Dengan mundurnya Hendra dari hidupku, aku bisa tenang menyiapkan pernikahanku bersama Aldo. Kalau ucapan putri mereka tidak akan bisa mengubah pikiran Papa dan Mama, maka satu kalimat dari Hendra akan menghentikan usaha mereka yang terus membujukku menikahi pria kaya raya itu.
Begitu ekspresi wajah kecewa pria itu bermain di kepalaku, cepat-cepat aku menggelengkan kepala. Pria itu tidak pantas dikasihani. Dia layak menderita setelah kesulitan yang disebabkannya dalam kehidupan orang lain.
Jatuh cinta? Maksud baik? Pria itu perlu lebih banyak belajar apa arti cinta dan bagaimana menghargai hubungan asmara orang lain. Dia tidak bisa seenaknya mengklaim perasaannya dan melakukan apa saja demi mencapai tujuannya.
Cinta harus berjalan dua arah. Bila pria itu berpikir dia bisa menikah denganku dan bahagia hanya karena dia jatuh cinta kepadaku, dia salah. Dia hanya bisa bahagia bila wanita yang dicintainya mencintainya juga. Mungkin karena dia orang kaya raya dan terpandang, dia pikir gadis mana pun akan menerima lamarannya tanpa banyak pertimbangan.
Jantungku berdebar-debar melihat bus yang aku tumpangi hampir mendekati tujuan. Pada sore ini, aku dan kekasihku akan menghabiskan malam Minggu bersama. Pada hari Sabtu lalu, kami makan malam sambil menikmati pekan raya di tengah kota. Kali ini aku ingin menonton salah satu film yang sedang diputar di bioskop. Dia pasti menyukai film itu juga. Film laga suspense.
Aku tersenyum mengingat saat pertama kali dia tahu bahwa aku bukan fanatik film romantis tetapi selalu menuntutnya bersikap romantis. Mau bagaimana lagi? Walaupun aku suka film suspense, aku tetaplah seorang perempuan.
Ya. Sudah diputuskan! Malam ini kami akan menonton film lalu melanjutkan kebersamaan dengan makan malam di restoran kesukaanku. Apa yang terjadi pada hari ini perlu dirayakan. Hendra tidak akan mengganggu hubungan kami lagi.
Aku perlu segera memikirkan strategi untuk membujuk Papa dan Mama agar mau merestui hubunganku dengan Aldo. Secepatnya kami harus mempersiapkan pernikahan kami. Bisa saja pria arogan itu berubah pikiran dan datang lagi untuk melamarku.
Sudah biasa datang ke rumah di mana Aldo menyewa sebuah kamar, aku tidak menemui kesulitan untuk masuk. Orang-orang yang berpapasan denganku tersenyum kepadaku. Kalau biasanya aku menyempatkan diri berbincang dengan mereka, kali ini aku bergegas menuju kamarnya di lantai atas.
Dengan hati riang, aku melompat-lompat menaiki tangga. Dari ujung tangga, aku sudah bisa melihat pintu kamarnya. Tetapi sebuah pemandangan yang ada di hadapanku membuatku terdiam membeku. Aldo berdiri memunggungiku. Di hadapannya ada seorang wanita yang wajahnya berada begitu dekat dengannya.
Tangan kekasihku melingkari pinggang wanita tersebut. Mata wanita itu yang semula terpejam, perlahan terbuka. Tatapannya tidak fokus seolah-olah sedang berada di suatu tempat. Mungkin dia menyadari kehadiranku karena matanya bergerak ke arahku. Kami bertemu pandang.
Aku yakin bahwa aku melihat tatapan penuh kepuasan darinya. Dia memejamkan matanya kembali dan kedua tangannya melingkari leher Aldo. Jemarinya menyisir lembut rambut pria itu. Dengan sengaja, wanita itu menggerakkan kepala mereka sehingga aku bisa melihat dengan jelas mereka sedang berciuman. Bibir bertemu dengan bibir.
Aku mundur satu langkah. Mataku terpejam, tidak ingin melihat pemandangan itu lagi. Aku mundur lagi satu langkah, lalu satu lagi hingga akhirnya aku berada di lantai bawah. Aku bergegas berlari menuju ke luar rumah. Napasku terputus-putus, dadaku sesak, dan mataku memanas. Aku menarik napas panjang mencoba menenangkan diri. Tidak berhasil.
Kakiku melangkah dan melangkah dengan cepat menjauh dari rumah itu. Wajahku basah oleh air mata yang tidak berhenti mengalir. Dadaku sesak nyaris meledak dan aku tidak tahu bagaimana membuatnya supaya bisa bernapas lega lagi. Jantungku berdetak begitu cepat membuat dadaku semakin nyeri. Sakit sekali melihat langsung kekasihku, cintaku, mengkhianatiku dengan wanita lain.
Kami tidak pernah berciuman sebelumnya. Itu karena Aldo ingin memberikannya begitu kami menikah nanti. Aku tidak keberatan karena aku menghormati hubungan kami yang lebih dari sekadar kontak fisik. Kami banyak berbagi mimpi mengenai masa depan, ketakutan dari masa lalu, juga berbagi suka dan duka yang sedang kami alami.
Tetapi apa yang baru saja aku lihat? Dia mencium wanita lain. Aku ingin memberikan ciuman pertamaku untuknya, aku menjaga komitmen itu hingga detik ini. Tetapi apa yang dilakukan Aldo? Dia mencium wanita lain. Wanita lain! Dia bahkan terlihat begitu menikmatinya sehingga tidak menyadari kedatanganku.
Mengapa? Apa karena wanita itu lebih menarik dariku? Apa karena wanita itu memiliki daya tarik sensual lebih dari yang aku miliki? Mungkinkah selama ini dia tidak melakukannya karena dia tidak tertarik secara fisik kepadaku? Mungkinkah selama ini ucapan cintanya palsu dan tidak tulus?
Kami sudah tujuh tahun bersama. Tujuh tahun yang penuh dengan masa-masa indah. Apakah aku yang salah membaca sikapnya selama ini? Apa hanya aku yang sungguh-sungguh mencintainya tetapi pemuda itu merasakan yang sebaliknya? Itukah sebabnya dia hampir menyerah untuk terus meyakinkan kedua orang tuaku agar memberi kami restu?
Oh, Tuhan. Aku bahkan rela menikahinya dengan atau tanpa restu orang tuaku. Betapa naifnya aku. Aku berpikir bahwa cinta adalah segalanya. Aku berpikir bahwa Aldo sungguh-sungguh mencintaiku. Aku berpikir bahwa dia benar-benar ingin menikahiku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bila harus mengakhiri hubungan dengan Aldo, aku merasakan dadaku sakit. Tetap bertahan setelah apa yang dilakukannya, aku tidak sanggup. Bayangan itu akan terus mengikuti dan menghantui hubungan kami nanti. Aku bisa memaafkannya, tetapi aku tidak yakin bahwa aku bisa melupakan pengkhianatannya.
Melihat keadaan sekitar, aku mengedipkan mata. Aku sudah berada jauh dari rumah tadi. Kakiku sakit karena terlalu lama dipaksa berlari dan berjalan. Ada halte bus tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku menuju halte tersebut dan menunggu sampai bus tujuan ke rumah tiba. Aku beruntung karena aku mendapatkan tempat duduk kosong di dalam bus tersebut.
Hari sudah gelap saat aku tiba di rumah. Papa, Mama, dan Zach pasti sudah bersiap-siap untuk makan malam. Mereka tidak tahu bahwa aku akan pulang secepat ini. Pada hari Sabtu malam, biasanya aku menghabiskan waktu bersama Aldo, dan mereka tahu itu.
Tetapi malam ini, aku hanya ingin berbaring di tempat tidur. Menangis sepanjang malam, kalau perlu, ingin mengurangi rasa sesak di dadaku. Tidur adalah satu-satunya obat yang selalu berhasil menyembuhkan rasa sakit di hatiku.
“Ara, apa yang terjadi padamu?” tanya Mama dengan nada khawatir. “Sayang, apakah tadi kami bicara terlalu keras?”
“Ara, dengar,” ucap Papa begitu melihatku menutup pintu.
“Tidak perlu, Pa. Aku bersedia. Silakan kalian siapkan pernikahan impian kalian.”
Papa dan Mama membulatkan mata. Mereka saling bertukar pandang tanpa kata. Aku tidak menunggu respons dari mereka. Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Hidupku sudah berakhir. Cintaku sudah selesai. Aku tidak peduli lagi pada apa yang akan terjadi dengan hidupku. Aku tidak peduli dengan siapa aku akan menikah dan menghabiskan sisa hidupku. Yang penting, aku bisa secepatnya hidup dengan tenang lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Kevin Evander
setelah baca ulang gue ngerti sakit yg di rasakan zahara
2021-11-22
2
Kevin Evander
up up up donk kak
2021-10-30
4