"Pak Sas, mulai besok tidak perlu menjemputku lagi di kampus. Aku ke rumah utama dan pulang akan menggunakan taksi online saja Pak" Litha membuka percakapan dengan sosok yang paling irit bicara, yang keluar dari mulutnya adalah hal yang memang benar-benar penting.
"Kenapa Nona? Ada hal yang Anda keluhkan?" Agak terkejut Pak Sas menanggapi.
Sasmita, usianya seumuran dengan ayah Rayyendra, adalah asisten Nyonya Besar sewaktu masih menjadi presdir Pradipta Corp. Setelah Nyonya Besar pensiun, ia tetap menjadi asisten Nyonya Besar. Selain Pak Sas, yang menjadi orang kepercayaannya, ada Iskhak atau lebih akrab disapa Pak Is, kepala pelayan rumah utama.
Keduanya telah dianggap anak oleh Nyonya Besar namun tidak secara resmi melalui prosedur di pengadilan dan menyematkan nama Pradipta di belakang nama mereka seperti Firza. Walaupun begitu, loyalitas mereka tidak perlu diragukan, bagi mereka kiblat aturan manusia adalah Nyonya Besar.
"Tidak ada, Pak Sas. Hanya saja sekarang saya tidak nyaman dijemput mobil mewahnya Nenek."
Pak Sas hanya diam, tidak ada balasan darinya. Seperti biasa mereka berada dalam diam sampai Litha berada di pelataran rumah kostnya.
"Saya akan sampaikan keluhan Nona Litha kepada Nyonya Besar. Bagaimana keputusan Nyonya Besar akan saya beritahukan kemudian," ujar Pak Sas ketika Litha mau membuka pintu mobil.
"Baik Pak Sas. Terima kasih sudah mengantar saya."
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Di dalam kamar kostnya, sudah ada Ninda berbaring di kasurnya. Begitu melihat Litha di balik pintu kamar, ia langsung melirik jam dinding, tidak biasanya Litha pulang dari rumah keluarga Pradipta jam segini.
"Kok sudah pulang, Tha?"
"Nenek mengijinkanku istirahat hari ini. Dia sangat mengerti, bahkan sebelum aku memintanya, tidak-- tidak-- aku malah tidak bertemu Nenek hari ini tapi kenapa dia memintaku istirahat dengan baik."
Litha baru menyadarinya, kini ia mulai mengingat-ingat apa yang dia lewati di rumah utama. Kenapa Nenek bisa memintanya istirahat melalui Pak Is, padahal sebelumnya ia yang ingin meminta izin untuk pulang lebih awal selepas keluar dari kamar mandi dapur.
"Tha, kamu baik-baik saja?"
Ninda memperhatikan wajah Litha, tidak seperti biasanya Litha yang ia kenal. Ketidakfokusan, wajah yang tidak secerah biasanya bahkan di bagian dagunya ada tanda samar yang ia tidak tahu apa itu, ditambah tatapan matanya yang hampa dan senyuman yang dipaksakan. Litha hanya mengangguk.
Sebenarnya Ninda ingin sekali bertanya apa yang terjadi di ruang dekan saat Litha dipanggil seusai kuliah umum berakhir. Namun, Ninda mengurungkan niatnya, waktunya tidak tepat, biarlah Litha membenahi perasaannya sendiri saat ini.
"Kalau ada sesuatu yang menyesakkan, kamu bisa cerita di aku, Tha... jangan menyimpan sendiri terus, ada saatnya kita butuh didengarkan." Ninda mengusap bahu Litha. Ia tidak tahu apa yang dilalui sahabatnya, ia hanya tahu Litha sedang tidak baik-baik saja.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Di ruang kerja rumah utama setelah hari baru saja berganti malam, dulunya ruangan besar ini merupakan ruang kerja Nyonya Besar, kini hanya menjadi tempat untuk menghabiskan waktunya dengan membaca. Di ruangan ini menyimpan sejarah dari awal mula berdirinya Pradipta corp. hingga besar dan berjaya seperti sekarang, ada empat foto ukuran besar yang menunjukkan siapa pimpinan dari masa ke masa.
"Nona Litha tidak berkenan untuk diantar jemput lagi Nyonya, dia merasa tidak nyaman dengan mobil Nyonya," lapor Pak Sas sepulang mengantar Litha.
"Hhhhmmppppfffhhhh." Nyonya Besar hanya menghela nafas panjang.
"Apa yang harus saya lakukan Nyonya?"
"Ikuti saja maunya."
"Dia meminta untuk menggunakan taksi online."
"Apa ... kenapa?" Nyonya Besar bingung, ia mengira Litha meminta untuk dijemput dengan mobil yang lebih merakyat. Pak Sas hanya diam, menandakan ia tidak tahu jawabannya.
"Sas, kau cari tahu apa yang terjadi pada Litha hari ini " titahnya.
Ya, Nyonya Besar sudah mengetahui setiap detail kehidupan Litha. Awalnya ia senang mendengar setiap apapun yang keluar dari mulut Litha, sangat menghiburnya. Namun, di suatu waktu tanpa sengaja Litha menceritakan kehidupan pribadinya dan itu membuat Nyonya Besar sangat terkejut dan tidak menyangka, bagaimana bisa dia menyembunyikan semua masalah hidupnya dibalik senyum tawanya.
"Baik Nyonya." Pak Sas mengangguk, kemudian keluar dari ruang kerja.
"Pak Sas, kok saya tidak melihat Litha malam ini, dia belum pulang kan?" Firza baru saja datang, seperti biasa dia ingin ikut makan malam di rumah utama. Masakan yang selalu Litha buat, membuatnya selalu ingin datang ke rumah utama, bukan masakannya saja tapi juga orangnya.
"Nona Litha diizinkan Nyonya Besar untuk pulang beristirahat lebih awal Tuan."
"Ada apa?"
"Saya tidak tahu Tuan, saya hanya diberi perintah untuk mengantarnya pulang tadi sore."
Pak Sas menundukkan kepala, tanda ia segera undur diri dari pandangan Firza yang penuh dengan tanda tanya. Sepasang mata dari lantai atas memperhatikan perubahan wajah Firza.
Suasana makan malam di ruang makan terasa canggung, padahal situasi ini jarang terjadi, Nyonya Besar ditemani makan malam oleh kedua cucunya secara bersamaan. Tanpa kehadiran Litha, tiga orang tersebut memancarkan aura dingin mereka masing-masing sampai para pelayan bergidik ngeri dan tidak berani standby di ruang makan, akhirnya hanya Pak Is seorang mengambil alih.
"Nenek sudah selesai, ada yang kalian ingin bicarakan, kalau tidak ada, Nenek ingin beristirahat lebih cepat."
Rayyendra maupun Firza sama-sama diam, tidak berkomentar apapun.
"Istirahatlah Nek, saya izin pulang setelah saya menyelesaikan makan malam." sahut Firza sebelum neneknya beranjak meninggalkan ruang makan. Nyonya Besar hanya mengangguk lalu pergi.
Walaupun di rumah utama kamar Firza berada di samping kamar Rayyendra di lantai atas, tidak pernah ia gunakan untuk beristirahat sejak sekembalinya dari sekolah di luar negeri. Bukannya ia tidak ingin atau tidak betah, namun ia cukup tahu diri, bahwa tempat yang sesungguhnya bukan di rumah keluarga Pradipta, meski secara hukum ia berhak menikmati harta kekayaan keluarga Pradipta.
Firza tidak ingin memperuncing konflik yang sudah ada dengan menimbulkan prasangka-prasangka buruk dari Ray dengan tinggal serumah dengan neneknya, karena Ray memilih tinggal di apartemennya sendiri. Nyonya Besar menyetujuinya tinggal di apartemen seorang diri dengan syarat ia tetap bekerja di Pradipta Corp. mendampingi Rayyendra sebagai wakil presdir.
"Ada hubungan apa kau dengan gadis yang menemani nenek?" tanya Ray to the point setelah neneknya benar-benar masuk ke kamar.
"Apa kau sungguh ingin tahu?"
"Hahhhhh..... aku tidak peduli!" Ray langsung melengos pergi sambil melempar serbet makan dengan kasar ke atas meja. Firza yang melihatnya tersenyum sinis.
Tangannya merogoh saku celananya, diraih ponselnya kemudian dibuka aplikasi berwarna hijau. Tangannya mencari kontak bernama Litha Sarasvati.
'Lith, kamu dimana?' tanya Firza di aplikasi chatnya. Centang dua langsung bwrwarna biru dan status Litha sedang online.
Yess... teriak Firza dalam hati, status mengetik dari Litha.
'Di kost Kak, tadi diizinkan Nenek pulang lebih awal'
'Sekarang ada yang kamu kerjakan?'
'Tidak Kak'
'Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat'
'Kemana?'
'Pasti kamu menyukainya, aku jemput ya, sharelock lokasimu Lith'
'Baik Kak' balas Litha setelah agak lama.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Disinilah sekarang Firza dan Litha berada, di pinggiran sungai yang melintasi ibu kota dan disulap pemerintah kota menjadi tempat wisata warga setempat. Berdua duduk tanpa alas dan rasa sungkan akan kotor.
"Kenapa kamu sharelock nya di depan minimarket?" tanya Firza penasaran.
"Engggg-- itu-- ahh ... hanya tidak nyaman saja, Kak, kalau anak-anak kost yang lain lihat hehehehehe..."
"Apa aku nampak buruk di depan mereka?"
"Tidak-- tidak, Kak ... justru malah sebaliknya, terlalu bagus hehehehehehe...."
Untuk sesaat keduanya merasa canggung. Firza mencuri-curi pandang gadis di sampingnya, ia nampak biasa saja, tidak begitu menonjol namun entah kenapa hati Firza tertarik untuk pertama kalinya terhadap wanita.
"Hmmmm ... kira-kira kamu tahu tidak kenapa Nenek mengijinkanmu istirahat?" Firza membuka percakapan lagi. Litha hany menggeleng pelan.
"Kak Firza tahu?" Litha balik bertanya. Firza mengikuti Litha sebelumnya, hanya menggeleng.
"Ahhhh..... kenapa canggung sekali ...." Firza membathin.
Litha hanya diam menerawang tanpa batas ke depan. Ditekuk kedua lututnya lalu diletakkan kedua tangannya di atas lutut untuk menopang wajahnya yang polos.
"Kamu mengalami hari yang buruk?" lagi-lagi Firza membuka percakapan.
"Sedikit."
"Sedikit tapi dalam, kan."
Spontan Litha menoleh ke arah Firza mendengar ucapan lelaki tampan yang hanya menggunakan kemeja putih dengan lengan digulung sampai ke siku, terlihat memukau di bawah temaram sinar bulan.
"He-- eh... aku sering mengalaminya, Litha." Firza menyambung lagi ucapannya.
"Hhmmpffhhh ...." Litha menghela nafas panjangnya.
"Namun aku punya satu rahasia untuk menghadapinya, dan itu selalu berhasil."
"Apa itu Kak?"
Firza mendonggakkan kepalanya ke langit, malam ini cerah, banyak titik-titik cahaya bintang di sana.
"Selama aku masih bisa menatap birunya langit, aku selalu merasa baik-baik saja dan selama aku masih dapat melihat sinar matahari terbit, aku selalu memiliki harapan di hari ini."
Firza mengucapkannya dengan pandangan ke depan, memandangi jatuhnya sinar bulan di permukaan air. Litha tersenyum, seakan semangatnya telah kembali.
"Aku penasaran, apa hidup Kak Firza lebih menyedihkan dariku sampai bisa membuatku merasa lebih baik sekarang?"
"Kita tidak bisa menentukan dalamnya air hanya dari permukaannya saja, bukan?"
Litha mengangguk, rambut depan menutupi sebagian wajahnya, kecantikan yang sangat natural di mata Firza.
"Litha, dalam hidup kita butuh seseorang untuk bersandar, orang yang kita percaya. Jika tidak seberapapun kuatnya dirimu, pasti suatu saat kau akan rebah."
"Kalau begitu siapa sandaran Kak Firza?"
"Nenek. Aku tidak punya siapapun di dunia ini, sebelum Nenek datang padaku, selama tiga belas tahun hidupku tanpa sandaran dan itu sangat melelahkan."
Lagi-lagi Litha tersenyum kali ini senyum pias tergambar di wajahnya, ada pilu bersambut di hatinya. Ia teringat ayahnya, sandarannya.
"Benar kata Kak Firza, hidup tanpa sandaran sangat melelahkan. Ayahhhh .... aku sangat rindu padamu, kau yang selalu aku cari kalau aku menangis ...."
Ada butir halus di sudut matanya, dengan cepat ia usap dengan ruas jari telunjuknya, namun Firza dapat menangkap gerakannya.
"Litha, bisakah aku menjadi sandaran hatimu?" gumam Firza di lubuk hatinya.
Kini ia terjerat kuat pada perasaannya sendiri. perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa cinta.
- Bersambung -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 177 Episodes
Comments
Rinjani
Firza emang suka ma Litha tp kayaknya Nenek Dayyu inginnya Ryyandra yg jd lo kan 🤲🤲🤭🤭🤪🤪🤪🤣
2021-11-29
0
ynynita
🧡💙💙💙💙
2021-11-17
1
💖🍁K@$m! Mυɳҽҽყ☪️🍁💖
aduh saingan yg berat ini
2021-11-10
1