Tidak lama kemudian, seorang wanita masuk sambil membawa baki berisi teko, sebuah cangkir, dan sebuah piring kecil. Piring berisi sepotong kue cokelat itu diletakkan di atas meja. Begitu cangkir itu diletakkan di depanku, aku melihat isi cangkir tersebut adalah teh. Dari aromanya, aku bisa menebak itu adalah teh mawar.
Aku berterima kasih dan wanita itu pun meninggalkanku kembali. Aku mengambil cangkir dan menyesap tehnya. Hm. Aku jarang bisa menemukan teh mawar seenak ini. Berbeda dengan ruangan di rumahku, rumah ini memiliki penyejuk ruangan. Menjadi orang kaya memang enak, bisa membeli dan membayar apa saja sehingga hidupnya lebih nyaman.
Pintu ruangan diketuk dengan halus kemudian dibuka. Aku menoleh dan melihat Hendra berdiri dengan wajah memerah dan mata yang berbinar-binar. Rambutnya terlihat lembap, mungkin dia baru saja selesai mandi.
Hari ini dia mengenakan kaus hitam berbentuk V berleher rendah. Lengan kausnya yang panjang digulung hingga ke sikunya, memperlihatkan lengannya yang berisi. Tidak seperti penampilan biasanya, untuk pertama kalinya, aku melihat dia mengenakan celana jins. Aku meletakkan cangkir kembali ke atas tatakannya.
“Zahara? Aku senang sekali melihatmu menemuiku. Tidak perlu berdiri. Silakan duduk. Kamu mau makan sesuatu? Apa kamu lapar?” Dia bergantian melihat ke arah meja dan ke arahku.
“Aku tidak butuh apa pun. Kita perlu bicara,” ucapku dengan nada serius.
“Oh. Tentu. Tentu saja.” Hendra duduk di sofa di seberangku. Dia meletakkan kedua tangannya di atas lengan sofa dengan gugup. “Kamu cantik sekali. Baiklah. Ng … apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Kapan terakhir kali kamu bertemu dengan kedua orang tuaku?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Mm. Saat aku dan orang tuaku makan malam di rumahmu. Aku ingat aku melamarmu dan,” jawabnya dengan riang.
Aku segera memotong kalimatnya. “Kamu yakin itu terakhir kalinya kamu bertemu dengan orang tuaku?” Aku memicingkan mata. Tidak percaya dengan jawabannya itu.
“Iya.” Dia mengerutkan keningnya, terlihat bingung.
“Lalu kapan terakhir kali kamu bicara dengan mereka?” tanyaku lagi.
“Pada hari yang sama. Saat kami makan malam di rumahmu,” jawabnya tanpa ragu.
“Kalau kamu pikir kamu bisa berbohong kepadaku, Hendra, kamu perlu berpikir ulang lagi. Kapan terakhir kali kamu bicara dan bertemu dengan kedua orang tuaku?” tanyaku lagi. Kali ini dengan suara lebih keras.
“Aku tidak berbohong, Zahara. Aku bertemu dan bicara dengan mereka terakhir kalinya saat aku dan kedua orang tuaku makan malam di rumahmu.” Kening pria itu masih berkerut. “Ada apa? Apa tanpa aku sadari aku telah melakukan kesalahan lagi?”
“Iya. Kesalahan besar. Seharusnya kamu tidak melamarku lagi. Kamu tahu bahwa aku sudah punya pacar. Apa yang ada di kepalamu sampai kamu berani melamarku? Kamu bahkan melakukannya di depan keluarga kita. Aku sudah menolakmu sebelumnya, mengapa kamu melakukannya lagi? Mengapa, Hendra?” tuntutku kesal.
“Aku jatuh cinta kepadamu,” ucapnya tulus. Begitu tulus sampai aku merasa muak.
“Jatuh cinta? Kamu sebut itu cinta?” potongku tidak percaya. Dia memasang ekspresi serius.
“Iya. Kamu percaya atau tidak, aku serius mencintaimu. Bukan hanya pria itu yang bisa mencintaimu,” ucapnya sambil menatap kedua mataku.
“Jadi, hanya karena kamu mencintaiku, kamu melamarku. Begitu? Sekalipun aku tidak mencintaimu? Walaupun aku sudah punya pacar?” serangku.
“Kalian sudah lama berpacaran dan tidak juga menikah. Kamu masih wanita bebas, Za, berarti masih ada kesempatan untukku. Jadi, mengapa aku harus menahan diri untuk menyampaikan maksud baikku?” Dia mengangkat salah satu bahunya. Aku paling benci mendengarnya memanggilku Za. Hubungan kami tidak seakrab itu sehingga dia boleh memanggilku dengan nama itu.
“Maksud baik? Aku mencintai Aldo, Hendra. Kami akan segera menikah. Bukan urusanmu mengapa sampai sekarang kami belum menikah juga. Itu bukan berarti kamu masih punya kesempatan untuk bersamaku. Yang perlu kamu ketahui hanya satu. Aku sudah menolak lamaranmu. Berkali-kali. Jadi, berhenti mengganggu hidupku,” ucapku dengan tegas.
Pria itu menatapku tanpa berkedip. Aku menantang tatapannya dengan berani. Aku tidak mau membiarkan pria ini merasa berada di atas angin dengan intimidasinya. Aku sudah banyak mendengar tentangnya dari teman-teman dan orang lain. Dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Selalu.
“Apa yang tidak aku miliki yang dimiliki Aldo?” tantangnya.
“Oh. Itu pertanyaan yang mudah. Banyak. Dia tampan, baik hati, pekerja keras, mencintaiku sepenuh hatinya, setia, selalu berusaha membuatku bahagia, tidak pernah memaksakan kehendaknya kepadaku, ramah kepada semua orang, mencintai keluarganya. Aku bisa menghabiskan satu harian hanya untuk membicarakan kelebihannya.”
“Aku juga memiliki semua itu.” ucapnya tidak mau kalah.
“Oh, ya? Apa kamu pernah berkaca? Hidungmu terlalu besar, matamu sipit, bibirmu terlalu tebal, kulitmu terlalu pucat dan di atas segalanya, tinggi badanmu terlalu mengintimidasiku. Kamu egois, selalu menggunakan segala cara untuk mendapatkan apa yang kamu mau sekalipun itu dengan memaksa, arogan, angkuh, tidak punya rasa simpati, suka memandang rendah orang lain. Aku juga bisa menghabiskan waktu satu harian untuk membicarakan apa yang kurang padamu. Oh. Satu hal lagi. Aku tidak mencintaimu. Jadi, berhenti bermimpi, Hendra,” semprotku.
Wajahnya berubah dari serius ke sedih setiap kali aku menyebutkan satu-persatu kekurangannya. Aku nyaris mundur karena merasa bersalah. Nyaris. Tetapi aku tidak mundur dan terus maju serta mempertahankan ekspresiku tetap tegas. Aku mau dia yang mundur.
“Baik. Pesanmu cukup jelas. Aku tidak akan mengganggumu lagi,” ucapnya cepat. Aku terdiam. Aku menatapnya tidak percaya. Semudah itu? Dia menyerah?
“Apa aku bisa pegang kata-katamu itu?” tanyaku masih tidak percaya.
“Aku selalu memegang ucapanku sendiri,” katanya dengan tegas.
Aku melihat bibirnya bergetar. Matanya yang semula bersinar-sinar melihatku, kini menunduk dan menghindari tatapanku. Tangannya mengepal di kedua lengan sofa. Aku tidak suka melihat dia begitu bahagia, tetapi aku lebih tidak suka lagi melihat dia bersedih.
Aku benar-benar merasa bersalah telah melukai perasaannya. Tetapi aku harus melakukannya. Jika tidak, pria itu akan terus berpikir bahwa dia masih punya harapan bersamaku.
“Terima kasih. Aku permisi,” ucapku sambil berdiri.
“Baik.” Dia ikut berdiri. Dia membukakan pintu dan mempersilakan aku keluar lebih dahulu dari ruangan itu. Aku berterima kasih atas kesopanannya.
Kami berjalan beriringan menuju pintu depan dalam diam. Dengan sepatu berhak datar, puncak kepalaku hanya sejajar dengan bahunya. Pria ini terlalu tinggi untuk seleraku. Seorang pria tersenyum kepada kami di dekat pintu depan, pria yang tadi membukakan pintu untukku ketika aku datang. Pria tersebut membukakan pintu untuk kami. Hendra mengerutkan kening melihat ke arah pekarangan depan rumahnya.
“Kamu naik apa kemari?” tanyanya.
“Bus,” jawabku singkat. Apa dia pikir semua orang di dunia ini sekaya dia dan keluarganya? Aku tidak punya kendaraan pribadi.
“Jarak halte terdekat cukup jauh dari sini. Biar aku antar sampai ke halte.” Dia membalikkan badan, berniat masuk ke dalam rumah.
“Tadi aku naik ojek. Tidak apa-apa. Aku bisa hentikan ojek yang lewat,” cegahku. Kami baru saja saling mengucapkan selamat tinggal, apa dia lupa?
“Tapi ….” Dia melihat ke arah kakiku lalu ke arah pagar rumahnya.
“Tidak perlu repot. Aku sudah biasa berjalan kaki, Hendra,” tolakku lagi. Dia merapatkan bibirnya dan tidak membantahku lagi. “Aku pergi.”
Berjalan beberapa menit, aku tiba di gerbang depan. Seorang satpam membukakan pagar untukku. Setelah berterima kasih, aku keluar dan melihat ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda tukang ojek. Aku berjalan kaki menuju jalan utama. Mendengar bunyi mesin sepeda motor, aku menoleh. Seorang tukang ojek. Aku tersenyum melihat tidak ada penumpang di belakangnya. Kurang dari lima menit, aku tiba di halte tujuan. Saatnya untuk menemui kekasihku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
Lina aja
lanjut deh thor
2022-10-17
2
Rizki Anis
wanitany trllu sombong smpe mnghina fisik sgtu detailny
2022-01-05
3
Kevin Evander
kalimat terbaik lo mel
2021-11-22
3