Bingung harus menyampaikan apa yang menarik dari kehidupan pernikahan maupun pribadiku yang membosankan, ponselku bergetar. Aku mengeluarkannya dari dalam tas. Ketiga temanku tersenyum penuh arti melihat nama yang tertera pada layar ponsel tersebut. Mereka menyuruhku pergi untuk menjawab panggilan itu. Aku bergegas menuju gang dekat toilet. Suasananya lebih tenang di sana.
“Halo,” sapaku.
“Hai, sayang. Aku pasti mengganggu acara makan siang bersama teman-temanmu,” sesal Hendra. Aku tersenyum mendengar suaranya.
“Tidak apa-apa. Kamu malah menyelamatkanku.” Aku mendesah lega untuk mendramatisir.
“Oh, ya? Giliran kamu untuk bercerita apa prestasimu minggu ini?” godanya. Aku tertawa kecil seraya membenarkannya. “Oke. Aku hanya sebentar. Aku sudah tiba di Bangkok, sedang menunggu transit berikutnya. Nanti malam aku sudah tiba di rumah.”
“Ada yang perlu aku siapkan di rumah?” tanyaku pelan. Biasanya dia menelepon hanya untuk memberitahu tanpa ada permintaan apa pun. Hendra adalah suami yang pengertian yang tidak pernah menuntut atau mengharapkan sesuatu yang tidak mau aku lakukan.
“Tidak. Aku akan makan malam di pesawat. Aku hanya ingin memeluk istriku dan tidur di sisinya,” ucapnya dengan nada bahagia.
“Maka itu yang akan kamu dapatkan malam ini,” ucapku pelan, diam-diam merasa lega.
“Kembalilah ke teman-temanmu. Aku titip salam untuk mereka.”
“Akan aku sampaikan.”
“Aku merindukanmu, sayang.”
“Aku juga.”
“Aku mencintaimu. Bye.”
“Bye.”
Aku menatap ponselku. Sampai saat ini aku belum juga bisa mengucapkan hal yang sama kepada suamiku. Aku tidak ingin merasakan hal yang sama kepadanya. Pria itu ingin menikahiku, dia sudah mendapatkanku. Dia ingin memiliki tubuhku, dia juga sudah mendapatkannya. Tetapi untuk hatiku, aku tidak akan pernah memberikan itu kepadanya. Dan suamiku harus puas dengan itu. Karena aku sudah memberikan hatiku kepada pria lain.
Menikah adalah impian banyak pria dan wanita lajang ketika mencapai usia tertentu. Bisa hidup berkecukupan adalah dambaan banyak orang. Ketika keduanya dipadukan, beberapa orang mungkin menduga bahwa siapa pun yang memilikinya akan hidup sangat bahagia.
Hal yang terus aku lihat, dengar, dan rasakan dari orang yang mengenalku bahkan mereka yang hanya mengetahui tentangku karena nama suamiku. Tetapi apa yang dilihat orang dari luar, tidak demikian yang aku rasakan di dalam pernikahan maupun hidupku yang berkelimpahan.
Aku ingin pergi tetapi tidak bisa. Ingin berlari keluar dari rumah dan suamiku, selalu ada tali yang tidak kasatmata yang begitu kuat mengikatku pada pernikahan ini. Kedua tangan dan kakiku bebas melakukan apa pun atau pergi ke mana pun. Tetapi aku akan selalu kembali. Kembali ke rumah mewah itu dan kepada suamiku.
Tidak ada yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam pernikahan kami. Bahkan ketiga wanita yang mulai aku sebut sebagai sahabat, tidak tahu-menahu mengenai kehidupanku bersama suamiku. Yang mereka tahu hanyalah apa yang Hendra tampilkan di depan semua orang, sedangkan apa yang sebenarnya aku rasakan tidak ada yang tahu, kecuali Papa dan Mama.
Saat kembali ke meja kami, ketiga temanku tersenyum penuh arti. Pemandangan biasa yang aku lihat setiap kali Hendra meneleponku pada saat kami makan siang bersama. Aku duduk dan tersenyum, bersiap menerima serangan mereka. Di antara kami, akulah yang paling sering menerima telepon dari suami. Karena itu, aku tidak pernah bisa mengelak dari godaan mereka.
“Hendra mengirim salam untuk kalian semua,” ucapku penuh arti.
“Dia memang pria yang sopan.” Darla tersenyum.
“Aku selalu cemburu kepada pasangan muda karena kemesraan mereka. Tapi suamimu berbeda. Kalian sudah menikah selama lima tahun lebih dan dia masih begitu perhatian kepadamu. Belum pernah sekalipun saat kita makan siang bersama, dia tidak menghubungimu. Memang hanya pembicaraan singkat, tapi begitu berarti. Menunjukkan bahwa dia memikirkanmu,” ucap Qiana cemburu. Aku tersipu. Lindsey mengangguk setuju.
“Ya. Suamiku hanya melakukannya saat kami pacaran. Begitu kami menikah, dia merasa tidak perlu lagi bersikap romantis kepadaku. Setiap kali aku protes, dia hanya bilang bahwa dia sibuk bekerja. Itu pun demi aku dan anak-anak,” keluh Lindsey.
“Nanti juga kalian akan terbiasa,” ucap Darla sambil tertawa kecil. “Yang penting suami kita tidak lupa memberi apa yang kita butuhkan. Uang dan kartu kredit tanpa batas minimal. Selebihnya, hanya bonus semata.”
Kami serentak tertawa. Setiap kali pembicaraan kami beralih pada seputar kartu kredit, kami tidak bisa melupakan pertemuan awal kami. Aku dan Qiana tersipu malu mengingat betapa paniknya kami pada saat itu. Untung saja ada Lindsey yang menemaniku dan Darla yang membantu Qiana. Kami beruntung karena kejadian itu telah mempertemukan kami.
“Kapan rencananya kalian punya anak? Sudah lama menikah dan kalian belum punya anak juga. Apa kamu tidak merasa kesepian hanya ditemani pembantu di rumah?” goda Lindsey sambil mengedipkan sebelah matanya. Aku tersenyum.
“Kami telah berusaha. Mungkin belum saatnya. Kami masih muda. Masih ada banyak waktu untuk terus mencoba.” Aku mengangkat bahuku.
“Jangan sampai terlena. Tanpa terasa kalian nanti sudah berada di ambang masa subur. Kalau perlu, kalian berdua bisa memeriksakan diri bersama. Zaman semaju sekarang, memiliki anak bukan hal yang sulit lagi. Asal kalian mau sedikit berusaha,” ucap Lindsey.
“Aku yakin suamimu sudah mengharapkan kehadiran ahli waris. Siapa yang akan meneruskan nama dan perusahaannya kalau bukan anak kalian nantinya?” timpal Qiana.
“Tidak usah pusing mendengarkan mereka. Kamu benar. Kamu masih muda, masih ada banyak waktu untuk mencoba. Saranku, nikmati masa-masa kalian masih berdua. Kalau sudah ada anak-anak, kalian tidak akan sempat bermesraan lagi,” saran Darla sambil mengangkat alisnya penuh arti.
Pembicaraan serius berganti santai, kami tertawa mendengar lelucon baru yang disampaikan Darla. Tidak terasa kami telah menghabiskan dua jam bersama. Karena harus kembali ke aktivitas masing-masing, kami mengakhiri makan siang bersama tersebut, membayar tagihan masing-masing, dan berpisah di pintu keluar restoran.
Dalam perjalanan kembali ke rumah, aku mampir ke sebuah toko bunga. Wanita yang berjaga menyapaku dengan ramah. Aku menghirup napas panjang untuk menikmati aroma segar dari bunga-bunga yang ada di dalam toko tersebut.
Mataku melihat ke sekelilingku. Ada bunga mawar dengan berbagai warna, lili, dahlia, juga berbagai bunga liar. Lalu aku tersenyum melihat bunga matahari yang ada di sudut ruangan. Aku membeli beberapa tangkai dan meminta untuk dimasukkan ke mobil.
Liando dan Abdi segera menyambut kedatanganku. Aku meminta mereka untuk memasukkan bunga yang baru aku beli ke ruang keluarga. Aku meletakkan tas ke dalam kamar lalu bergegas menuju ruang keluarga di lantai dasar.
Yuyun telah meletakkan vas bunga berukuran besar serta gunting di dalam ruangan tersebut. Aku tersenyum melihat vas telah diisi air. Aku membersihkan tangkai demi tangkai bunga lalu menatanya di dalam vas. Liando dan Abdi membantu meletakkan vas tersebut di sudut-sudut ruangan sesuai perintahku. Aku tersenyum puas melihat keadaan rumah menjadi lebih indah.
Kami minum teh dan menikmati kudapan sore bersama di ruang keluarga dan aku meminta mereka untuk melaporkan hal-hal yang kurang dan perlu dibeli. Besok adalah hari di mana aku membawa pakaian ke penatu dan berbelanja keperluan sehari-hari.
Pelayan di rumah sudah mempunyai tugas mereka masing-masing dan aku tidak memberi tugas lain yang bukan bagian mereka. Lagipula aku suka berbelanja dan berkeliling supermarket untuk keluar sejenak dari rumah dan rutinitas menulisku. Karena itu, aku selalu melakukannya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Rina Arlita
kak Mel...😔😔 mencintai seseorang tnpa ada balasan sakit rasane..
ak salut sama bang henrda sabar nya luar biasa👍👍👍
2021-11-03
5
Kevin Evander
ga up 1 lg?
2021-10-31
3