Sebuah ketukan lembut terdengar dari pintu ruang kerjaku di rumah sakit pusat kerajaan sore itu.
“Kak Opal,” sebuah suara manis yang sudah sangat kukenal menyapaku, Platina.
Gadis itu memunculkan kepalanya sedikit di pintu tetapi tidak berani masuk ke ruangan. Memberikan senyumannya yang manis bak malaikat padaku.
Beberapa hari belakangan ini, Platina selalu saja datang padaku di tempat dan jam yang sama, di ruang kerjaku di Rumah sakit, sesaat sebelum berakhirnya sift jagaku di sore hari. Sesaat sebelum aku akhirnya bisa pulang meninggalkan rumah sakit ini. Melupakan tugasku sebagai seorang dokter dan kembali menjadi seorang Opal Sumeragi saja.
Lalu untuk apa dia melakukan ini? Semata-mata hanya untuk berkonsultasi tentang menu makan siang yang akan dibuat oleh dirinya dan Saphir untuk kami. Untuk aku, Jasper, Diamond dan Zircon yang setiap harinya berlatih bersama dari pagi sampai sore.
Segera kumatikan komputer hologramku dan menghampiri gadis itu. Entah kenapa akhir-akhir ini aku jadi selalu menantikan kedatangannya, hatiku berbunga dan ada desiran aneh di dadaku setiap kali gadis ini muncul di pintu ruanganku.
Sesuai dengan namanya, Platina memiliki kulit yang putih bersih bercahaya dipadu dengan rambut pucatnya yang dibiarkan terurai panjang bagaikan ombak di punggungnya.
Berbeda dengan Saphir, platina termasuk tipe gadis yang kalem, feminim, lemah lembut dan sedikit manja. Maklum sebagai anak tunggal tentunya dia sangat dimanja oleh Bibi Emerald dan paman Euclase. Yang pasti dia ini gadis yang sangat manis dan bagaikan embun penyejuk untuk pikiran ruwetku tentang ‘mission imposible’ kami.
“Kenapa tidak langsung masuk saja? Tak perlu terlalu lama menungguku membukakan pintu.” Kubukakan pintu untuknya dan kupersilahkan dia masuk.
“Tidak apa-apa, Tina takut mengganggu Kak Opal” Jawabnya kalem, membuatku semakin gemas saja melihatnya.
“Ehm ini...,” dengan sedikit ragu dan malu-malu diletakkannya sebuah bungkusan di atas mejaku.
“Kakak belum makan kan?...Er, ini masakanku. Kalau tidak keberatan silahkan dicoba.” Lanjutnya sambil tersenyum sangat manis.
Senyuman manis yang mampu membuat pria normal manapun tak akan sanggup menolaknya.
Tapi tidak untukku! Bukannya aku pria tidak normal lho ya, tapi karena aku tahu betul seperti apa hasil dan rasa dari masakan Platina...Parah. Gak bisa dimakan.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Aku tahu dimana cafe yang menjual makanan enak. Kamu mau kan menemaniku?” Aku berusaha menolak secara halus.
Platina hanya diam tak bereaksi sambil terus menatap bungkusannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sepertinya masih berharap aku mau memakan tau sekedar mencicipinya.
“Hasil masakanmu biar kubawa pulang dan kumakan nanti di rumah saja,” bujukku padanya. Padahal sampai rumah jelas harus diamankan di tong sampah.
“Paling tidak cicipilah sedikit sebelum pergi,” pintanya dengan nada memelas dan sedih.
Gadis itu mulai berkutat membuka bungkusannya tanpa bisa kucegah. Tak lama kemudian dia menyodorkan sepiring makanan yang hancur tak berbentuk dan berwarna kehitaman gosong padaku.
Aku terbelalak kaget, bukan karena rupa makanan hancur di hadapanku (bisaanya bahkan jauh lebih parah lagi).
Tetapi terlebih lagi karena kaget melihat sepuluh jari yang membawanya terbalut plester! Entah mengapa rasanya dadaku sesak dan hatiku sakit seperti ikut tersayat melihatnya.
Akhirnya aku luluh dan mengalah juga padanya. Kuulurkan tanganku menerima piring makanan itu dengan senyuman lebar lebar terkembang.
Kucoba untuk memakan hasil masakan itu. Tiap suapnya kulahap dalam sekali telan saja sambil sesekali memejamkan mata untuk menyamarkan rasanya yang gak karuan.
Bagaimanapun sebagai putri seorang menteri, Platina memang tak pernah menginjakkan kaki sebelumnya di dapur. Menu pelajaran yang didapatnya juga tak jauh berbeda dengan kami para pria.
Kalau sekarang dia mau bersusah payah belajar memasak sampai semua jarinya terluka begitu juga demi kami, kakak-kakaknya. Kami yang tidak pernah mau menghargai usahanya, bahkan cenderung menghina dan meremehkan hasil masaknnya.
“Bagaimana?...” Platina menatapku penuh harap dan mata berbinar-binar. Mungkin dia heran dengan betapa rakusnya makanku. Mungkin dia mengira aku makan lahap karena saking enaknya masakannya.
“Lebih baik daripada yang sebelumnya,” jawabku berusaha menghibur sehalus mungkin tapi juga tidak terlalu berbohong.
“Begini Tina, kau tidak boleh memaksakan dirimu seperti ini lagi. Janganlah kau lukai dirimu lagi seperti ini.” Kuletakkan piring makananku di meja setelah beberapa suapan. Tenggorokanku rasanya sudah memberontak ingin memuntahkan semua makan tadi, tapi kutahan.
Kuraih kedua jemari tangannya, kuperiksa luka-luka pada jemariya itu dan kutatap lekat-lekat wajahnya. Ada suatu getaran aneh di dadaku saat kutemukan matanya jernihnya, aku ingin melindunginya! Tak ingin dia terluka lagi!
“Tak apa, luka ringan ini tak sebanding dengan latihan berat yang harus kalian jalani setiap hari... Aku, aku dan Saphir hanya ingin membantu semampu kami...”
“Tapi tak perlu sampai seperti ini juga kan?” Desakku padanya.
“Kalau ingin belajar memasak yang ‘aman’ datanglah ke rumah. Kak Amethys pasti tidak akan keberatan mengajari kalian...”
“Selalu saja Kak Amethys!” Tiba-tiba nada suara Platina meninggi demi mendengar nama kakak perempuanku disebut.
“Apapun yang kami lakukan Kak Amethys pasti lebih baik dari kami. Bilang saja kalau masakannya lebih enak dari masakanku!”
“Tentu saja, masakan Kak Amethys itu sudah sekelas koki istana,” jawabku berusaha mencairkan suasana.
“Tak perlu malu atau iri hati, setiap orang memilki kelebihan dan kekurangannya masing-masing...”
“Dia sempurna! Dia bisa melakukan segalanya dengan sempurna! Tak pernah melakukan kesalahan sedikitpun.” protes Platina.
“Kalian para pria juga selalu menanggapi keberadaannya. Dia dengan kecantikannya, kecerdasannya dan segala kesempurnaannya. Dia selalu menjadi pusat perhatian. Tidak seperti aku dan Saphir yang selalu diacuhkan dan dianggap sebagai anak kecil tak berguna oleh kalian semua.”
“Astaga! Tidak ada sedikitpun pikiran itu terbesit dalam pikiran kami. Kalian berdua juga memiliki arti tersendiri bagi kami.” Kuusap dan kuelus lembut puncak kepalanya, berusaha menenangkan dan meyakinkan gadis yang sedang ngambek ini.
“Kalau soal Kak Amethys, kalian cuma belum mengenalnya saja. Dia bukanlah manusia yang sempurna, tetapi dia memang selalu berusaha untuk yang terbaik bagi semuanya...Tapi sebenarnya dia juga sama saja seorang gadis biasa."
"Ehm, besok pagi kau bisa melihatnya sendiri bagaimana kakakku itu. Besok akan ada pertemuan dengan semua paman dan bibi di rumahmu, ajaklah Saphir juga untuk menghadirinya....”
Setelah suasana canggung di antara kami sedikit mereda, kuselesaikan urusanku di rumah sakit. Menyelesaikan entry-an medical record pasien-pasienku ke dalam komputer. Serta memberikan advice tindakan dan obat-obatan yang harus diberikan pada pasien-pasien yang menjadi tanggung jawabku. Untuk jatah malam dan pagi hari mereka besok.
Platina dengan setia menunguiku bekerja dengan sabar. Gadis itu duduk-duduk di sofa dan mononton holovision, sejenis televisi tiga dimensi seperti layar hologram. Menonton tentang program masak memasak yang entah dia dapat mengerti atau tidak pengaplikasian realnya. Karena nyatanya untuk benar-benar memasak tidaklah semudah melihat di layar hologram begitu. Tina mencatat beberapa hal yang dikatakan chef di acara tersebut.
"Aku sudah selesai..." Ujarku mematikan layar komputer di hadapanku dan merapikan tumpukan rekam medis di atas mejaku.
"Baiklah, mari kita pulang." Platina mematikan power holovision yang sedang ditontonnya tadi.
"Langsung pulang? Gak jadi ke cafe dulu?" Aku menawarkan ajakan kencan tipis-tipis padanya.
"Langsung saja ya soalnya aku tadi cuma ijin keluar sebentar sama ibu." Platina menolak.
Yaampun ini anak penurut banget si sama ibunya. Sangat manis dan menggemaskan. Mana ada coba anak jaman sekarang yang ijin keluar sebentar sama ibunya dan benar-benar dilaksanakan untuk hanya sebentar keluarnya. Gadis ini begitu jujur dan murni tak ternoda...Platina.
Akhirnya aku menurut saja, tak ingin membuatnya terlibat suatu masalah dengan orang tuanya. Kuantarkan Platina pulang ke paviliunnya dari rumah sakit. Kami berdua pun segera melaju dengan mobilku meninggalkan komplek rumah sakit, menyusuri jalanan perkotaan dan berakhir di kompleks istana.
Menuju gedung bertingkat yang mewah dengan fasilitas super canggihnya, Paviliun para mentri. Aku jadi sedikit menyesal karena tidak jadi mengajaknya ke cafe. Harusnya tadi sedikit kurayu atau kupaksa saja gadis itu agar menurut.
Ah sudahlah mungkin lain kali saja.
________#________
🌼Yuuuuks say PLIIIIS jangan lupa kasih SUBSCRIBE, LIKE, dan KOMEN 🌼
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Erza Scarlet
aih benih cinta mulai bersemi
2021-02-22
1
princes Nadine
pasangan lainnya ya
2021-02-22
1
Kadek
Doble like kk ya
2020-07-13
1