Nyiur melambai. Gemerisik suara dedaunan dihembus angin sepoi lepas menyuguhkan nuansa orisinilitas keelokan alam. Kemurnian sebuah pulau yang belum tersentuh asap pabrik dan roda metropolitan terpampang di depan mata.
Angga dan semua tim baru saja singgah ke sebuah hotel kecil untuk check-in dan menyimpan barang perbekalan mereka sebelum kemudian terlihat sibuk di aula sebuah kantor kecamatan untuk mengadakan penyuluhan kesehatan.
"Nanti Dik Angga dan mahasiswa jurusan kesehatan masyarakat silahkan membantu timnya Bu Septa di meja penyuluhan. Sedangkan tim Dik Naya bersama tim humas dinas akan duduk di seberang sana," instruksi dokter Frans.
"Siapp." jawab mereka serempak.
Tampil sebagai juru bicara adalah dokter Frans. Dibelakang dokter Frans berjajar beberapa meja konsultasi yang ditempati 6 orang dari Dinas. Angga dan rekannya dari jurusan kesehatan masyarakat juga dibagi satu per satu mendampingi masing-masing meja tersebut. Di seberang meja dimana Angga bertugas, berjajar pula beberapa meja yang lain sebagai pusat informasi dan wawancara. Naya dan rekan satu jurusannya duduk disana untuk menjaring berbagai informasi dan keluhan masyarakat.
"Bro.. masyarakat disini sangat ramah dan baik ya. Nih lihat, gue abis dikasih gelang akar bahar sama bapak yang duduk disana," ucap Fikri kepada Angga dengan bangga.
"Tapi gelang segede apapun ga bakalan ngefek buat penangkal muntah bro wkwkwk," canda Beno yang duduk selang satu meja setelah Angga. Bu Septa yang duduk satu meja dengan Beno jadi ikut tersenyum melihat candaan mereka.
"Lah lu ga tau, nih lihat batu mulia kecubung pengasihan.." Angga menunjukkan sebuah cincin dalam genggamannya.
"Wihh keren. Dikasih bapak yang mana lu bro??" Beno celingukan seolah mencari seseorang, berharap ia juga bisa seberuntung Angga dan juga Fikri.
"Kagak. Gue bawa dari rumah hehe.." balas Angga dengan wajah tanpa dosa.
"Anjirr. Ga asik lu!" Beno sewot. Bi Septa semakin terpingkal melihat kelucuan mereka.
Waktu terus berjalan, tak terasa usai sudah acara penyuluhan mereka hari itu. Wajah-wajah lelah tergambar dari setiap orang. Perjalanan laut disambung kegiatan penyuluhan cukup menyita energi mereka hari itu.
Malam harinya para mahasiswa mengisi malam dengan berjalan-jalan di sekitaran hotel. Angga, Beno, dan Fikri melilih sebuah warkop untuk ngopi dan bersantai. Sedangkan Naya, Rena, Sisi lebih suka mencari kuliner untuk memanjakan lidah.
"Bro, kalau gue lihat nih ya. Si Naya beberapa kali curi-curi pandang ke arah lu. Kayaknya dia tertarik deh," ucap Beno membuka obrolan.
"Haha..yang bener aja lu. Gue mah mana level ama anaknya orang kaya seperti Naya. Gengsi dong dia kalau gue jadi cowoknya," jawab Angga minder.
"Ya jangan gitu sob. Namanya jodoh siapa yang tahu. Bisa saja kan misal lu jadi jodohnya Mak Painem penjaga kantin kampus, jandanya Babe Karyo," Fikri ikut nimbrung.
"Parah lu. Amit-amit.. jangan jodoh yang kayak begitu dong. Ah lu doa yang bener nape!" Angga ketakutan. Sebaliknya Fikri dan Beno terkekeh.
"Makanya itu. Jodoh ga ada yang tahu kan. Jadi ga perlu lu takut apalagi minder. Siapa tahu juga malah Naya itu jodoh gue bro..hahaha," lagi-lagi Fikri menasehati sekaligus menggoda.
"Yah yah..jangan dong, lu sama yang lain aja napa..haisst, kelepasan ngomong," Angga yang terbiasa tenang dan tegas, kali ini terlihat salah tingkah tatkala berbicara tentang cinta.
"Ciee..ada yang ga rela nih ceritanya, wkwkwk." Beno tergelak, pun begitu juga dengan Fikri.
Tak jauh dari warkop dimana Angga berada, terlihat Naya bersama Rena dan Sisi sedang menikmati bakso.
"Nay, lu itu ya. Secara lu kan dewi kampus nih. Cowok di kampus yang suka ama elu udah ga keitung lagi jumlahnya. Dari OB sampai dosen, dari mahasiswa tingkat pertama sampai tingkat akhir, ada semua gilak. Masa ga ada satupun yang nyantol jadi cowok lu?" bibir monyong Sisi yang kepedesan bakso terlihat nyerocos tiada henti.
"Ya belum ada yang cocok aja, Sis.." balas Naya tenang.
"Segitu banyaknya ga ada yang cocok?, yang bener aja lu!" Rena jadi ikut penasaran oleh jawaban Naya.
"Iyah ga ada." lanjut Naya sambil tersenyum melihat kedua temannya yang mangap megap-megap efek dari kaget sekaligus kepedesan.
"Coba deh lu pikir lagi, Nay.." kejar Sisi.
"Si Niko anaknya Pak dekan?"
"Atau Marsel yang punya BMW.."
"Si itu tuh, Arcy yang mirip bintang drakor hehe,"
"Atau si Bambang ketua BEM,"
"Anton aja, pebisnis, masa depan cerah."
Baik Rena maupun Sisi saling menawarkan beberapa pria yang sekiranya bisa jadi pertimbangan untuk Naya.
"Stop..stopp!!. Lu udah kayak orang dagangan aja. Getol banget nawarin ini itu, heran deh." Naya mulai jengah.
"Ya bukan gitu, Nay. Kita kan pengen bantu cariin. Lu aja yang primadona kampus belum bisa dapet cowok. Apalagi kita?!."
"Ooh..jadi gue dipaksa-paksa dapet cowok biar lu pada bisa dapet cowok juga, gitoh?!" sewot Naya.
"Salah satunya, hehe." Sisi tersenyum malu-malu. Tapi segera diinjak kakinya oleh Rena.
"Kita itu ga tega, Nay. Kalau kita punya cowok, tapi lu masih jomblo, kita-kita yang jadi ga enak hati," ucap Rena meluruskan.
"Ya namanya jodoh kan ga ada yang tahu. Kalau kalian yang dapet lebih dulu ya disyukuri dong. Jangan hanya karena gue belum dapet trus akhirnya lu nahan diri buat punya cowok. Atau lu punya cowok tapi jadi serba salah ke gue. Santai lah cyn. Kita itu sohib ya, tapi bukan berarti jodoh lu itu gue yang pegang kendali. Selow aja. Kalau udah waktunya dapet ya dapet aja, ga usah sungkan, apalagi malah nungguin gue dapet dulu." namanya cewek ya, cerewet itu nular hehe. Terbukti Naya yang sekarang los dol bicara ga ada remnya.
"Iye iye. Lagian lu, Nay. Tipe gimana sih yang lu cari?. Yang kaya banyak. Yang ganteng juga bejibun. Yang gaul juga ga keitung. Mau cari yang gimana lagi?" tanya Sisi penasaran.
"Gue ga nyari tipe yang gimana-gimana. Gue ga ada syarat tipe apapun," jawab Naya serius.
"Nah terus??" kejar Rena.
"Cari yang kena di hati." ucap Naya.
"Maksudnya??" Rena dan Sisi kompak bertanya.
"Mau ganteng kek, enggak kek. Kaya kek, miskin kek. Gue ga peduli. Selama hati gue klik terhadap satu cowok, maka itulah jodoh gue. Nunggu kata hati gue bilang 'nah' dulu," lanjut Naya.
"Ah ribet ah. Ga paham." proses Sisi.
"Ya deket dulu sama cowok, baru bisa bilang 'nah' gitu," Rena ikut protes.
"Ga harus gitu juga kalee. Mata, hati, dan pikiran akan berkoordinasi membuat sebuah kesimpulan dari sebuah pengamatan. Dan pengamatan itu tidak melulu harus intens dulu. Momen bisa muncul dimana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Tinggal gue pasang radar aja hehe," Naya menjelaskan layaknya seorang dosen biologi kawin silang dengan dosen fisika. Membuat yang mendengar semakin geleng-geleng.
"Mbak, maaf. sudah waktunya tutup.." saking asyiknya mereka ngobrol sampai tak sadar bahwa warung bakso sudah lewat jam tutupnya. Mereka segera membayar dan kabur dengan wajah malu.
***
Tak terasa sudah hari ke tiga di pulau Biwian. Semua kegiatan rampung dilaksanakan dan tinggal menunggu kapal feri tiba nanti sore untuk membawa kembali seluruh tim ke kota Grassick.
Masih tersisa beberapa jam menunggu saat kepulangan, tim mengisi waktu dengan berbagai hal. Sebagian ada yang asyik bersantai di hotel untuk melepas lelah sambil menunggu jam keberangkatan. Sebagian lagi ada yang berjalan-jalan mengabadikan keindahan alam dalam sebuah bingkai foto. Ada pula yang sibuk berbelanja membeli oleh-oleh untuk buah tangan.
Angga sedang berjalan sendiri menyusuri tepian aspal menuju ke sebuah Masjid. Beberapa saat lagi waktu akan menginjak Ashar. Sedianya kapal akan berangkat setelah Ashar.
"Permisi, Pak.." sapa Angga pada seorang bapak setengah baya.
"Oh iya dik. Ada apa ya?" tanya bapak tadi.
"Ehmm..boleh saya yang Adzan, Pak?" pinta Angga kepada sang bapak yang sepertinya adalah takmir dari Masjid yang dituju Angga.
"Ohh boleh. Silahkan silahkan.." sambut sang bapak ramah.
Niat Angga sore itu adalah ingin membuat sebuah kenangan tak terlupakan. Angga ingin memperdengarkan suara Adzannya kesegala penjuru pulau Biwian. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi Angga saat mampu melantunkan keindahan seruan ibadah dan terdengar hingga keujung pulau.
Bersama masyarakat setempat Angga melakukan ibadah. Ada sedikit kedukaan disana mengingat setelah itu ia akan meninggalkan pulau dan entah kapan lagi bisa datang kembali kesana. Dalam ketekunan ibadah ia doakan seluruh masyarakat pulau Biwian agar semakin makmur dan berkembang lebih baik.
"Nak, boleh kakek bicara sebentar?" Kakek yang tadi memimpin ibadah Ashar tengah menghentikan langkah Angga yang siap beranjak meninggalkan Masjid.
"Iya, Kek." jawab Angga santun.
"Kamu pasti mahasiswa yang datang bersama Dinas Kesehatan kota Grassick," ucap Kakek mengawali pembicaraan.
"Iya benar, Kek" jawab Angga. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang maksud sang kakek mengajaknya berbicara.
"Aku sudah mengamatimu sejak hari pertama kalian datang. Aku juga sering melihatmu beribadah di Masjid ini," lanjut sang kakek. Angga semakin bingung tentang arah pembicaraan tersebut.
"Begini, Nak. Kalau boleh kakek menilai ya. Kamu itu sangat berbeda dengan semua temanmu mahasiswa lainnya. Ada sinar menonjol dari dalam diri yang seolah memancar dari puncak kepalamu. Maaf kalau kamu anggap kakek membual atau sok tahu," kata kakek tersebut.
"Oh maaf sampai lupa. Perkenalkan, nama kakek adalah Mbah Restu. Kakek lahir dan hidup sepanjang umur kakek disini. Kamu siapa namanya, Nak?" sambung kakek yang bernama Mbah Restu.
"Saya Angga, Kek." jawab Angga.
"Lengkapnya??" tanya Mbah Restu.
"Pujangga Delta."
"Nama yang bagus dan kuat. Jadi begini, Nak. Melanjutkan apa yang saya sampaikan tadi. Kamu terlihat sangat menonjol. Ada cakra mahkota yang bersinar diatas kepalamu. Diluar itu saya juga mengamati bagaimana tingkah laku dan karaktermu selama disini. Mbah merasa bahwa kamu kelak akan menjadi seorang pemimpin yang sukses." ucapan Mbah Restu kali ini praktis membuat Angga terhenyak. Seumur-umur baru kali ini ia bertemu dengan seseorang yang berkata demikian.
"Terimakasih, Kek. Saya sangat bahagia mendengarnya," Angga tersenyum tulus.
"Tapi ooh. Maaf, Nak. Saya juga merasakan bahwa kamu akan mengalami banyak kesulitan dan rintangan setelah ini. Sekali lagi Mbah mohon maaf sudah lancang mengatakan ini. Perlu kamu ketahui bahwa Mbah tidak sedang meramal atau menduga-duga. Ini hanya kata hati Mbah saja setelah melihatmu dalam tiga hari ini. Semoga hanya hal baik saja yang terjadi, dan dijauhkan dari segala hal yang buruk. Pesan Mbah, kamu selalu berhati-hatilah disetiap waktu apapun kondisinya." Apa yang disampaikan Mbah Restu spontan membuat Angga tergagap kaget.
"Ya sudahlah. Silahkan kembali, karena jadwal feri bersandar tinggal beberapa saat lagi," Mbah Restu mengakhiri ucapannya dan memohon diri untuk meninggalkan Masjid tersebut.
Angga termenung sambil melangkah kembali ke hotel. Ada keraguan yang menyeruak dihatinya. Perasaan percaya dan tidak silih berganti mengisi relung jiwa.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Shakila Rassya Azahra
angga semoga ramalan kakek restu benar asalkan yg banyak aral rintangan aja yg ga bener.
2022-05-31
1
Gadies
bau2ny nie ttio galotoco bakal mkin ngocol kedpn nie
#bab3done
2021-10-18
0
Adhie Adhie
siip
2021-10-10
1