Seorang anak hanya akan membuat pernikahan kami semakin rumit. Aku tidak akan bisa lepas darinya bila kami punya anak. Sekalipun suamiku memperlakukanku bak seorang ratu, aku tidak mengurung niatku untuk segera pergi dari pria itu selamanya.
Aku yakin akan ada jalan untuk mengakhiri pernikahan ini. Suatu hari nanti akan datang saatnya aku bisa pergi dari kehidupan yang memenjarakanku ini. Aku tidak keberatan menunggu dengan sabar hingga saatnya tiba.
Aku turun dari tempat tidur. Bunyi air di kamar mandi sudah berhenti. Aku memasuki ruang pakaian, lalu memilih kemeja berwarna putih, jas, dan celana kerja berwarna biru gelap. Mendengar bunyi pintu kamar mandi dibuka dan ditutup kembali, aku menoleh. Hendra masuk hanya mengenakan handuk di pinggulnya.
Dia berusaha mengenakan kemeja yang aku berikan secepat mungkin, memakai celana kerjanya, lalu aku menolong memasang dasinya dan memakaikan jasnya. Dia memilih salah satu jam tangannya dan bergegas memasangnya di pergelangan tangannya.
Cepat-cepat Hendra mengenakan kaus kaki dan sepatunya. Aku memberikan ponsel dan dompet miliknya. Aku menahan tawa melihat pria itu terburu-buru. Dia tidak pernah terburu-buru ke kantor. Kami menghindari berhubungan intim pada pagi hari karena hal itu. Suamiku menciumku sampai aku melihat bintang-bintang lalu bergegas keluar dari kamar.
Aku membawa pakaian kami ke penatu, lalu berbelanja kebutuhan untuk satu minggu di swalayan. Sepanjang sisa hari itu, aku menghabiskan waktuku di dalam ruangan khusus milikku. Dengan penuh konsentrasi, aku menyelesaikan novel fiksiku. Setelah perdebatan panjang dengan hati nuraniku sendiri mengenai akhir cerita buku tersebut, aku memutuskan untuk memberi akhir yang bahagia.
Sebagai penulis baru, bila aku nekat membuat akhir yang sedih pada buku pertama, aku akan kehilangan pembaca setiaku. Membuat cerita yang berakhir tragis akan sulit diterima oleh beberapa pembaca, maka aku memutuskan untuk melakukannya pada buku berikutnya saja.
Aku keluar dari ruangan itu hanya untuk makan siang dan menikmati kudapan sore. Yuyun dan Abdi melaporkan segalanya baik-baik saja di rumah. Menjelang kepulangan Hendra, aku keluar dari ruangan itu dan memastikan makan malam sudah siap untuk disajikan. Aku berjalan menuju pintu depan begitu mendengar bunyi kerikil di depan rumah. Abdi membukakan pintu dan suamiku masuk dengan senyum di wajahnya.
“Hai, sayang.” Dia menunduk dan mengecup bibirku. Aku membalas sapaannya. “Bagaimana kegiatanmu hari ini?” Dia melingkarkan tangannya di pinggangku sambil berjalan menaiki tangga.
“Lancar. Aku sudah menyelesaikan buku pertamaku,” ucapku dengan riang.
“Oh, ya?” ucapnya yang turut bahagia melihat wajah ceriaku.
“Aku akan mengirim alamat situs webnya untuk kamu baca.” Aku mengetikkan sesuatu pada ponselku. “Sudah terkirim.”
“Aku akan mulai membacanya sebelum tidur,” janjinya. Dan aku tahu bahwa dia akan menepati janjinya tersebut.
“Nanti beritahu aku apa pendapatmu mengenai buku itu, ya,” kataku setengah menuntut.
“Dengan senang hati.”
Setelah kami berada di dalam kamar, Hendra duduk di tepi tempat tidur dan membiarkan aku yang membuka simpul dasinya. Tangannya melingkari pinggangku. Aku tersenyum merasakan tatapannya itu. Aku melirik ke arahnya yang masih menatapku lalu kembali ke arah dasinya. Setelah selesai, aku membuka kancing teratas kemejanya.
“Buka semuanya,” ucapnya saat aku berhenti setelah membuka kancing tersebut. Aku menatapnya dengan bingung. Suamiku tersenyum penuh arti. “Aku serius. Buka semuanya.”
“Kamu tidak mau makan lebih dahulu?” Aku tahu apa arti permintaannya itu.
“Perutku bisa menunggu, hasratku tidak.” Dia tersenyum.
Aku tertawa kecil ketika dia mengangkat tubuhku dan membaringkanku di atas tempat tidur. Dia mencium pipiku, hidungku, mataku, dengan senyum penuh arti. Aku tahu bahwa dia sedang menggodaku. Aku membingkai wajahnya dengan kedua tanganku lalu mencium bibirnya. Dia tertawa. Dia membuatku bahagia dan aku terlelap setelah kami melakukan hubungan intim.
Aku terbangun beberapa saat kemudian dan menemukan diriku berbaring sendirian. Suamiku tidak berbaring di sisiku. Melihat jam di atas meja kecil, aku mengerang pelan. Sudah jam delapan malam. Seharusnya kami makan malam satu jam yang lalu.
Perutku yang protes minta diisi, memaksaku untuk bergegas bangun dan mandi. Aku memakai salah satu dress
berwarna ungu dengan kain tipis berlapis dan kardigan putih, memulas riasan seadanya, juga memakai sandal santai berwarna putih. Hendra pasti sudah menunggu di ruang makan. Tetapi dia tidak pernah makan tanpaku bila kami di rumah. Lalu mengapa dia tidak membangunkanku?
Tiba di ujung tangga, keningku berkerut melihat lampu di aula lantai satu padam. Mengapa Abdi sudah memadamkan lampu secepat ini? Dengan hati-hati, aku menuruni anak tangga dan berusaha mengingat arah saklar yang ada di dekat pintu.
Begitu kakiku menginjak lantai setelah turun dari anak tangga terakhir, tiba-tiba ruangan itu menjadi terang-benderang dan orang-orang yang ada di sekelilingku mengucapkan selamat ulang tahun. Jantungku nyaris berhenti karena terkejut.
Menyadari apa yang sedang terjadi, aku tersenyum lalu tertawa bahagia. Sebuah kue tar dengan begitu banyak lilin kecil didekatkan kepadaku. Darla dan Lindsey yang memegangnya. Aku meniup seluruh lilin hingga padam. Bisa ditebak lilin itu berjumlah tiga puluh. Usiaku saat ini.
Satu-persatu tamu mengucapkan selamat ulang tahun sambil memberiku kado atau buket bunga. Qiana datang bersama suami dan anaknya, begitu juga dengan Darla dan Lindsey. Mereka memberi kado dan buket bunga kepadaku. Kedua mertua memberiku sebuah kado. Zach memberiku buket bunga mawar merah. Kedua orang tuaku memberiku sebuah kado. Aku tersenyum ketika orang terakhir yang mendekatiku adalah suamiku.
“Kejutan yang menyenangkan,” ucapku geli. Dia memelukku. Aku melingkarkan kedua tangan ke pinggangnya dengan manja. “Jadi, itu sebabnya kamu merayuku di tempat tidur?”
“Selain karena aku tidak pernah berhenti menginginkanmu? Iya.” Dia tertawa kecil, lalu menunduk untuk mencium keningku. “Aku mencintaimu, sayang. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”
“Terima kasih.” Aku bisa melihat kesedihan di matanya karena aku tidak mengucapkan cinta. Hanya sekilas. Pria itu segera tersenyum menutupi kekecewaannya.
“Ayo, kita ambil makanan kita. Sebelum dijarah habis oleh mereka,” candanya.
“Maksudmu aku, Kak?” tanya Zach pura-pura tersinggung. Hendra dan aku serentak melihat ke arah piringnya dengan makanan yang menggunung. Spontan kami berdua tertawa. “Sana, sana! Pergi kalian dari hadapanku!”
Aku dan suamiku masih tertawa cekikikan saat mengisi piring kami dengan makanan. Tidak bisa menahan dirinya, Hendra menunduk dan mencium bibirku. Aku terdiam sesaat, lalu tersenyum. Dia tidak pernah mencium bibirku di depan orang lain, tetapi baiklah.
Aku membalas dengan berjinjit dan mencium bibirnya. Aku tersenyum melihat dia membulatkan matanya. Iya. Aku tidak pernah berinisiatif sebelumnya dalam kontak fisik kami. Selalu dia yang melakukannya lebih dahulu.
“Begitu cara memperlakukan istri dengan benar, Pa,” ucap Lindsey kepada suaminya.
Kami spontan saling menjauhkan diri dan melihat ke arah mereka. Wajahku memanas karena malu. Hendra melingkarkan tangan ke pinggangku penuh sayang. Dengan manja, aku membenamkan wajah di dadanya. Entah apa yang dipikirkan Lindsey dan Eduardo setelah melihat kejadian tadi.
“Hendra, kita perlu minum kopi bersama dan bicara tentang menaklukkan istri dengan benar. Istriku tersayang tidak berhenti mengeluh karena kamu memperlakukan istrimu lebih baik daripada aku memperlakukannya selama ini,” ucap Eduardo pura-pura sedih. Lindsey memukul pelan lengan suaminya. Aku tertawa kecil mendengarnya.
“Kalian sudah menikah selama dua puluh tahun, aku yang seharusnya belajar banyak darimu, Edu,” ucap suamiku merendah.
“Aku dan istriku tidak sepakat dalam hal itu,” kata Eduardo penuh arti.
“Papa,” protes Lindsey.
“Maafkan aku,” ucap Hendra penuh simpati.
“Aku hanya menerima maafmu bila kamu mau minum kopi bersamaku,” desak Eduardo. Hendra tertawa kecil lalu menyetujuinya. Lindsey masih cemberut karena ucapan suaminya tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Lina aja
kasian banget y....masa 6 tahun tanpa cinta.....rumah tangga apaan itu
2022-10-18
1
Doersdey Silalahi
aku pembaca setia loh kak Mei,tapi tak mengapa kalau sebuah kisah tidak happy ending😁😁😁😁🤭
2021-11-02
3
Zahara Letto
aku aja yg jadi zahara kak mei aku akan baik pada hendra suami idaman
2021-11-02
4