"Apa yang kita cari untuk bermalam?" tanya Lita.
"Mungkin gua, atau ceruk bebatuan, apapun yang bisa membuat kita aman untuk malam ini," balas Angga sambil mengatur kembali barisan.
Tim kembali berjalan menyusuri pekatnya malam. Suara burung malam, jangkerik, dan berbagai satwa hutan terdengar sahut menyahut membuat bulu remang berdiri.
"Jangan takut gelap dan suara malam. Fokuslah berjalan. Pegang pundak teman didepan kalian agar tidak terpisah dari tim." suara Angga dari barisan terdepan memberi komando.
"Berhenti sebentar," ucap Angga.
"Kita rubah formasi agar lebih nyaman dan aman. Kita akan berjalan beriring dalam tiga baris. Baris paling kiri diisi oleh Naya, Pak Herson, Fikri. Baris tengah adalah Rena, Bu Mayang, Mbak Lita. Baris paling kanan yaitu Sisi, Jaka, Pak Bagas. Jadi tim wanita berada di baris horizontal terdepan, dan vertikal tengah. Selebihnya adalah diapit oleh tim pria. Sedangkan saya dan Beno akan berada didepan seluruh anggota tim sebagai pembuka jalan." Ucap Angga mengatur tim.
"Barisan paling kiri, arahkan tombak ke arah kiri tubuh. Barisan paling kanan, arahkan tombak ke sisi kanan tubuh. Baris tengah membawa obor. Fikri dan Pak Bagas tolong pastikan posisi belakang selalu aman. Jika menghadapi jalan sempit, maka meleburlah dalam satu barisan panjang dengan urutan dari baris paling kiri terlebih dahulu," malam ini Angga yang paling sibuk memandu. Dialah andalan seluruh anggota tim.
Malam semakin larut. Rombongan tim dari jauh terlihat seperti kunang-kunang ditengah kegelapan malam. Tiga obor yang menyala adalah satu-satunya pelita ditengah luasnya rimba.
"Kamu lelah, Nay?" tanya Angga yang berjalan tepat didepan Naya.
"Aku masih kuat. Tenang saja," jawab Naya gigih. Justru yang terlihat kepayahan adalah Bu Mayang karena faktor usia dan pola hidup sebelumnya yang selalu dimudahkan dengan segala fasilitas.
"Kita harus berjalan berapa lama lagi?" giliran Sisi angkat bicara.
"Pulau ini tidak terlalu luas. Seharusnya dari sisi pantai menuju sisi lain yang berlawanan, tidak butuh waktu terlalu lama. Maksimal mungkin tak lebih dari 5 jam. Jika kita sekarang sudah hampir 2 jam berjalan, maka artinya kita berada disekitaran bagian tengah pulau. Semoga ada keberuntungan setelah ini," balas Angga.
"Kri, lu kan dulu vokalis katanya. Nyanyi dong biar ga sepi.." teriak Sisi kepada Fikri.
"Ga. Lu kira gue orang gila?. Nyanyi-nyanyi sendiri ditengah gelap malam. Ditengah hutan pulak," tampik Fikri.
"Lagian, lu mau didatengin hewan buas gara-gara denger suara gue?" imbuh Fikri.
"Lihat itu didepan.." ucap Rena yang sedari tadi betah mengunci mulut.
Beberapa puluh meter didepan mereka seperti berdiri sebuah bayangan besar menghalangi perjalanan tim. Semakin tim mendekat, bayangan itu tak juga bergerak. Nampaknya bayangan itu adalah sebuah bukit kecil. Angga cukup beruntung bisa menemukan bukit.
Bukit itu tak terlalu tinggi. Diperkirakan hanya memiliki ketinggian beberapa puluh meter dengan diameter sekitar puluhan meter pula. Ukuran ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan gunung ataupun pegunungan. Bukit ini adalah gugusan batu yang menjulang dan ditumbuhi berbagai tanaman.
Ketika Angga mendekati bukit kecil tersebut, ia mengedarkan pandang ke segala sisi bukit, berharap menemukan gua untuk bermalam. Sayangnya upaya itu nihil. Tak ada satupun lubang gua yang ditemukan disana.
"Aihh..sayang sekali ga ada gua disini," keluh Angga.
"Lah..kan ada lu sih. Kenapa lu bilang ga ada?" Jaka menggaruk kepalanya yang memang tempat bermukim ketombe.
"Jack..jack. Aduh lu bego ato oon sih?!" Beno mengumpat kesal.
"Kan bener kata gua bro. Angga bilang ga ada 'gua'. Nyatanya, kan dia ada disini," Jaka masih terbengong bingung. Memang terkadang keletihan juga berpengaruh pada daya pikir dan kejiwaan.
"Adoooh. Gua yang dimaksud Angga itu bukan 'gua' seperti yang lu maksud. Gua itu lhoo..batu bolong, gede, lorong. Mbuhlah ga tau gue mo ngomong apa lagi. Pikiran lu tu ambigu tau!. Onderdil pala lu minta di serpis keknya." Fikri ikut uring-uringan mendengar celoteh Jaka.
"Ooh gua buat tempat tinggal to. Ngomong donk dari tadi,"
"Jakaaa!!"
Angga dan tim memang tak seberuntung penyintas didalam cerita novel yang dengan mudahnya bertemu gunung, kemudian terdapat gua dibawahnya.
Tapi Tuhan memberikan pertolongan lain untuk hamba-Nya. Ada bagian bukit yang memiliki permukaan menonjol di dua bagian secara terpisah. Jika diamati, dua batu menonjol dan dinding bukit seperti membentuk sebuah ruang letter-U. Seperti kamar dengan tiga sisi dinding namun tak ada dinding dibagian arah pintu. Tak ada pula atap yang menaungi bagian atasnya. Praktis seperti bangunan kamar yang belum selesai dibangun.
Ruangan semi kamar itu cukup luas. Diperkirakan Angga sekitar 21 meter persegi dengan panjang dinding bukit 7 meter dan tonjolan batu disisi kiri dan kanan sekitar 3 meter, lebih dari cukup untuk digunakan sekedar bermalam tim. Esok hari dalam suasana terang mereka bisa leluasa mencari tempat tinggal yang lebih sesuai.
Tepat didepan mereka serta sekeliling bukit adalah hutan lebat. Detail lain tentang tempat itu kurang bisa dilihat karena kondisi yang sangat gelap. Nyala obor hanya mampu menerangi paling jauh 10 meter.
"Kita akan bermalam ditempat ini. Tak ada pilihan lain lagi," ucap Angga.
"Ben, temenin gue cari ranting dan jerami untuk api unggun. Meski tidur ditanah, paling tidak kita masih bisa menghangatkan diri, sekaligus untuk mengusir hewan liar," ajak Angga pada Beno.
"Ashiapp..laksanaken," Beno masih cukup riang meski semua juga merasakan letih.
"Kita hanya punya persediaan air dibeberapa botol," Naya memeriksa perbekalan.
"Kita bertahan malam ini dengan air seadanya. Berhematlah. Besok semoga kita bisa menemukan sumber air baru," Angga berujar sesaat sebelum beranjak kembali memasuki hutan bersama Beno.
"Ngga.." sela Naya.
"Iya, Nay?" kening Angga berkerut.
"Hati-hati, kembali dengan selamat." Naya mengelus pergelangan tangan Angga.
"Tentu saja," lirih Angga, khawatir terdengar anggota tim lainnya. Keduanya bertatapan sejenak.
"Ngapain bisik-bisik bro. Kita juga denger kali," seloroh Rena disambut riuh tawa anggota tim. Angga segera berbalik badan menutupi rasa gugup, kemudian cepat menghilang dibalik rerimbunan hutan.
Beralaskan tanah, berpayungkan langit mereka merebahkan diri menghabiskan sisa malam. Disamping api unggun nampak trio gatoloco berjaga dan menolak tidur.
"Semakin rumit perjalanan kita," lirih Beno sedikit melow. Sungguh berbeda dengan tabiatnya yang terbiasa riang dan tengil.
"Kita hadapi, apapun keadaannya. Perjuangan itu tak mudah. Rosulullah berjuang dipadang pasir, berperang, terasing, dihina. Para pejuang kemerdekaan juga keluar masuk hutan, naik turun gunung, makan dedaunan, tanpa alas kaki. Dibanding mereka semua, kita tak ada apa-apanya." ujar Angga berpetuah.
"Iya bro. Gue ga nyesel. Apalagi putus asa. Biasalah bawaan PMS jadi rada melow," ketengilan Beno kembali muncul. Mesam-mesem tak jelas.
"Rencana lu selanjutnya gimana, Ngga?" tanya Fikri lebih serius. Berbeda dengan Beno yang setiap detik selalu usil, Fikri jauh lebih serius dan stabil. Hanya saja jika sudah bercanda, Fikri akan lebih ambyar daripada Beno. Jiwa kengocolan yang terbalut kulit beruang. Pedasnya daging ayam cincang yang terbungkus nasi ketan putih.
"Besok kita harus bisa menemukan tempat baru sesuai rencana semula. Entah gua ataupun tempat yang strategis untuk kembali membangun gubuk baru. Parameternya jelas, harus dekat sumber air, bahan makanan, aman, dan terlindung. Khusus bahan makanan sih kita tak perlu pusing. Kita bisa berburu dimanapun. Kita juga bisa mencari tanaman yang bisa dimakan." ungkap Angga dengan tatapan yang masih terpaku kearah kobaran api unggun.
"Lu gosah khawatir bro. Kita bertiga adalah saudara. Gue ga bakal biarin lu sendirian menghadapi ini semua," Beno menepuk pundak Angga.
"Yang lain boleh menyerah. Tapi gue ga bakal berhenti ngedukung lu," timpal Fikri.
"Thank's sob, lu bedua emang konco kentel koyo umbel (sahabat kental seperti ingus)," ucap Angga simpatik. Sebaliknya, Fikri mulai mual tak karuan disusul muntah-muntah dibawah sebuah pohon.
Beno sebentar melirik ke arah Fikri "Dia sangat menghayati perannya sebagai orang yang suka muntah. Penuh totalitas dan berdedikasi tinggi," ia terharu.
***
Untuk pembaca yang menyukai cara menulis Author di novel ini, yuk mampir juga dikarya Author : DUA DEWI
Mohon dukungan dan ramaikan.
Terimakasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Shakila Rassya Azahra
menghayati orang yg suka muntah sae lo ben mana ada seperti itu 🙈😂😂😂😂😂
2022-05-31
0
Bidadarinya Sajum Esbelfik
tegang tapi tegeeeerrrr😂😂😂😂😂
2021-12-25
1
MonSop
Asal jangan kamu yg umbelan ya angga 😂
2021-11-01
2