Pada saat kami makan siang bersama, Lindsey dan Qiana memang selalu jujur mengatakan bahwa mereka cemburu melihat betapa manisnya sikap suamiku kepadaku. Namun aku tidak pernah menduga bahwa mereka menyampaikan hal itu secara terang-terangan kepada suami mereka.
Aku berpikir setidaknya mereka hanya meminta suami mereka untuk bersikap seperti saat mereka masih berpacaran, bukan malah menyebut nama Hendra sebagai contoh sikap suami yang harus ditiru oleh suami mereka. Aku jadi merasa tidak enak.
“Minum kopi?” tanya Helmut yang tiba-tiba saja sudah berada di dekat kami. Qiana yang berdiri di sisinya tersenyum kepada kami. Kami berempat menoleh ke arah pasangan tersebut. “Kelihatannya menarik. Apa kalian tidak akan mengajakku juga?”
“Apa istrimu juga mengeluh tentang sikapmu yang tidak lebih baik dari cara Hendra memperlakukan istrinya, Helmut?” tanya Eduardo penuh arti.
“Ouch!” Helmut memegang dada kirinya, seolah-olah kalimat itu telah menyakitinya. “Kamu juga?”
“Sudah jelas,” aku Eduardo. Spontan kami tertawa melihat wajah Qiana dan Lindsey memerah, membenarkan ucapan suami mereka. Aku tahu mereka mengetahui bahwa kami hanya bercanda. Mereka berdua tidak akan tersinggung melihat kami tertawa saat membahas tentang mereka.
“Bagaimana denganmu, Giovanni?” tanya Eduardo kepada suami Darla yang berjalan mendekati kami bersama istrinya. “Apa kamu mau ikut minum kopi bersama kami?”
Pria itu melihat ke arah kami satu-persatu lalu ke arah istrinya dengan bingung. “Aku tidak ingat bahwa kita mendadak menjadi teman baik. Setahuku hanya istri kita yang berteman. Itu pun karena kecelakaan kartu kredit,” canda Giovanni. Aku dan teman-temanku tersenyum penuh arti.
“Kalau istri kita suka menggosipkan kita para suami, mengapa kita tidak melakukan hal yang sama? Menggosipkan para istri?” canda Eduardo sambil mengangkat bahunya.
“Aku ikut,” jawab Giovanni dengan cepat. Spontan kami tertawa bersama.
“Aku tidak yakin kalian akan membicarakan kami bila kalian mengajak suamiku untuk minum kopi bersama. Yang ada di dalam kepalanya hanya urusan politik, politik, dan politik.” Qiana memutar bola matanya.
“Itu masih lebih baik, Qia. Suamiku tidak akan berhenti membicarakan mobil. Kalau sudah begitu, bulan depan koleksi mobil mewahnya pasti bertambah,” keluh Lindsey sambil mendesah pelan. Para suami saling memandang penuh arti mendengarnya.
“Benar ‘kan apa kataku? Di saat bersama kita saja mereka berani bicara yang tidak benar mengenai suaminya sendiri. Bagaimana lagi kalau di belakang kita?” ucap Eduardo berkelakar. Kami kembali tertawa bersama.
Kami jarang sekali bisa berkumpul bersama seperti ini. Aku tidak mengeluhkan pertemuan rutinku dengan ketiga sahabatku. Tetapi bertemu dan berbincang dengan para suami juga ternyata sangat menyenangkan. Apalagi mereka tahu bagaimana membuat suasana terasa dekat. Seolah-olah kami sudah terbiasa dengan pertemuan tersebut.
Lagi-lagi Hendra memberiku sebuah kejutan yang tidak akan mudah aku lupakan. Apakah akhir-akhir ini aku terlihat sedih sehingga dia merencanakan pesta kecil untuk merayakan ulang tahunku? Aku sedang disibukkan dengan proyek bukuku, jadi aku tidak punya waktu untuk bersedih. Mungkin suamiku hanya ingin membuatku bahagia pada hari peringatan kelahiranku.
Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arahnya yang sedang asyik berbincang dengan para pria. Menyadari bahwa aku sedang menatapnya, dia menoleh ke arahku. Dia membalas senyumanku dan mencium puncak kepalaku. Aku kembali menyimak Eduardo yang sedang berbagi sebuah lelucon yang membuat kami semua tertawa.
Aku bisa merasakan tatapan Qiana dan Lindsey yang ditujukan kepadaku. Aku berusaha untuk mengabaikannya. Hendra dengan posesif melingkarkan tangannya di pinggangku. Kami berdiri begitu dekat dan dia tidak kelihatan terganggu sama sekali. Andai saja kedua pasang mata itu tidak menatapku tanpa berkedip, rangkulan itu akan terasa nyaman bagiku.
“Aku harus ke toilet,” bisikku kepada suamiku. Dia tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
“Oke.” Dia menundukkan tubuhnya lalu mengecup bibirku, di situ juga, di depan mereka semua. Spontan wajahku memerah. Dari sudut mataku, aku melihat kedua temanku itu mengalihkan pandangan mereka dari kami.
Setelah pamit kepada mereka, aku menuju kamar mandi yang ada di kamar kami. Aku menatap cermin lalu menunduk sedih. Tiga puluh tahun dan aku tidak juga bisa menikmati hidup seperti yang aku inginkan. Melihat Lindsey dan Qiana menatap dengan cemburu karena rasa sayang suamiku kepadaku, aku merasa bersalah.
Kalau kedua sahabatku itu berpikir bahwa aku merasa bahagia dengan sikap Hendra kepadaku, mereka salah besar. Aku tersiksa dan ingin sekali lepas dari pernikahan ini secepatnya. Tetapi, bagaimana caranya?
Pria itu tidak pernah berhenti memberi kejutan kepadaku. Semua itu membuatku semakin merasa bersalah dan kesulitan lepas darinya. Aku suka kejutan. Sangat suka. Baik dalam bentuk barang, perhatian, atau pun pesta kejutan seperti yang sedang berlangsung sekarang. Hendra tahu betul itu. Tetapi bagaimana cara membuatnya mengerti bahwa aku tidak bahagia bersamanya?
Kalau aku hanya berkata secara gamblang bahwa aku ingin bercerai darinya, dia akan menanyakan alasanku. Bila dia tahu alasannya, dia akan meminta kesempatan untuk memperbaikinya. Pada akhirnya, kami tidak akan berpisah.
Tidak akan pernah karena Hendra akan berusaha membuat pernikahan kami menjadi lebih baik. Bukan untuk dirinya sendiri melainkan untukku. Dia akan melakukan apa saja agar aku bahagia dan tidak lagi berniat pergi darinya. Untuk hal yang satu itu, dia ahlinya. Dia selalu tahu bagaimana membuatku bahagia. Kalau sudah begitu, aku akan merasa bersalah pernah meminta cerai darinya.
Saat kembali ke lantai dasar, aku melihat para tamu sedang asyik mengobrol terhadap satu dengan yang lain. Mereka tampak menikmati makanan dan minuman yang bisa diambil sepuasnya. Aku tertawa melihat adikku tidak juga berhenti makan. Di salah satu sudut, aku melihat Hendra sedang berbincang dengan salah satu tetangga kami. Sepertinya dia tidak kehilanganku. Aku tersenyum.
“Hendra begitu bahagia.” Terdengar suara seorang wanita yang aku kenal dari arah belakangku. Cepat-cepat aku menoleh ke arahnya.
“Ma,” ucapku kepada Mama Naava, ibu mertuaku.
Tidak seperti ketiga sahabatku yang mempunyai hubungan yang rumit dengan ibu mertua mereka, aku cukup beruntung. Mama sayang kepadaku. Belum pernah wanita itu mencoba mengatur atau mengkritik hal yang aku lakukan. Baik itu mengenai diriku sendiri atau apa yang aku lakukan kepada putranya. Dia bahkan tidak mencoba mengajariku atau menasihatiku tanpa diminta.
Hubungan kami berdua baik dan sangat akrab. Mama sering menelepon sekadar berbincang atau mengajakku makan siang bersama. Tidak jarang, ibu mertua mengajakku belanja bersama membeli pakaian, sepatu, tas, atau kebutuhan sehari-hari.
Sisi baik dari hubungan kami, apabila Hendra mendebatku di depan mamanya, ibu mertuaku selalu berdiri di pihakku. Hanya dengan itu, aku bisa memenangkan perdebatan kami. Tetapi hal itu tidak membuat suamiku merasa kalah atau dicurangi. Dia justru bahagia melihat mamanya lebih memihak kepada menantunya daripada putranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
April
sejauh ini masalahnya ada di zahara !
tidak pernah bersyukur
hidup di bayang2i masa lalu
2022-02-17
1
Kenzo Brahmana Mama
aku gemes lihat Zahara.... kenapa dia gak bisa membuka hati ya?? 🤨
2021-11-15
3
Doersdey Silalahi
Zahara bahagia dan senang atas perlakuan Mahendra tetapi kenapa hatinya tidak bisa untuk Hendra kak Mei.Apakah Zahara msh mencintai mantanya???
2021-11-02
3