Chapter 10

Tidak lama setelah Birma memberitahukan kabar kehamilan pada keluarganya, satu per satu dari mereka berdatangan termasuk orang tua Birma yang langsung saja memeluk Clara dengan erat dan mengucapkan selamat, bahkan sang ibu mertua mengutarakan kebahagiaannya dengan amat sangat.

Lyra yang juga berada di ruang tamu bersama yang lainnya, memutar bola mata malas. Melangkah dan pindah duduk di samping Clara, Lyra dengan mudahnya menggeser Birma untuk pindah. Dan jadilah kini Clara duduk di antara sang bunda dan mertuanya.

“Selamat ya sayang,” Lyra memeluk anak perempuannya itu dengan sayang. “Jika Tuhan sudah mempercayakan kamu untuk hamil, kamu juga pasti akan hamil ‘kan pada akhirnya?” Clara mengangguk di dalam pelukan bundanya, sementara mata Lyra tertuju pada besannya yang kini membuang pandangan. “Percaya saja sama Tuhan, Tu, bukan sama obat-obatan atau apa pun itu. Ingat, rezeki, maut, jodoh itu sudah di tentukan oleh-Nya. Jadi jangan pernah sedih, apalagi sampai tertekan seperti kemarin-kemarin.”

Suasana yang semula ramai oleh obrolan, dengan cepat sunyi mendengar ucapan Lyra yang sarat akan sindiran. Namun Lyra mana peduli, toh memang niatnya seperti itu. Cukup empat tahun ini dirinya sakit hati akan nasib anaknya yang selalu di tekan oleh mertuanya. Sekarang Lyra hanya ingin memberitahukan pada besannya, bahwa apa yang di lakukannya dulu tidaklah baik untuk psikologis Clara.

Lyra mengurai pelukannya, menatap lembut sang putri yang sudah berkaca-kaca, lalu memberikan kecupan singkat di kening Clara. “Sekarang apa yang kamu dan suami kamu inginkan sudah ada di dalam sini,” menyentuh perut putrinya, Lyra kembali mengembangkan senyum. “Jaga baik-baik ya, sayang. Nanti Bunda akan sering-sering ke sini menemani kamu. Atau kalau perlu kamu tinggal di rumah bunda aja?”

“Gak bisa!” Arindi, yang tak lain adalah ibu dari Birma menolak dengan cepat. Membuat semua pasang mata di ruang tamu itu menoleh termasuk Lyra dan Clara. “Clara itu mantu saya, istri dari anak saja, jika pun harus tinggal ya tinggal di rumah saya.”

“Lah memangnya apa salahnya kalau tinggal dengan saya? Saya juga masih orang tuanya, ibu yang melahirkannya. Meskipun anak saya sudah menjadi istri dari Birma, hubungan anak dan ibu itu tidak bisa di pisahkan. Memangnya saya sudah tidak berhak merawat anak saya?” Lyra menaikkan sebelah alisnya.

“Tapi tetap saja keluarga saya lebih berhak, karena Clara sudah menjadi bagian dari kami,” bantah Arindi tak ingin kalah.

“Saya tahu kok tentang itu. Seorang istri patut mengikuti kemanapun suaminya pergi, tapi Anda juga harus ingat, tidak ada yang namanya mantan ibu di dunia ini. Jadi tidak ada salahnya dong saya ingin membantu merawat anak dan calon cucu saya, selama saya tidak memisahkan Clara dari suaminya,”

Suasana semakin memanas dan, Clara bingung ingin memihak pada siapa, sampai akhirnya ia menatap sang ayah dengan memohon. Clara tidak ingin ada pertengkaran, apa lagi antara bunda dan mertuanya, bagaimanapun kedua orang itu wajib Clara hormati.

“Clara sama Birma memutuskan tinggal di rumah ini aja, Bun, Ma, biar kami lebih mandiri.” Birma pada akhirnya membuka suara, lagi pula ia juga tidak menginginkan ada sebuah pertengkaran, tidak ingin membuat suasana menjadi tak nyaman, dan Birma lebih tidak ingin ada perselisihan di antara keluarganya.

“Benar apa yang di katakan Birma, Ma, Bun. Kami memilih tinggal di sini aja, lagi pula sayang kalau rumah di kosongkan, biaya ngebangunnya mahal, masa iya harus di telantarkan.” Clara menambahi, di akhiri dengan cengirannya, ingin kembali mencairkan suasana yang tidak enak ini, dan berusaha untuk tidak berpihak pada salah satunya.

“Ma, apel ...”

“El mau apel?” tanya Clara pada keponakannya yang menggemaskan itu. Menggeleng, adalah jawaban yang bocah itu berikan, membuat Clara mengerutkan keningnya, bingung. Padahal jelas-jelas keponakannya itu mengatakan apel.

“Nathael lapar, bukan pengen apel. Lo gak lihat tuh bocah pegang perut?” Rapa menjawab kebingungan adiknya, lalu menggendong Nathael meninggalkan ruang tamu dan orang-orang yang berada di sana. Berniat untuk mencari apa saya yang dapat anaknya makan di dapur.

“Hebat si abang bisa paham bahasa bayi,” puji Clara takjub.

Satu sentilan Clara dapatkan dari sang bunda. “Namanya orang tua pasti paham dengan apa yang di inginkan anaknya, nanti juga kamu akan seperti itu sama suami kamu kalau anak kalian sudah lahir.”

Clara akhirnya mengangguk dan mengecup pipi bundanya itu, sebelum kemudian memanggil sang suami untuk mendekat. “Bunda duduknya pindah gih, Atu pengen dekat Birma soalnya.”

Lyra yang mendapat pengusiran dari anaknya, melayangkan tatapan tajam, sementara si tersangka hanya menyengir tanpa dosa, lalu menarik Birma untuk duduk di sampingnya. Sepertinya ini bawaan bayi, membuat Clara tidak ingin jauh dari pria kesayangannya itu.

“Kamu udah siap kan, Bir untuk meladeni tingkah menyebalkan wanita hamil?” tanya Leo yang sejak tadi hanya diam memainkan ponselnya.

“Siap gak siap memang harus siap ‘kan, Pi? Lagian Clara emang udah nyebelin dari dulu. Jadi Birma udah tahan banting soal itu," jawab Birma dengan tenang.

“Jadi selama ini kamu menganggap aku nyebelin?” Clara menatap suaminya meminta penjelasan.

“Lah 'kan emang iya, nyebelin!” Birma menaikkan sebelah alisnya, membuat Clara semakin cemberut, dan matanya pun sudah berkaca-kaca. Sesensitif itu kah wanita hamil? Pikir Birma dalam hati. “Tapi aku sayang, gimana dong?” melanjutkan ucapannya, Birma kemudian melayangkan kecupan di kening istrinya. Wajah Clara yang bersemu, menambah rasa gemasnya, dan seperti biasa, Birma akan menggigit pipi istrinya yang berisi itu hingga membuat Clara meringis dan melayangkan tatapan galaknya.

“Lo kebiasaan banget sih!” geram Clara mencubit pinggang suaminya dengan kuat. Tapi dasarnya Birma memiliki kulit yang keras, laki-laki itu tidak sama sekali merasakan sakit, dan malah tertawa di buatnya.

Semua orang yang menyaksikan kedua pasangan calon orang tua baru itu mengembangkan senyum, ikut bahagia. Terutama Lyra yang saat ini sudah meneteskan air matanya, terharu. Tidak menyangka bahwa gadis kecilnya dulu sudah menemukan kebahagiaannya bersama laki-laki yang dicintainya. Sulit sebenarnya untuk menerima semua ini, tapi kenyataan tetaplah harus Lyra terima.

Ada masanya, orang tua kehilangan anak-anaknya, meskipun tidak sepenuhnya. Namun jika menengok kembali pada saat-saat melahirkan, menyusui, mengasuh, menimang dan melakukan segala hal untuk anaknya, Lyra berat untuk melepaskan anaknya. Rasanya ia masih menginginkan buah hatinya itu berada dalam genggamannya, dalam pelukannya juga dalam pengawasannya.

Lyra masih ingin menjadi tempat anaknya mengadu, tempat anaknya bersandar dan tempat ternyaman untuk anak-anaknya berkeluh kesah. Tapi sayang, semua itu tidak bisa dirinya cegah. Semua sudah menjadi hukum alam, dimana anak-anak akan tumbuh dewasa dan menemukan kebahagiaan masing-masing. Terlepas dari orang tua dan melangkah melanjutkan hari, mencapai kebahagiaan baru yang sudah menanti.

Kini sebagai orang tua, Lyra hanya bisa mendukung setiap langkah yang di pilih anak-anaknya, menyemangati anak-anaknya untuk meraih apa yang ingin di raihnya, dan menasihati di saat kesalahan di perbuat anak-anaknya.

***

TBC...

Terpopuler

Comments

Ita Rahmawati

Ita Rahmawati

kangem keseruan geng lrya sama pandu....

2021-07-11

0

N I A 🌺🌻🌹

N I A 🌺🌻🌹

lyra gitu lho

2021-02-27

0

Sary Sylla

Sary Sylla

wa tor ko ceritanya pendek amat ya bisa request nggak tlng buat ti kisah cinta anak2 rapa dam clara and the tmn2 nya dalam 1 novel thor pleasr da

ni cerita lebih seru dari punyanya queen sama rapa tapi ko bentar aja

2021-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!