Akhtar
Aku tiba di rumah Ray, dan ku dengar suara Ray yang berteriak keras. Bahkan salam dari kami tak mereka dengar.
"Jangan sampai om Akhtar dan tante Lintang tau soal ini Rion! Atau Papi sama sekali gak akan bisa menolongmu."
Lintang menatapku, Apa yang tidak boleh kami ketahui?
"Kamu kelewat batas, Rion!" Bentaknya lagi.
Batas apa?
"Apa yang gak boleh ku ketahui, Ray." Ucapku saat aku melihat Rion berlutut di hadapan Ray dan Sania.
Mereka semua menatap kami dengan wajah terkejut.
"Kenapa kamu berlutut seperti itu, Rion?" tanya Lintang.
Rion langsung bangkit dan duduk di sofa disebelah Sania.
Wajah Ray kembali terlihat santai. Bunglon!
"Duduk, Tar."
Aku duduk di depan mereka. Dan sebuah laptop yang terbuka dengan rekaman yang di pause.
Aku dan Lintang sama-sama melihat rekaman dimana Rion menggandeng tangan Bi dan hendak keluar dari sebuah ruangan. Dan aku akhirnya menyadari itu ruangan Ray di Cafe.
Ray berusaha mengambil laptop. Tapi tangannya ku tahan. Apa ini yang tidak boleh kami ketahaui?
"Tar, ada data yang harus ku kirim." Itu hanya alasannya. Bisa ku tebak. Kami mengenal lebih dari 30 tahun. Dan dia berusaha membohongiku. Dari caranya bernafas saja aku tau dia sedang jujur atau bohong.
"Ray..." Hanya satu kata dan berhasil membuatnya merubah ekspresi. Dia pasrah.
Aku memutar video itu. Dan Lintang yang pintar memundurkan rekaman cctv itu dan terlihat Zoya masuk dengan pakaian yang bisa dibilang minim.
"Mas! Itu Zoya?" Lintang tak percaya melihatnya. Zoya berpenampilan begitu? Biasanya dia tak pernah memakai pakaian diatas lutut.
"Sebentar Lin."
"Tar, udah dong!" Ucap Sania.
"Tar..." Ray seperti memohon.
Dan rekaman terus berputar hingga aku dan Lintang terpancing emosi saat Rion membuka jaket Bi dan menyisakan tanktop berwarna hitam.
Aku masih menunggu rekaman itu selesai. Dan Rion memakaikan kaos putih di tubuh Bi. Adegan di dapur kembali terlihat hingga akhirnya mereka keluar dari ruangan itu.
Lintang, dia sudah menangis. Aku tau dia kecewa. Aku tau dia ingin marah. Tapi dia sembunyikan. Tapi dia tahan. Dia lebih suka mengadu dalam diam dibanding meluapkan emosi dengan lisan.
Aku berdiri, lalu berjalan dan menarik kerah seragam Rion. Aku menariknya hingga ia terhimpit di dinding.
"Akhtar!" Sania tampak terkejut dengan tindakanku.
"Maaas!!" Lintang sedang berusaha melepas cengkramanku di seragam Rion.
"Menjauh Lin!" perintahku dengan nada geram
"Ray! Tolong Rion! Ray!" Sania berteriak meminta Ray membebaskan putranya.
"San, putramu gak akan mati." Ray menjawab santai.
"Om...!" Rion sama sekali tak menunjukkan wajah takutnya. Tapi dia lebih terlihat khawatir. Mungkin dia khawatir jika aku membatalkan syarat dan aku memintanya untuk menjauhi Putriku.
"Kamu ingkar, Rion!"
"Kamu ingkar!" Aku mengepalkan tangan ke arah wajahnya. Pipiku bergetar akibat rahang yang mengeras karena aku menahan amarah.
"Buughht!!!"
"Maaasss!!!"
"Akhtar!!" Dua wanita saling berteriak.
Aku menatap wajah remaja yang sama sekali tak merubah ekspresinya. Wajah yang tetap tenang tanpa bergeser sedikit pun. Dan kepalan tangan kananku menempel pada dinding.
Aku tak mengenai wajahnya. Aku menjadikan dinding bercat putih itu sebagai sasaran.
"Om!"
"Jangan bicara Rion!"
"Jangan bicara!"
"Kamu ingkar!"
"Mas, dia ingkar apa?"
"Iya Tar, apa yang dia ingkari?"
"Tar, sebenarnya ada apa?" Itu suara Ray.
"Malamnya kamu berjanji, Rion. Dan malam berikutnya. Bahkan belum dua puluh empat jam. Kamu sudah ingkar!"
"Kamu menyentuh putriku lagi!"
"Bugh!" Aku kembali meninju dinding.
"Lagi?" Itu suara Sania. Aku tau meskipun aku memunggungi mereka.
"Masss!!" Lintang memelukku dari belakang.
"Sudah, Tar!" Ray berusaha menarikku dari putranya.
"Akhtar! Semua bisa dijelaskan, Tar." Sania membujuk.
"Ini sepenuhnya bukan salah Rion."
"Bintang juga tidak marah dan menolak."
"Mereka sudah besar, Tar!"
"Bintang tak membalas San!" Suara lemah istriku. Aku melepaskan Rion dan beralih memeluk Lintang.
Aku tahu dia terpukul. Subuh itu dia menasehati kedua putri kami agar tak sembarangan pria menyentuh mereka. Dan Rion ada disana. Mendengar semua nasehat Lintang.
Tapi petangnya, Bintang malah tak bisa melawan Rion. Sama seperti yang kulihat malam itu.
"Duduk dulu, sayang." Aku menuntunnya duduk di sofa. Nafasnya naik turun. "Tenang sayang."
"Om, tante. Rion akan jelaskan semuanya." Rion duduk berlutut di kaki kami.
"Tunggu!!"
Lintang mengambil ponsel, lalu menghubungi seseorang.
"Waalaikumsalam." Jawab Lintang.
Lintang diam sejenak.
"Mama gak nagis, Bi." Suaranya bergetar. Dia menelpon Bintang.
"Kamu dimana, Bi? Datang sekarang juga ke rumah om Ray. Bisa Bi?" Lintang kembali diam mendengar Bintang berbicara.
"Oke mama tunggu." Lintang kembali meletakkan ponsel di tas.
"Tante... tante... plisss! Ini murni salah Rion tan. Bukan salah kak Bi." Rion memeluk kaki Lintang
"Rion. Duduk!" Perintah Sania. Tapi Rion tak bergerak seincipun.
"Rion gak mau, Mi."
"Tante, Jangan marah sama kak Bi."
"Rion. Duduk disana sebelum om hajar kamu di depan orang tuamu." Aku menunjuk ruang kosong di sebelah Sania.
"Kita tunggu Bintang." Ucap Lintang datar. Dia menggenggam jemariku yang memerah akibat menghantam dinding.
Sambil menunggu, Sania membawa minuman dingin yang ia ambil dari dapur. Asisten rumah tangga tak ada yang berani muncul karena suasana sedang tegang.
Bintang masuk dengan mengucap salam. Dia mencium tangan kami semua. Kecuali Rion.
"Ada apa, Ma?" tanyanya.
"Masalah disekolah sudah selesai Ma, Pa?" Bintang duduk di bahu sofa tepat di samping Lintang.
"Om Ray sudah bereskan. Nair saja yang kelewat khawatir sampai bicara yang enggak-enggak, Ma." Bintang mengelus bahu mamanya.
Lintang menghadapkan laptop kearahnya dan memutar video itu. Bintang dengan ekspresi terkejut duduk berlutut di depan meja guna melihat video itu dengan jelas.
Aku tau Bintang dan Rion saling lirik. Mereka bicara dengan bahasa mata.
"Maaa..." Bintang berlutut menghadap kami.
"Biii..." Tenggorokannya tercekat. Antara tak sanggup bicara atau tak sanggup memberi alasan. Tapi dia menangis menumpukan wajah pada lutut Lintang.
Dia memang bukan darah dagingku. Tapi rasa sayangku padanya tak main-main. Apa lagi Lintang. Ibu yang melahirkan dan membesarkannya sendiri.
"Mama kecewa sama, Bi." Air mata Lintang luruh seketika.
"Mama marah sama, Bi."
"Bi, gak sayang mama." Bahu Lintang berguncang.
Bintang menatap mamanya. Gadis itu menggeleng berkali-kali. "Enggak ma. Enggak! Bintang sayang mama. Bintang sayang mama."
"Kalau Bi sayang. Kenapa Bi gak dengar omongan mama. Bi gak nurut sama mama. Bi biarkan pria yang bukan mukhrim menyentuh Bi."
"Mama bebasin saat Bi belum siap menutup aurat. Mama faham. Mungkin Bi masih ingin menikmati masa muda."
"Tapi... Ini diluar batas, Bi!"
"Sudah berapa kali? Sudah seberapa sering Bi? Sudah sejauh apa?" Lintang mengguncang bahu Bintang.
"Lin, tenang sayang."
Rion berlutut di kaki Lintang. "Tante... Rion cinta sama kak Bi!"
Sania dan Ray sontak berdiri. "Rion!!!"
"Ini kenyataan Mi, Pi."
"Ini kenyataan."
"Om Akhtar sudah tau!" Ucapannya membuatku di serbu tatapan meminta penjelasan.
"Om Akhtar akan kasih restu kalau Rion memenuhi syarat."
"Maas!!"
"Paaa!!"
"Akhtar!!!"
"Kamu putuskan sendiri, Mas." Lintang menatapku tajam.
Aku mengehela nafas berat. Aku harus jelaskan.
"Aku akan jelaskan. Kalian duduklah." Semua kembali duduk. Tapi Bintang masih ingin memeluk kaki mamanya. Aku biarkan.
"Aku memberinya 3 syarat. Pertama, berdiri diatas kakinya sendiri. Itu artinya aku ingin dia sukses dengan usahanya sendiri."
"Dia punya aku, Tar." Ray tak terima. Mungkin dia berfikir Rion sudah kaya. Untuk apalagi dia berusaha sendiri. Tapi itu tidak berlaku bagiku.
"Jangan di potong, Ray. Tunggu aku selesai."
"Kedua, aku ingin dia menjadikan putriku yang teristimewa baginya. Hingga tak ada gadis lain dalam hidupnya."
"Dan ketiga, aku memberinya syarat untuk membuat Bi jatuh cinta. Hingga Bi sendiri yang memintaku untuk menerimanya. Bukan aku yang putuskan sendiri."
"Dan syarat di atas syarat. Jangan pernah menyentuhnya. Tapi kamu ingkar Rion."
"Kamu putuskan sendiri, Mas. Bintang putriku."
"Aku terpaksa Lin, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia menyentuh Bintang seperti dalam rekaman itu. Dimana, kalian tahu? Di dapur rumah kita."
Bintang menatapku. Dia terkejut?
"Dan kamu, Rion. Kenapa diam saja. Kamu gak pernah cerita sama mami dan papi." Ucap Sania pada putrinya.
"Rion... Rion baru bisa memulai setelah lulus Mi."
"Rion akan dianggap anak-anak jika mengatakan pada kalian sekarang."
"Rion sudah minta kak Bi untuk menunggu."
"Rion sudah minta kak Bi untuk menolak siapapun yang datang."
"Rion!" Lintang memotong ucapan Rion.
"Masalah ini selesai." Lintang bersiap meraih tasnya.
"Kalian lupakan semuanya. Termasuk syarat itu."
"Karena hubungan yang dimulai dari kesalahan, ujungnya akan menyesakkan."
"Kami pulang, San, Ray."
"Kita semua perlu menenangkan diri."
"Assalamualaikum." Kami berpamitan pada Ray dan Sania.
****
Up ke 2 hari ini.
Hati-hatii! Next bab bakalan banyak pov dari beberapa tokoh.
Mungkin kita butuh bantuan Una sama Ayah Sat.
Ada yang kangeen? 😊
Kira-kira kalau Lintang bilang gini gimana.
"Kalian pilih, Nikah atau Pisah!" 😂
atau
"Kalian pilih PISAH ATAU SAH!" 😂
JEJAKK PLISSS.
CORET DI BAWAH SEBANYAK KALIAN MAU. 😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Yayuk Bunda Idza
ya Allah dilema....perlu pembuktian dengan pengorbanan....tapi keinginan papi Ray dulu seperti nya diamini oleh malaikat..
2022-05-03
0
Lilik Juhariah
kereeeen critanya thor
2021-10-16
1
Nuansa Arafah
bikin jungkir balik dulu kak rion..
2021-10-02
1