Hari itu terasa singkat, kelas pun sudah berakhir.
"Pris, kantin yuk?" ajak April bersama Sinta disebelahnya.
"Gue rencana mau ngerjain tugas kelompok sih sama Radit and Brian. Cuma kok Radit ngga keliatan ya hari ini?"
"Lah, gimana sih kan lo yang janjian?" celetuk Sinta.
"Iya, Brian juga kemana ya? Tadi izin keluar kelas, gue kirain ke toilet tapi ga balik-balik sampe kelas selesai." Tak lama ponsel Priska berbunyi menandakan chat masuk.
"Pris, Nanti tunggu gue aja ya. Gue baru otw ke cafe". Ucap Radit pada chatnya untuk Priska.
"Yaudah yuk, mending ke kantin dulu. Daripada lo di cafe bengong sendirian." Ajak April, Priska pun mengangguk mengiyakan ajakan sahabatnya itu.
Setelah sampai di kantin mereka masing-masing membawa pesanan ke meja. Ketika mereka sedang asyik menyantap makan siang, dari kejauhan ternya Ridho sedang mengamati dengan serius Priska dan kawan-kawan. Ia berjalan menghampiri mereka, Priska yang sedang tertawa dengan obrolan bersama sahabatnya tiba-tiba terdiam melihat kedatangan Ridho.
"Abis ini bisa ngobrol sebentar, Pris?"
"Eee.." Priska hendak menjawab.
"Kalo mau ngomong disini aja, nggak liat Priska lagi makan?" timpal Sinta dengan wajah sinisnya, sangat terlihat ia tidak menyukai Ridho.
"Ini urusan gue sama Priska, kenapa lo ikut campur?"
"Lho, Priska juga ngga masalah kok gue ikut campur. Lo cowoknya juga bukan, kenapa ngatur-ngatur?" Nada bicara Sinta makin meninggi.
Ridho yang kesal pun menghela nafas dengan wajah muramnya dan menendang botol kaleng yang berada di dekat kakinya kemudian meninggalkan tempat itu. Semua mata orang-orang di kantin pun tertuju pada mereka.
"Gila kali ya tuh orang." Ucap April saat Ridho sudah pergi menjauh.
Tak sengaja Brian yang sedang menuju kantin melihat Priska dan kawan-kawan memunggunginya dari kejauhan, tapi cukup terdengar suara obrolan mereka.
"Lagi sih lo Pris, lembek banget jadi orang. Lo itu harus bisa nolak, kalo kayak gini dia bakal gini terus ke elo" Sinta mencoba menasihati Priska.
"Iya, tegas dong Pris. Iya ya iya, engga ya engga." April menimpali.
"Kan lo sendiri yang bilang waktu itu mau beraniin diri bilang engga ke dia." Ungkap Sinta. Priska hanya tertunduk sambil mengaduk-aduk mie ayam yang ia pesan.
"Gue cari-cari dari tadi ternyata lo disini."
Priska menoleh saat mendengar suara tersebut dan mendapati Brian menghampirinya.
"Brian? Gue kira lo pulang tadi."
"Engga kok, gue tadi abis dari toilet terus mampir dulu ke gedung olahraga."
Sinta dan April saling melirik kemudian melihat Brian.
"Oh gitu. Terus jadi kan kita ngerjain tugas bareng?"
"Masa ngga jadi? lo abisin aja dulu makannya. Gue tunggu di deket gerbang ya."
"Oh, oke." Priska mengangguk pelan. Lalu Brian pun meninggalkan mereka.
"Pris, Brian lagi pedekate sama lo ya?" bisikan Sinta membuat Priska tersedak.
"Uhuk! Ya engga lah, orang cuma ngebahas kerja kelompok. Pemikiran lo mulai ngada-ada nih."
"Ya namanya juga nebak, abis selama gue sekelas sama dia, kayaknya ngga pernah nyamper-nyamperin cewek gini. Apa lagi tugas kelompok kan nggak cuma sekali ini doang."
"Iya ya, kayaknya Brian pernah juga sekelompok sama Diana waktu mata kuliahnya Pak Indro." April mencoba mengingat.
"Namanya orang pedekate mah pasti nya ngedeketin gue dulu, coba ngechat hal-hal yang ngga penting. Ini gue sama dia biasa aja kok. Nggak ada yang omongan yang gimana-gimana."
"Tapi kalo Brian ternyata punya tujuan kesitu, lo mau, Pris?" pertanyaan Sinta membuat Priska kaget lagi, tapi kali ini dia terdiam.
"Mana mungkin kali, ngingo lo ah. Udah deh jangan ngekhayal yang nggak mungkin." Gerutu Priska.
"Iya juga ya, lagian gosip yang beredar kan kita juga belum tau itu beneran atau ngga. Kita liat aja Brian beneran straight atau ngga" April membuat kesimpulan. Priska hanya terdiam.
Sedangkan Brian ketika berjalan sendirian menuju gerbang merasa ada yang aneh dengan orang-orang disekitar yang terus melihat ke arahnya, mereka juga berbisik ketika melihat Brian.
"Itu Brian yang di bilang homo itu ya?" Bisik seseorang ketika melihat Brian lewat. Brian yang merasa risih pun mencoba tidak menghiraukan.
***
"Oke udah kelar ya tugasnya" ucap Radit seraya menutup laptopnya dicafe itu. Begitu juga Brian dan Priska yang juga menutup laptop mereka. "Lo pulangnya gimana, Pris? Mau gue anter?"
"Oh, ngga usah Dit. Ini gue lagi pesen ojek online." Jawab Priska sambil sibuk mengecek ponselnya.
"Ojek? Bukannya lo biasa pulang naik busway?" tanya Radit. Brian hanya terdiam melihat mereka.
"Eee..sebenernya karna gue mau ngehindarin gang depan rumah gue sih, soalnya sekarang udah sore." Jawab Priska sedikit malu.
"Emang kenapa kalo sore?" Radit semakin penasaran.
"Gue mau hindarin rumah di gang depan, soalnya tiap sore pasti anjingnya diajak jalan-jalan sama pemiliknya." Priska terseyum garing karena sedikit malu mengakuinya.
"Oh, lo takut sama anjing, Pris?"
"Ee... Iya, Dit. Hehe."
"Oh gitu, pasti galak tuh anjing ya. Emang jenis anjingnya apa Pris?" Radit kembali bertanya.
"Hmm anjing pudel."
"Hah? Pudel? Hahaha, bukannya itu jinak ya?" Radit tertawa lebar mendengar jawaban Priska. Tapi tidak dengan Brian, ia hanya diam melihat Priska yang tersenyum canggung.
"Iya sih jinak, tapi gue tetep aja takut sama semua jenis anjing." Jelas Priska.
"Itu namanya phobia. Phobia emang nggak mudah bagi penderitanya dan kadang menurut orang lain nggak masuk akal. Bahkan pernah ada yang phobia sama selotip." Ungkap Brian dengan ekspresi datarnya. Seketika Radit yang tersenyum menjadi ikut terdiam.
"Oh, gitu. Iya ngerti sih Bri masalah phobia. Cuma gue nggak nyangka plus kaget aja Priska phobia sama anjing. Beneran lo phobia sama anjing Pris?"
"Eeee, iya Dit."
"Oh gitu" Radit mengangguk pelan.
"Ojeknya udah sampe nih, gue duluan ya semua." Priska melambaikan tangan pada dua cowok ganteng itu dan meninggalkan mereka.
Ketika Priska hendak menaiki motor ojek, ia melirik kembali ke arah cafe dan terlihat Brian yang juga sedang melihat ke arahnya. Ia pun menjadi sedikit salting dan menoleh balik dari tatapan Brian.
Itu orang bisa langsung ngerti gitu gue phobia sama anjing? Gumam Priska sambil memakai helmnya. Ia pun pergi meninggalkan cafe itu.
"Btw itu phobia sama selotip jangan bilang Joe orangnya?" Celetuk Radit yang masih nongkrong di cafe bersama Brian. Brian yang mendengarnya pun tersenyum kecil.
"Joe itu bukan phobia selotip, dia phobia cewek makanya jomblo."
"Hahaha, iya juga ya. " Radit tertawa puas. Joe yang sedang nongkrong bersama Aldi pun bersin lagi kali ini.
***
Sesampainya di rumah Priska membuka pagar gerbang rumahnya dengan perasaan lega karena tidak bertemu dengan anjing pudel itu. Tiba-tiba saat hendak masuk ke dalam rumah, ponsel Priska berbunyi notifikasi pesan masuk.
"Pris, udah sampe rumah?" tanya sesorang pada pesan itu yang ternyata adalah Ridho. Ia pun mengabaikan pesan itu. Dan ada pesan lagi bertanya dengan hal yang sama, kali ini Radit.
Ini cowok-cowok, bisa pada sama gini chatnya?
"Iya udah, Dit." Priska membalas pesan dari Radit.
"Besok pagi ada yang mau gue omongin ya, Pris." Balas Radit.
"Ngomongin apa, Dit?"
"Liat aja besok pagi, Pris."
***
Disebuah lorong gedung rumah sakit terdapat sebuah pintu yang bertuliskan "ruang terapis", didalamnya seorang psikiater menulis sebuah resep obat untuk seorang pasien.
"Oke, terapi kali ini cukup sekian." Ucap seorang dokter.
"Baik, dok. Terima kasih." Jawab Brian seraya bangun dari sebuah sofa.
"Oh, iya mas Brian. Anda juga harus stimulasi sendiri untuk sembuh."
"Stimulasi sendiri, dok?"
"Iya, bisa di coba dulu berjabat tangan dengan teman. Di kampus banyak teman perempuan kan?"
"Ada sih, dok."
"Nah, ayo mulai di coba. Jangan takut, kalau ngga di praktekin percuma hipnoterapi disini."
"Baik, dok." Jawab Brian dengan wajah seperti memikirkan sesuatu.
Malam itu sepulang dari rumah sakit, Brian kembali ke kampus dan menuju lapangan basket, ia bermain basket seorang diri hingga berpeluh. Ia pun tersungkur di pinggir lapangan sambil melap keringat di dahi dengan handuknya. Ia terdiam memikirkan tatapan orang-orang di kampus kala ia sedang menuju gerbang tadi, kemudian Brian menghela nafas panjangnya dan bersegera meninggalkan lapangan basket.
Keesokan harinya Brian datang ke kampus, hari ini ia membawa mobilnya. Ia pun turun seraya melepas kacamata hitamnya dan semua mata tertuju pada Brian. Ia tak langsung berjalan ke kelas melainkan bersandar pada pintu mobilnya yang tertutup, sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Tak lama Priska yang hendak menuju kelas melewati parkiran mobil, ia pun melihat Brian. Kali ini Priska mulai cair dan berani menyapa lelaki itu. Seperti perempuan lainnya yang juga melihat Brian hari itu pasti berpendapat sama, Brian sangat tampan hanya dengan setelan kemeja dan celana jeansnya saja membuat Priska cukup terpesona.
"Bri? Nggak masuk kelas?"
"Iya, ini gue mau ke kelas. Tapi gue lagi nunggu lo."
"Hah? Nunggu gue? Kan mata kuliah perpajakan masih nanti siang?"
"Bukan masalah tugas kelompok. Bisa ikut gue sebentar ke taman?" ajak Brian, wajahnya terlihat santai tapi Priska merasa sedikit salah tingkah pagi itu.
"Oh, oke." Priska pun mengikuti langkah Brian ke taman kampus yang masih agak sepi karena masih pagi hari.
Setelah sampai di taman Brian pun berdiri menghadap Priska. Di waktu yang bersamaan Radit juga baru saja sampai di kampus, ia pun menoleh ke kanan dan kiri mencoba mencari seseorang, tak lama kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan mencari nama Priska, ia pun menelepon nomor itu.
"Jadi gue to the point aja ya Pris." Ucap Brian.
"Iya Bri, kenapa?"
"Gue mau kita jadian."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Eka Hafiz Alfarizi
waduh... langsung2 aja mas Brian... awas anak orang jantungan mas😁😁
2020-11-20
0