"Aaahhh jangan mengejarkuu! .... "
Mata indah itu berkedip sejenak, berakhir kosong. Linglung, bingung, apalagi perkataan yang bisa mewakilinya?
Warna putih disekitaran garis rambut pria itu tampak nyata, rambut hitamnya juga. Netra itu bergulir memandang hal lain.
Hutan.
Dengan puluhan batu nisan dan kegelapan yang menakutkan.
Pemilik netra itu membuka mulut mengeluarkan pertanyaan. "Mimipi apalagi ini? Bah, dipikir aku mau menjalani mimpi yang sudah pasti tidak indah ini?"
Tanganya terjulur dan menampar pelan pipi pemuda yang memeluknya itu.
"Hallo tampan, siapa namamu?--- ahhhh ini! Aku benar-benar merasakannya?!"
"Apa yang terjadi ...." Kegelapan kembali merenggut kesadarannya.
Kilau air membasahi wajah seputih salju, rasa hangat yang dihasilkan air memadamkan wajah beraura es itu. Sudut bibirnya menaik sedikit. "Kamu kembali."
...•••••...
"Aih, di mana lagi ini?"
Kanopi di atas jelas bukan pemandangan kamarnya. Melirik ke arah lain, semakin membuatnya yakin dia masih bermimpi.
Meja teh lesehan, lemari kayu kuno berisi gulungan berwarna kuning kecoklatan, sekat kayu, aksesoris kuno. Hawanya terlalu dingin, dan apa-apaan ranjang keras ini?! Dia tahu dia miskin, tapi setidaknya dia memiliki pulau kapuk, bukan ranjang kayu!
Sosok itu terlonjak dan berakhir duduk. Matanya melotot sebisanya, bibirnya bergetar membuat wajah cantik itu seolah jiwanya tertekan.
Memang tertekan!!!
Untuk memastikan, sosok itu menghadiahi dirinya sendiri dengan tamparan.
Panas!
Sakit!
Nyata!
"AAAHHH APA-APAAN INI?!"
Saat dia membuka mata, sebuah kepala sudah menghadapnya dengan netra dipenuhi ketidak percayaan.
Sosok itu masih sama, masih ada pigmen putih dirambutnya. Tetapi, wajahnya berbeda.
Pemuda itu melompat berulang kali dengan riang, perkataannya dipenuhi rasa syukur. "Kamu kembali! Kamu kembali! Ya dewaaa terimakasih! Aahhh kamu benar-benar kembali."
Mata sosok tadi berhenti bergulir mengikuti irama tubuh pemuda itu. Dia bertanya dengan marah, "Heh, apa kau aktor baru? Kenapa juga aku di sini?"
Perkataannya membuat lompatan riang pemuda itu lenyap. Pemuda itu mendekatkan diri. "Apa itu yang kau katakan?"
"Oh, sedang oncam, ya? Astaga, maaf aku tidak tahu ... T-tapi kenapa tidak ada orang lain?"
"Kau berkata apa lagi???"
Raut dungu ini .... Sosok itu menyipit. Memejamkan mata sejenak karna pelik. Rasa geram mendorongnya untuk berdecak. "Aihh, panggilkan saja sutradaranya! Aku tidak akan mematahkan kepalanya kok! Selagi aku diberi uang, sepertinya tidak apa-apa jika aku ikut syuting, pemeran pengganti pun tidak apa-apa. Tapi panggilkan dulu .... "
Hanya hening dan raut dungu lagi.
"Kau berkata apa?"
"Sialan, kau membuatku emosi saja! Sudahlah satu kali cut tidak masalah! Cepatlah! Sutradara keluarlah!" Sosok itu menyibak selimut, kaki jenjangnya hampir menyentuh lantai, tapi sebuah tangan mencegah, menarik, dan berakhir menahannya.
"Tidak, kau tidak boleh pergi! Jika jau menginjak lantai seinci pun, aku akan dimarahi banyak orang! Lagipula, aku juga tidak rela kau pergi lagi!" Tangannya memeluk lengan sosok itu. Bagai anjing yang imut, dia menggosokkan kepala pada lengan dengan lembut. Tanpa sadar matanya memanas.
"Kau?! Apa yang kau lakukan?"
Pemuda itu bergumam. Tenggorokannya sedikit tercekat. "Jangan pergi lagi ...."
"Baiklah, kalau begitu panggilkan sutradara."
"Aku sungguh tidak mengerti apa yang kau katakan, tapi sekali lagi, jangan pergi kumohon."
Tenggorokan rasanya menyusut, mengakibatkan ludah sukar tertelan. Sosok itu melamun, tenggelam dalam rasa bingung, tidak menghiraukan isakan samar dan pelukan.
Di mana kameranya? Tersembunyi di mana? Di bolongan poci teh tidak ada ... Oh! Di gulungan kertas---juga tidak ada ... Arghhh! Dimana?! Di mana kameranya? Mama ....
Dia tidak terlalu dungu. Dia mengerti, sangat mengerti. Namun, dia ingin menjadi tidak mengerti. Bisakah?
"Kutanya sekali lagi, kau harus menjawabnya dengan benar bukan jujur," dia menarik nafas dan menghembuskan dengan kasar, "KATAKAN DIMANA SUTRADARANYA?!"
"Aku sungguh tidak mengerti apa yang kau katakan."
"ASTAGA DRAGON! KENAPA?! F*CK! TID---"
Lagi-lagi, kegelapan menyisakan kebingungan yang belum terurai. Badan itu melemas, dan ambruk lagi. Dikarenakan beratnya beban di lengan kirinya, dia jatuh ke sana dan berakhir berbaring dipangkuan pemuda itu.
"Reaksinya tidak buruk, tapi tidak pantas dikatakan tidak aneh."
Satu sosok tersingkap---lebih tepatnya memunculkan diri dari balik sekat kayu.
Sosoknya mungil, dengan muka bulat terkesan menggemaskan. Sayang sekali, pandangannya yang tajam dan sedikit sinis menghancurkan gelar imut.
Gadis itu melangkah mendekat, saat sudah mencapai pinggiran ranjang dia berhenti dan mengeluarkan tendangan. "Tidak perlu bersembunyi lagi."
Pemuda tadi tersadar, dengan pelan-pelan dia membaringkan tubuh dipangkuannya. Dia melongok ke bawah ranjang. "Kakak, keluarlah."
Sosok di bawah ranjang itu mengangguk. Bergeser perlahan berusaha keluar dari kegelapan, tapi sayangnya ranjang itu mencintainya. Dia berhasil bergeser tanpa menimbulkan suara, tapi saat melongokan kepala, kepalanya berakhir menabrak ranjang.
Suara itu cukup keras, menghasilkan sang adik yang meringis.
Sosok itu terdiam sejenak, tampak kosong cenderung cengo? Sepertinya. Demi menghindari membuat bunyi yang lainnya, dia kali ini lebih pelan dan berhati-hati. Dan akhirnya, dia bisa menghirup nafas bersih, dan ...
Bisa melihatnya.
Warna putih bagai bercak diantara warna hitam---atau malah sebaliknya? Wajah itu terlihat berbeda dengan pemuda tadi. Dingin bagai salju, setiap lirikan membuat beku. Namun, jika dicermati lebih dalam setidaknya mereka sekilas mirip.
Dia berdiri, dengan telapak tangan dibasahi peluh. Meski rautnya datar tak bergelombang, tetapi dalam benaknya tengah terjadi gemuruh badai. Matanya mencerminkan itu.
Hening merajai detik untuk sejenak. Suara nafas dan dada yang naik turun dari seseorang yang terbaring menjadi pusat atensi. Tenang, tak tergoyahkan, sedikit nyaman untuk dijadikan pusat atensi.
Pemuda tadi mengalihkan pandangan. Terpaku pada jarum yang memaku sosok di sampingnya. Melamun. Tanpa sadar dia membuka mulut. "Apa ini benar dia?"
"Apa itu benar dia?"
Bagai pinang dibelah dua, hanya beda kata petunjuk. Pemuda tadi dan gadis imut berkata bersamaan, dan menutup mulut secara bersamaan juga.
"Harus dia."
Sunyi seketika hancur.
Pemuda tadi menghela nafas, kata bingung terlukis jelas di wajahnya. "Kakak ... Tadi dia mengumpat, nadanya sama, membuatku yakin itu dia, tapi ada banyak kata yang tidak kumengerti juga diucapkannya ... Aiyaa ...."
Gadis imut menanggapi, "Kenapa kau terkesan heran? Bukankah seharusnya aneh jika dia berkata sesuatu yang tidak aneh?"
Pemuda itu menoleh dan menatap si gadis. "Benar juga, tapi rasanya tidak pernah seaneh ini."
Salju semakin menyelimuti wajah sang kakak. Sosok itu memilih mengalihkan pandangan sejenak. Sedikit menyesal karna tidak seperti adiknya.
Tanpa di sadari, satu nafas sudah bercampur dengan udara ruangan ini.
Suaranya dingin, tegas, dan terkesan mengintimidasi. Membawa angin yang menegakkan bulu badan. "Bai Xiang."
Semua kepala yang sadar sontak menoleh. Rasa terkejut ditampilkan di setiap wajah, hanya berbeda seberapa jelas.
Pemuda tadi menjawab lirih. "R-ratu .... "
"Yang kupanggil adalah anakku." Bibir wanita itu dihiasi gemetar yang samar. Dia memejamkan mata sejenak. Tampak seperti menenangkan diri, hanya saja yang keluar malah kebalikan dari kata tenang.
"BAI XUE! ANAK BODOH! KEMARI!"
Bibir pucat Bai Xiang bergerak lambat. Lengan hanfu yang longgar menyembunyikan kepalan tangan yang mengetat. Tertunduk sejenak dan akhirnya bisa menjawab, "I-ib---"
"KUBILANG KEMARI!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
mochi
kosa kata yg otor pakai terbilang rada susah di pahami,otor masih pemula ya
2022-02-01
4
Gembelnya NT
Keren Thor
2021-10-15
1