Pupil Shena membesar pesat. Entah karna refleks atau hal lain, saat detik pertama dia melihat kilat dari serangan, secara tidak sengaja dia ikut melepaskan tembakan. Dan hasilnya mungkin harusnya memang seperti itu.
Serangan Tuan Muda Shing lenyap diujung jalan. Alhasil, Pihak putih maupun hitam sama-sama terkena dampak dari wujud refleks Shena.
Hanya saja satu pihak sedikit lebih baik. Bai Xiang buru-buru di tangkap oleh ketiga orang dipihaknya. Sedangkan sang lawan mundur dengan cepat, menyeret debu tanah bersamanya. Untung saja dia masih bisa berdiri.
Shena? Dia sedang membatin, mengagumi kemampuannya sendiri. Aku sehebat itu? Sungguh? Ah, tentu saja! Li Yue ini bukankah juga mendapati julukan giok biru semasa perguruan? Oh ya! Tingkat kultivasinya bahkan sama dengan mumi es itu! Uhuuuu aku keren! Yuhuuu!
Deru nafas disusul desisan terdengar dari seberang. Tuan Muda Shing agaknya terpukul berlebihan. Seraya bangkit, dia tersenyum.
Tertatih-tatih, dia mencoba mendekat. Menyedihkan. Kaki yang dipaksa berjalan, disertai senyuman bengis itu ... Uhhh!
"Tak kusangka, nona ini sepertinya bukan gadis yang hanya pandai beradu mulut." Setelahnya, dengan sangat lirih Tuan Muda Shing mengeluarkan umpatan khasnya.
Saat mendengarnya samar-samar Shena agak bingung. Kenapa umpatannya aesthetic sekali? Lupakan.
"Tapi apa ini berpengaruh padaku?"
Dimulai! Yee! Dimulai!
Denting pedang mendengung, angin mengikuti pedang. Ringan, namun mematikan.
Jurus demi jurus diadukan. Serangan demi serangan saling bertabrakan, menyerang dan berusaha menangkal serangan lawan.
Kali ini giliran Shena yang bertarung jarak dekat. Mata melawan mata.
Pupil dalam Shena mencoba mengebor isi dari netra Tuan Muda Shing. Hanya satu yang sedari tadi ia dapat, kebencian yang mengalir bersama darah.
Hanya beberapa detik sebelum akhirnya Tuan Muda Shing menyentak tangan, membuat pedang yang sedari tadi di tahan oleh pedang Shena terbebas dari tekanan. Shena berkelit mundur, kemudian berputar.
Belum sepenuhnya Shena berpindah ke belakang, tangannya menangkap lengan si lawan. Memutarnya, mengurungnya dipunggung dengan tubuhnya sebagai penutup. Gerakannya secepat bersin. Seringan capung di atas air.
Tangan satunya lagi yang mengangggur tapi masih menyangking pedang ia dekatkan ke leher menggoda Tuan Muda Shing.
Dalam jarak sedekat ini, dan seintim ini. Shena bisa memprediksi apa saja yang akan terjadi kedepannya. Dengan cepat lengan Tuan muda Shing yang tadi ia putar dia buat seolah menjadi sabuk, hanya saja membelit area dada bukannya pinggang. Juga, dikarenakan keterbatasan panjang pedang, pedang itu hanya bisa membelit kurang dari separuh dada.
Ujung pedang yang lancip berada tepat di samping jantung, menekan kulit. Siap menusuk jantung apabila Tuan Muda Shing berniat membalik posisi
Bilah pedang ramping yang mengkilat itu terlihat menawan. Ini belum sepenuhnya selesai pemirsa. Tuan Muda Shing masih memiliki satu tangan. Dia berniat menyemburkan serangan lewat lengan kirinya yang dianggurkan. Tapi siapa sangka si lawan lebih cekatan.
Shena sudah menduga hal ini akan menghampirinya. Jadi saat dia melihat picingan mata dan gerakan kecil, dia buru-buru menarik pangkal pedang mundur sedikit, menarik beberapa centimeter kebawah.
Pernah melihat hewan kambing atau sejenisnya disembelih dan kulitnya diambil, lalu kulit itu diseretkan pada pisau besar? Pisaunya di balik, bagian yang ramping di atas sehingga memudahkan prosesnya. Begitulah gambaran posisi pedang Tuan Muda Shing di keteknya.
Mengakibatkan tekanan yang menangkal adanya pergerakan lebih jauh dari Tuan Muda Shing.
Keadaan Tuan Muda Shing kini kurang menguntungkan. Satu tangannya ditahan dibelakang dan dibuat sebagai senjata untuk menahan tangan lainnya. Keteknya terancam tersayat, dan lengannya berkemungkinan tidak bisa lagi bertengger gagah jika seperti ini terus.
Eh, bukankah masih ada satu lagi yang bisa digerakan? Telapak tangannya, masih berdiri diudara kosong.
Bola asap berpusat, dan akhirnya melesat. Sial sekali, lawannya selicin ikan yang sering dimandikan.
Tak kena, meleset sepenuhnya. Shena tersenyum meremehakan. Dia melirih, "Bagaimana apa ini tetap tidak berpengaruh padamu errr ...."
"Shing Shu." Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, dia kembali membalas, "Tentu tidak."
Sedetik setelahnya, tubuh kokoh dan keras itu seolah menguap. Tergantikan dengan asap hitam yang kemudian terbang. Berkumpul kembali tepat di belakang pihak lawan.
Shena masih loading, mendapati itu Jia Li bersegera berseru. "Awas! Di belakangmu!"
Entah material apa yang menjadi komposisi tubuh Li Yue ini. Segesit kilat Shena berkelit minggir.
Belum berada sepenuhnya pada zona aman, beberapa serangan sudah lebih dulu diluncurkan dari pihak lawan.
Sementara Shena berusaha berkelit, teman-temanya yang sudah agak baikan mulai berusaha membantu.
Satu melawan lima, tidak imbang secara jumlah memang, tapi dengan satu orang ini bisa meungguli keempat kandidat. Hanya Shena yang mampu menyamai dia sejauh ini.
Sebenarnya rasa bingung sedari tadi mengusik otaknya. Bukankah, Bai Xiang ini satu tingkat dengannya? L-lalu kenapa dia tampak seperti jauh di bawahnya? Bahkan dengan satu serangan saja yang tadi dia terima dari Shing Shu, Bai Xiang sudah tak bisa mengendalikan diri lagi. Sangat kacau.
Agak ambigu.
Memang jika hanya dipandang sekilas ini tidak adil, tapi pihak yang terlihat terpojokkan justru malah yang paling unggul!
Pertarungan berganti menjadi duel. Kini tinggal mereka berdua, Shena dan Shing Shu yang saling memberikan serangan cinta.
Waktu diisi oleh suara dentang, gesekan, dan dengung pedang yang terus beranak. Langit diwarnai dengan asap yang kelamnya hampir sama dengan warna hitam.
Sambil terus menggerakan otak dan raganya, Shena tidak bisa tidak mengeluh. Aiyoo ini melelahkan apa energinya itu unlimited? Kenapa tidak habis-habis! Aku sudah lelah, aku lapar!
Angin menyerempet pelan daun yang gugur di sekitaran mereka. Bukan tanpa alasan informasi di atas dikemukakan.
Shena menyadari ada satu pihak lain yang berusaha menghancurkan batle ini. Namun, sepertinya bukan pihak musuh.
Satu serangan mengenai Shing Shu. Dia sontak terhuyung-terhuyung. Wajahnya mengejang, dan detik berikutnya darah terdepak dari mulutnya.
Bersamaan dengan itu, lengan Shena di tarik. Sejurus kemudian, suara penuh kekhawatiran memenuhi pendengarannya.
"Xia'er! Apa kau baik-baik saja, Nak? Astaga mana yang sakit? Hey! Jangan diam seperti itu! Kau membuatku takut!" Seraya mengecoh, tangan An Na menggerayangi badan Shena. Mencoba mencari hal penyebab rasa sakit.
Butuh beberapa puluh detik sampai akhirnya Shena terbebas dari loading. Tertawa canggung, dia berusaha menenangkan bibi terimutnya itu.
Berubah jalur seketika saat matanya menangkap ancang-ancang serangan balas dari depan. Seketika Shena tidak memikirkan apa-apa selain satu hal.
Dan, yap.
Dia menerimanya.
Serangan telak, dan tampaknya kental akan kekuatan. Shena mundur beberapa langkah, An-Na yang masih terduduk dengan raut terkejutnya seketika menjengit.
Matanya yang biasanya dipenuhi kasih sayang yang membuat seseorang nyaman, kini bertransformasi menjadi penuh kemarahan. Sebuah serangan balik ia lemparkan.
Sedetik setelahnya, Shing Shu mengeluarkan erangan.
Untung saja, di sini tidak kekurangan pangeran. Saat tubuh Shena membelah udara, menyeret tanah ke belakang, dua tangan sudah menantinya.
Tepat, sangat pas. Dua telapak tangan dari arah yang berbeda masing-masing menangkap pundaknya. Saling bersilangan membentuk pertahanan. Namun, tetap saja itu tidak terlalu kokoh, tubuh Shena memutus jalinan itu. Tubuhnya kini miring sedikit ketanah, tapi untungnya dia beruntung. Sebuah lengan dengan sigap meraih pinggangnya.
Tangan sekeras besi melilitnya. Memang dia tidak jatuh, tapi agak menyakitkan jika di tangkap dan dililit sedemikian kuatnya.
Tawa kembali memenuhi telinga. Shing Shu dengan raut gelap semakin mengeraskan tawa.
Bertepatan dengan berakhirnya pertarungan itu, rombongan yang berisi bala bantuan tiba. Cih, sayang sekali mereka tidak berguna.
Shing Shu yang sudah tidak punya alasan untuk tetap disini akhirnya memilih pergi dengan tawa yang masih tertinggal. Meninggalkan perasaan jengkel di benak Shena. Hey! Tidakkah kau harusnya meninggalkan sesuatu? Permintaan maaf! Ya! Seharusnya kau mengatakan itu sebelum pergi, pria tampan tapi menjengkelkan!
Asap masih menginvasi daerah bekas perkelahian tadi. Di antara riuh-riuh dan bising suara orang yang tak dikenal, satu suara yang familiar dapat dengan samar ia dengar.
Oh, dia juga ikut.
Maaf kalau adegan geludnya kurang jelas. Rada susah buat ngerangkai katanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Santai Dyah
lnjut thor
2021-11-05
1