lamaran yang aku terima pada dua bulan yang lalu. Salah satu keluarga kaya raya dan terpandang yang ada di kota kami datang ke rumah untuk makan malam bersama. Aku jelas terkejut dengan kedatangan mereka itu.
Tanpa aku duga sama sekali, Hendra, putra emas mereka, temanku di kampus, melamarku di depan kedua orang tua kami. Adik laki-lakiku, Zach, hanya tertawa terkikik melihat wajahku memucat. Kami tidak mempunyai hubungan asmara dan dia malah melamarku?
Hendra adalah seniorku di kampus. Kami sering berpapasan di perpustakaan atau di ruang diskusi pada tahun pertama aku kuliah. Sampai akhirnya pada tahun kedua, pria itu memulai percakapan dan mengajakku berkenalan.
Ketika pada hari berikutnya kami bertemu lagi, aku tidak keberatan duduk bersebelahan dengannya. Kami berteman baik tetapi aku tidak membiarkan hubungan kami terlalu akrab. Pembicaraan mengenai hal pribadi tidak pernah aku izinkan menjadi topik pembahasan kami.
Saat pria itu wisuda dan aku menemuinya untuk mengucapkan selamat, dia malah mengatakan bahwa dia mencintaiku. Jelas saja aku terkejut. Dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mempunyai perasaan yang lebih dari teman kepadaku. Dan dengan terpaksa aku menolaknya.
Awalnya, aku pikir penolakan itu akan menyelesaikan segalanya tetapi aku salah. Hendra berulang kali datang lagi kepadaku. Dia hanya berhenti ketika dia pergi melanjutkan studinya ke luar negeri. Tidak ada lagi hubungan telepon juga tidak ada lagi kemunculannya yang tiba-tiba di kampusku.
Ketika aku berpikir bahwa dia sudah melupakan aku dan melanjutkan hidupnya, dia menungguku di depan kantorku pada saat jam kerja usai. Dia mengajakku makan malam bersama yang segera aku tolak. Teman-teman kerja menggodaku berhari-hari karena mereka melihatku dijemput oleh seorang pria dengan mobil mewahnya.
Dia memang tidak tahu diri. Kami sebelumnya berteman baik, tetapi persahabatan kami berakhir seketika itu juga saat dia pertama kali melamarku. Sudah berulang kali ditolak, berulang kali juga dia mencoba lagi. Lamaran terakhirnya adalah yang dilakukannya di depan kedua orang tua kami. Yang tentu saja aku tolak juga. Sungguh hal yang memalukan.
Belakangan aku mengetahui bahwa Hendra dan kedua orang tuanya datang makan malam di rumah kami bukan atas undangan Papa atau pun Mama. Tetapi atas keinginan pria itu sendiri. Dia menelepon ke rumah dan mengaku sebagai sahabatku dan Papa dengan senang hati mempersilakan dia datang ke rumah untuk makan malam bersama.
Tetapi aku tahu alasan yang sebenarnya. Papa menjawab iya bukan karena Hendra mengaku sebagai sahabatku di kampus, tetapi karena nama besar orang tua pria itu.
Entah apa yang dilihat Hendra padaku. Dia kaya, cerdas, berasal dari keluarga yang terpandang, dia bisa mendapatkan siapa saja untuk menjadi kekasihnya. Semua kualitas itu cukup untuk menarik perhatian wanita yang tercantik dan terbaik di negeri ini. Mengapa harus aku yang dipilihnya?
Aku menolaknya bukan karena aku sombong atau sok cantik. Aku sudah punya pacar sejak duduk di bangku SMU dan kami saling mencintai. Hendra tahu itu. Kami bahkan berniat akan menikah pada awal tahun depan. Umur kami sudah cukup, begitu juga tabungan kami berdua. Tidak ada lagi yang ingin kami tunggu, maka kami siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Aldo sudah menyatakan maksud baiknya untuk melamarku, tetapi kedua orang tuaku menolak sebelum kekasihku sempat menyelesaikan kalimatnya. Namun kami tidak menyerah dan terus berusaha sampai papa dan mamaku memberi restu.
Sampai pada suatu hari, Aldo takut dan khawatir kedua orang tuaku tidak akan pernah merestui hubungan kami. Tetapi aku terus meyakinkannya bahwa kami tetap akan menikah, dengan atau tanpa restu kedua orang tuaku. Itu membuatnya merasa sedikit tenang.
Aku bisa mengerti ketakutan yang dirasakannya. Jauh di dalam hati, aku juga sangat khawatir. Tetapi aku sudah bertekad. Kami akan menikah apa pun yang terjadi. Kedua orang tuaku tidak punya hak menentukan dengan siapa aku akan menikah.
Pembicaraan kami pada saat ini tidak ada gunanya sama sekali. Aku tidak akan berubah pikiran, apa pun yang akan diucapkan oleh orang tuaku. Aku tidak peduli sekaya apa pria itu, sehebat apa nama keluarga mereka di mata masyarakat, setinggi apa pendidikan terakhirnya, atau sebesar apa cintanya. Aku tidak akan menikahi Hendra. Titik.
“Ara, apa kamu dengar?” ucap Papa dengan kesal. Aku mendesah pelan.
“Mau sampai kapan kita membahas ini, Pa? Aku akan tetap memberikan jawaban yang sama. Aku tidak mau menikah dengan Hendra. Aku sudah punya pacar,” ucapku dengan tegas.
“Kamu tidak akan punya masa depan bersamanya.” Kalimat itu lagi, itu lagi. Aku sudah bosan mendengarnya. Apakah mereka yang mempunyai masa depan hanyalah mereka yang memliki banyak uang? Lalu mereka yang hidup sederhana tidak akan bisa bertahan dalam pernikahan?
“Karena dia bukan dari keluarga kaya raya? Apa Papa lupa bahwa kita juga bukan dari keluarga yang berada? Atau Papa mulai berhalusinasi karena orang tua Hendra sekarang begitu dekat dengan Papa?” ucapku kesal.
Seharusnya kami segera menemui mereka begitu kami berniat untuk menikah. Kalau bukan karena ketakutan Aldo yang besar, dia yang akan lebih dahulu datang menyampaikan maksudnya daripada Hendra. Dengan begitu, Papa tidak akan melihat pilihan lain selain merestui pernikahan kami.
Kedatangan pria tidak tahu malu itu yang lebih cepat dalam melamarku daripada Aldo membuatnya mendapat hati orang tuaku tanpa usaha keras.
Tentu saja alasan utama Papa segera memihak kepada Hendra adalah latar belakang keluarganya. Ayah mana yang tidak mau mempersunting anak perempuannya dengan pria terpandang dan kaya raya? Apalagi pria itu sudah melamarku dengan sopan di depan keluargaku. Menikah dengannya juga akan ikut mengangkat martabat keluarga kami. Tawaran yang tidak akan ditolak oleh Papa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Zahara Letto
kangeennn hendra dan za
2022-02-15
2
Zahara Letto
loh cuma 1 bab? next pls
2021-10-29
4
Doersdey Silalahi
hayooo....semangat kak Mei🥰🥰💪💪
2021-10-29
3