Di Restoran tempat Malika dan papanya sedang menunggu makan siang tanpa sengaja melihat nyonya Andien yang sedang mencari tempat duduk yang dekat dengan mereka.
Karena mata mereka secara tidak sadar bersitatap, keduanya sama-sama kaget dan canggung.
Nyonya Andien melempar sindiran ke arah Malika yang sudah gugup melihat dirinya.
"Oh disini ada janda anakku toh,
enak ya masih bisa makan tenang.
kulihat kamu tidak merasa berduka dengan kepergian anakku!!," ucap nyonya Andien sinis menatap Malika.
"Maaf nyonya, tolong jaga sikap anda, di sini tempat umum. Tolong jangan intimidasi putri saya karena mendiang menantuku," ucap tuan Daniel geram mengingatkan sikap nyonya Andien yang sengaja memojokkan putrinya.
"Aku jadi curiga, jangan - jangan putrimu sengaja meracuni anakku atau putraku menyaksikan sesuatu yang membuatnya serangan jantung," sindir nyonya Andien penuh selidik.
"Oh, kalau itu anda bisa melakukan otopsi dan temukan buktinya. Jika rasa penasaran anda masih mengganjal silahkan anda tempuh jalur hukum." jawab tuan Daniel, seraya berkata,
"Ayo Malika, papa sudah terlambat untuk meeting siang ini."
"Nyonya, kami permisi sampaikan salam saya untuk tuan Pram,"
pamit Tuan Daniel pada besannya.
Tuan Daniel meninggalkan beberapa lembar kertas merah diatas meja makan restoran.
Kemudian berlalu pergi bersama Malika kembali ke kantornya.
Wajah Malika terlihat sedih dan masih gemetar takut mendengar ocehan mertuanya.
"Nak, ingat bayimu jangan masukin kata-kata mertuamu ke pikiranmu." Hibur tuan Daniel pada putrinya.
🌷🌷🌷
Tidak seperti matahari yang sulit dipandangi saat terik memanggang wajah penghuni bumi, rembulan dengan pancaran sinarnya yang teduh menyambut tatapan mata kita.
Kita dapat mengumandangkan pujian, tenggelam dalam suasana melankolis dan mengagumi keindahan dunia yang kita amati tatkala tetumbuhan meraih bukan sinar matahari, melainkan cahaya remang-remang yang dilontarkan ke bumi oleh mahkota bintang.
Taburan bintang - bintang yang menatap sosok anak manusia yang masih terjerat dalam duka nestapa
seakan sedang menyusun kembali pigura yang jatuh berupa puzzle, sesuatu yang retak tidak akan terlihat indah dipandang serapi apapun puzzle disusun tetap akan terlihat potongan garis patah membentuk bingkai.
Malika sudah berada dikamarnya
ingatannya masih terngiang-ngiang
dengan perkataan mertuanya.
Wajah cemasnya terus bergelayut entah apa saja yang menganggu kenyamanannya.
"Ya Allah bagaimana kalau bunda Arie tahu tentang kehamilanku dan status anak ini yang bukan darah daging mereka."
"Apa aku harus menggugurkan kandunganku ini supaya tidak menimbulkan masalah baru kedepannya ataukah tetap mempertahankan janin yang saat ini aku kandung?"
"Ya Allah beri hamba petunjuk atas ujian yang Engkau titipkan padaku.
jika aku hambaMu yang tepat untuk menerima ujian ini, maka mudahkan bagiku untuk menyelesaikannya.
"Ya Allah tidak ada yang sia-sia disisiMu, pasti Engkau telah membuat skenario indah yang Engkau siapkan untukku."
Saat Malika sedang melamunkan takdirnya tak terasa kedua orangtuanya sudah berada di depan kamarnya.
Orangtuanya menekan bel pintu kamar Malika berulang kali namun pintu kamar itu tidak kunjung terbuka, sampai akhirnya kedua orangtuanya menggunakan kunci duplikat untuk membuka pintu kamar putrinya lalu keduanya buru-buru memasuki kamar Malika, karena sangat kuatir pada keadaan putrinya yang saat ini sedang hamil muda. perasaan keduanya lega setelah melihat putri mereka yang sedang duduk menghadap taman samping jendela kamarnya.
Malika memilih kamar lantai bawah karena ingin jendela kamarnya langsung menghadap taman kecil yang memiliki berbagai macam jenis bunga segar.
Malika melirik dua sosok kehidupannya yang sedang tersenyum melihatnya. Malika bangun dari pembaringannya yang ada di taman itu lalu memeluk ibunya, rasa nyaman saat belaian tangan lembut yang menyimpan jimat untuk mengobati lukanya.
Bongkahan batu besar seakan berguling dari ketinggian bukit lalu jatuh kedalam lembah yang gelap.
"Sayang mama sudah mendengar semua kejadian tadi siang di restoran favoritmu, jangan terlalu merasa cemas nak, karena akan berdampak buruk pada perkembangan janinmu. Malaikat kecil ini tidak berhak menerima perlakuan tidak adil dari neneknya sendiri."
"Harusnya kamu berkata jujur kepada mertuamu dengan begitu dia akan luluh ketika tahu kalau saat ini kamu sedang mengandung keturunannya.
"Tidak!..tidak!, mama jangan beritahu ini pada bundanya mas Arie, kumohon mama, Malika kembali histeris.
ketakutannya seakan melempar nyawanya keluar dari jasadnya jika dia berkata jujur tapi kebohongan akan terkuak suatu saat nanti dengan mengetahui status bayinya."
Tuan Daniel menegur istrinya yang memaksa putrinya untuk memberi penjelasan kepada ibu mertuanya yang sangat kejam itu.
"Cukup mama!, biarkan Malika memilih jalan hidupnya karena dia sangat menderita kalau harus bersama ibu mertuanya nanti," tegur tuan Daniel yang nampak kesal atas kata-kata bijak yang terlontar dari mulut istrinya.
"Maaf papa bukan mama mau menyerahkan putri kita pada wanita kejam itu, tapi mama hanya ingin kalau ibu mertua Malika tahu kalau Malika sedang mengandung anak Arie mungkin dia tidak akan menyakiti lagi putri kita sayang."
"Mama, tidak ada alasan Malika untuk mendapatkan empati mereka dengan keberadaan calon bayinya. Apakah kamu mau putri kita nanti akan mengalami tekanan demi tekanan dari wanita yang tidak berperasaan itu?" geram tuan Daniel.
"Baiklah nak, kamu tetap disisi mama dan papa, kita tidak butuh siapapun untuk membesarkan anakmu."
"Jika suatu saat nanti ada lelaki lain yang datang dalam hidupmu terimalah dia sebagai pengganti ayah dari anakmu."
Tuan Daniel memeluk putrinya menyalurkan kekuatan dan perlindungan untuk putrinya.
"Kau nyawaku, apapun aku akan pertaruhkan untuk melihatmu bahagia entah itu sampai kapan yang jelas papa tidak ingin melihat kamu menderita nak."
"hiks!...hik!"
"Papa, maafkan Malika, papa."
Malika kembali memeluk papanya, tangisnya makin menjadi tatkala beban yang masih berkutat dalam dadanya yang enggan pergi meninggalkan hidupnya.
"Papa apa yang harus aku katakan padamu mengenai bayiku, gumamnya membatin."
Orangtua Malika menenangkan putri mereka sampai Malika lelah dan tertidur.
Orangtua mana yang sanggup melihat kesedihan putrinya.
Bagi orangtua kesedihan atau sakit fisik dan batin anak merupakan beban yang ingin mereka gantikan tidak perduli seberapa durhaka anaknya terhadap mereka, namun tetap di mata mereka seberapa tua usia anak dihadapan orang tua anak-anaknya tetaplah anak kecil yang perlu dilindungi.
🌷🌷🌷
Malika sudah mulai terlelap, mengembara dalam mimpinya.
Mungkin bunga tidur terasa lebih indah untuk diarungi atau setidaknya mimpi buruk bisa dihindari dengan bangun untuk mengakhiri.
Andai hidupnya seperti mimpi ingin rasanya dia bangun untuk mengakhiri, namun sayang takdir tidak seperti bunga tidur untuk diakhiri tapi harus dihadapi untuk keluar jadi pemenang.
"Ayo, papi kita keluar, ajak nyonya Ambar sambil membenahi selimut Malika.
keduanya berlalu meninggalkan kamar Malika dengan raut wajah sedih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments