“Bangun, Putri Tidur.” Aku merasakan seseorang menyentuh pipiku. Aku menggeliat pelan. Mataku terlalu berat untuk dibuka, jadi aku memilih untuk menyerah saja. Aku kembali membiarkan rasa kantuk mengambil alih kesadaranku.
“Sebentar lagi. Aku masih mengantuk,” protesku. Aku mendengar suara tawa kecil lalu pipiku disentuh lagi.
“Aku harus ke kantor. Kalau kamu tidak bangun, aku bisa terlambat.” Begitu mengenali pemilik suara tersebut, aku mendesah pelan.
“Mandilah dahulu. Nanti aku bantu memasangkan dasimu,” ucapku tanpa membuka mataku.
“Ada yang lebih penting dari itu,” desaknya. Aku mengerang pelan. Kalau dia sudah bicara dengan nada itu, aku tidak bisa membantah lagi. Dia tahu bahwa aku bukan orang yang suka bangun pagi, sekarang pasti masih subuh. Kalau tidak, tidak mungkin aku mengantuk begini.
Perlahan aku membuka mata. “Apa?” tanyaku setengah mengantuk. Suamiku menolongku untuk duduk dan bersandar pada bagian kepala tempat tidur lalu dia meletakkan sebuah meja kecil di hadapanku. Aku melihatnya tidak mengerti.
“Selamat ulang tahun, istriku.” Dia mengecup bibirku. Aku tersenyum senang melihat makanan dan minuman yang ada di atas meja tersebut. Donat kentang cokelat, cupcake selai kacang, pai apel, segelas jus jeruk segar kesukaanku, dan segelas air putih.
“Terima kasih,” ucapku bahagia. Aku menatapnya dengan mata menyipit. “Seingatku kamu marah kalau aku makan semua makanan ini untuk sarapan.”
“Hari ini ulang tahunmu, pengecualian.” Dia mengecup bibirku lagi.
Tanggal adalah kelemahanku. Aku tidak pernah berhasil mengingat tanggal hari-hari penting bila hanya mengandalkan ingatan. Ada buku khusus yang aku miliki yang berisi hari istimewa sejak aku masih kecil. Setiap pagi aku membuka buku itu untuk mencari tahu siapa yang berbahagia di hari itu. Tetapi sejak ada pengingat di dalam ponsel, aku memanfaatkan aplikasi tersebut untuk mengingat hari istimewa orang-orang terdekatku.
Berbeda denganku, Hendra tidak demikian. Dia punya ingatan yang tajam dan selalu ingat tanggal penting tanpa bantuan alat apa pun. Tidak hanya tanggal ulang tahun istrinya, dia juga mengingat tanggal lahir kedua mertua dan adik iparnya.
Bahkan kedua orang tuanya sendiri sering melupakan tanggal pernikahan mereka. Hendra yang pertama kali mengingatnya. Ketika dia mengucapkan selamat, barulah kedua orang tuanya mengingat hari istimewa mereka tersebut.
Dan ini adalah ulang tahunku yang keenam kalinya sejak kami bersama dan Hendra tidak pernah melewatkan satu tahun pun untuk memberiku kejutan pada pagi hari. Kalau diingat-ingat, saat kami berteman dahulu di kampus dan bekerja di tempat kerja masing-masing, dia juga tidak pernah melupakan hari ulang tahunku.
“Andai saja hari ulang tahunku setiap hari.” Aku menggigit salah satu cupcake lalu menggumam pelan merasakan nikmatnya kue tersebut.
“Maka aku tidak akan mengizinkanmu memakan makanan ini,” ucapnya serius. Aku tertawa geli.
“Kamu sudah sarapan?” Aku melihat suamiku berjalan memutari tempat tidur menuju sisi tempat tidurnya sendiri.
“Belum.” Dia mengangkat meja kecil lain dari lantai kemudian duduk di sisiku. “Kita akan sarapan bersama.” Aku tersenyum geli melihat pilihan makanannya. Bubur ayam, roti bantal, dan kopi hitam.
“Serius tidak mau coba painya?” godaku sambil mendekatkan sesendok pai ke mulutnya.
“Tidak, terima kasih. Aku suka bentuk badanku, aku tidak mau merusaknya dengan makanan manis pada pagi hari.” Dia menyuap sesendok bubur ke mulutnya. Hendra rajin berolahraga, dia tidak akan merusak tubuhnya hanya dengan satu potong pai. Kadang-kadang pria itu bersikap berlebihan.
“Mm… Makanan ini enak sekali,” gumamku menggoda suamiku.
“Aku juga punya makanan enak usai sarapan,” ucapnya penuh arti. Aku menoleh ke arahnya. Begitu mengetahui maksud ucapannya tersebut, aku melihat ke arah jam digital yang ada di atas meja kecil di samping suamiku.
“Tapi kamu bisa terlambat nanti.” Aku mengerutkan kening. Hendra paling benci terlambat, dan itu berlaku juga untuk orang lain yang berjanji jumpa dengannya. Dia benci sekali dengan orang yang tidak menghargai waktu.
“Demi istriku, aku rela dipecat,” ucapnya setengah bercanda. Untuk memberi kesan dramatis, dia meletakkan tangan di dada kirinya.
“Kamu bosnya, siapa yang bisa memecatmu,” dengusku.
“Nah, kamu mengerti maksudku. Tidak ada kata terlambat bagi seorang bos besar,” ucapnya sambil tertawa kecil.
“Tapi Papa akan marah besar kepadamu,” ucapku mengingatkan.
“Tidak kalau aku beritahu alasannya.” Dia membersihkan bibirnya dengan serbet.
“Dan itu adalah?” tanyaku penasaran.
“Memberinya seorang cucu.” Dia mengerlingkan matanya. Aku tersenyum sambil menggelengkan-gelengkan kepalaku.
Begitu makanan dan minumanku habis, dia mengangkat kedua meja kecil kami dan meletakkan keduanya di atas lantai. Aku tersenyum ketika dia mendekatkan wajahnya. Dia menciumku dan kami berhubungan intim dengan lembut. Aku tidak pernah mengeluh kepada suamiku untuk hal yang satu itu. Dia tahu bagaimana membuatku puas di tempat tidur. Dia bukan pria egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Setelah berbaring bersama beberapa saat, aku ingin membersihkan diri. Aku duduk di tepi tempat tidur, lalu menarik napas panjang sebelum berdiri dan mendengar gerakan dari arah belakangku. Sikuku dipegang dari belakang, aku menoleh. Hendra meletakkan dagunya di bahuku.
“Untukmu.” Dia menyodorkan sebuah kotak dari beludru kepadaku. Aku membulatkan mata.
“Aku pikir kamu tidak akan memberiku hadiah setelah kejutan tadi,” ucapku bergantian melihat kotak itu dan ke arahnya.
“Aku tidak akan melewatkan satu ulang tahun pun tanpa memberimu hadiah,” ucapnya. Aku menerimanya dengan enggan. “Ayo, buka,” desaknya tidak sabar.
Aku membuka kotak itu, kemudian membulatkan mata melihat isinya. Ada sebuah kalung bertatahkan berlian di dalamnya. Aku tidak menghitungnya tetapi ada belasan berlian dipadu dengan titanium pada kalung tersebut.
“Hendra, barang yang kamu berikan kepadaku, semakin tahun semakin mahal. Aku tidak mau kamu melakukan ini untukku,” ucapku pelan, nyaris berbisik. Dia tersenyum lalu melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Mengapa tidak? Kamu istriku. Bagiku, semakin bertambah usiamu kamu semakin berharga. Aku mencintaimu, Za.” Dia mencium pipiku penuh cinta.
“Terima kasih.” Aku tersenyum saat dia mencium bibirku. Sebelum kami sempat memperdalam ciuman itu, dia menjauhkan wajahnya lalu menyandarkan keningnya pada keningku.
“Aku ingin sekali tetap berada di tempat tidur. Tapi Papa tidak akan segan memukulku kalau aku tidak muncul di kantor hari ini,” keluhnya.
Cepat-cepat Hendra masuk ke kamar mandi begitu melihat jam hampir pukul tujuh pagi. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya. Dia tadi begitu yakin untuk datang terlambat ke tempat kerja, tidak lama kemudian, dia malah berubah pikiran.
Aku memastikan dia sudah berada di dalam kamar mandi dan menunggu hingga air pancuran berbunyi, lalu mendekati nakas. Dari dalam laci, aku mengeluarkan sebuah kotak. Aku mengambil satu papan obat dan bergegas meminum salah satu pilnya. Pil itu telah menyelamatkan hidupku. Hendra tidak tahu bahwa kami tidak akan pernah bisa punya anak selama aku meminum pil itu usai kami melakukan hubungan intim.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 260 Episodes
Comments
langit sore
oooo.... tidak zahara. susahnya kau cinta sama hendra dan memberi nya anak.
2022-05-25
1
Butet766
jahat si zahara
2021-12-19
1
Rina Arlita
kak Mel... zaharanya kok jhat sich..
klu gitu bang hendranya bwt ak aja y ka Mel.. boleh y kak..🤣🤣🤣🤭🤭
2021-11-06
3